“Apa!?” pekik Navier tak percaya.
Baginya, menjual diri hanya demi sebuah barang yang belum jelas pentingnya adalah sesuatu yang tidak berguna.
Sudah tidak berpendidikan tinggi, tubuh Navier juga kurang gizi. Bila harus kehilangan mahkotanya, Navier tidak yakin ada pria yang mau menikahinya.
“Pasti ada cara lain untuk mendapatkan ponsel Devian,” tambah gadis itu pada akhirnya.
“Ck! Kau memiliki tubuh dan wajah yang bagus. Pasti harganya mahal. Anggap saja hal itu sebagai alat untuk membayar biaya kami membesarkanmu selama ini.”
Air mata Navier jatuh mendengar perkataan sang ibu.
Memang jika dibandingkan dengan sebayanya, Navier memang memiliki paras yang tidak kalah dengan anak orang berada.
Tak perlu perawatan dan kosmetik, Navier sudah memiliki daya tarik tersendiri. Jadi, Yuni bisa memikirkan hal itu sebagai jalan keluar.
Selama ini, Yuni memang tidak pernah menyinggung fisik Navier yang bisa menjual.
Dia sudah cukup terlena dengan yang diberikan oleh Navier dan suaminya. Namun, permintaan Davian yang mendesak membuat Yuni tiba-tiba mendapatkan pemikiran seperti itu.
“Tapi, Bu …”
Yuni langsung berdecih sinis. “Aku tidak mau tahu! Kalau kau tidak mau menjual kegadisanmu, ya kau harus mencari uang sebanyak yang dibutuhkan untuk membeli ponsel yang diinginkan Davian. Titik!”
“Bu, kenapa tidak membeli ponsel yang biasa saja? Kalau untuk ponsel biasa, aku bisa mengusahakannya untuk mengambil pinjaman dan membayarnya dengan gajiku tiap bulan. Kalau ponsel mewah itu, tentu tidak akan sanggup untuk kuajukan pinjaman.” Navier tetap bersikukuh untuk membela harga dirinya.
Ia bertekad hanya akan menyerahkan diri pada suaminya kelak.Sayangnya, tawa sinis Yuni malah menggema. “Ponsel biasa? Mana bisa barang rongsokan seperti itu dipegang adikmu, dan dibawa ke sekolahnya yang berisi orang-orang kalangan atas? Kau sudah berpikir tak waras? Kau itu anak pertama, kakak dari adik-adikmu dan sudah sewajarnya membantu kami sebagai orang tuamu. Pokoknya aku tidak mau tahu! Kau harus mendapatkan uang itu nanti malam, atau kau tidak akan bisa membayangkan tentang apa yang bisa kulakukan!”
Badan Navier total mengalami tremor saat ibunya berkata demikian.
“Ayah … apa ayah tahu dengan hal ini?” tanya Navier. Dia menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah mengerikan sang ibu.
“Jangan berharap banyak! Ayahmu sedang diminta bertugas di luar kota dan dia tidak akan tahu hal apa pun di rumah ini! Jangan khawatir, dia akan pulang ketika kau sudah menyelesaikan tugasmu!”
Yuni diam-diam tersenyum.
Ia sudah mengatur semuanya, bahkan dengan kepergian suaminya yang ternyata sebuah kebohongan.
Padahal, wanita itu sudah memasukkan obat tidur yang kuat ke makanan suaminya, semata agar tidak mengetahui atau mendengar apa pun yang akan terjadi.
Dengan begitu, dia bisa melaksanakan semua rencananya dengan sangat baik.
Yuni tahu, suaminya akan menentang mati-matian hal yang dilakukan pada sang anak.Tes!
Di sisi lain, air mata Navier terus keluar tanpa bisa dicegah.
Bagaimana ibunya bisa berlaku sekejam itu padanya?
“Bu, aku akan bekerja dengan sungguh-sungguh. Lalu, semua uangnya akan kuberikan pada Ibu. Tolong, jangan jual aku ….” Tangan Navier tertangkup di depan dadanya. Dia memohon dengan sangat pada belas kasihan yang dirasa mungkin bisa didapatkan.
“Aku sudah menandatangani surat kontraknya. Lagi pula, pembayaran di muka sudah diberikan. Jadi, aku tidak bisa membatalkannya. Jadi, cepat bergegas atau aku akan memaksamu dengan keras!” perintah Yuni.
Navier menggeleng keras.
Dia menolak dengan keras dan sama sekali tidak mau menerima kenyataan bahwa dia telah dijual.
Di hati kecilnya, ia berpikir Yuni tak akan tega melakukan hal itu pada anaknya.
Namun, kenyataan justru mematahkan segala prasangka baik yang dia miliki.
“Jangan khawatir, bos itu akan menikahimu jika dia puas denganmu malam ini. Jadi, berdandanlah sebaik mungkin agar kau bisa memikat hatinya!”
Air mata Navier jatuh semakin deras saat ibunya mengatakan hal itu. Dia tidak akan menyangka sama sekali bahwa ibunya bisa berpikir sepicik itu.
“Lekaslah bersiap!” hardik ibunya.
Navier menggeleng keras. Dia duduk bersimpuh di lantai sambil memeluk lutut yang ditekuknya. “Jangan lakukan hal ini padaku, Bu. Aku bisa mencarikan uang untuk membeli ponsel itu, tapi jangan jual aku,” ucapnya sambil terisak.
“Ck! Kau pikir sampai kapan kau akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Setahun? Dua tahun? Atau kau mau menjual ginjalmu saja, heh!?”
Navier kembali menggeleng keras.
Menjual diri atau menjual ginjal, kedua pilihan itu sama sekali tidak akan bisa dia lakukan. Dia masih menyayangi dirinya.
“Kalau kau masih tetap seperti ini, jangan salahkan aku untuk bertindak lebih jauh padamu,” tambah Yuni.
Melihat Navier yang masih diam, Yuni bermaksud untuk menggertak anak itu.
Dia mengambil sapu yang terletak di sudur ruang dan menghampiri Navier.
Plak!
Yuni langsung memukulkan gagang sapu pada punggung Navier. Dia berharap Navier akan menuruti kemauannya kali ini.
“Aaa!! Hentikan, Bu!”
“Aku tidak akan menghentikannya jika kau mau menurutiku!!!” hardik Yuni. Bukannya menurut, Navier justru menangis semakin keras.
“Hei, kau mau membangunkan adik-adikmu yang sudah tidur nyenyak?” tanyanya sambil terus memukul Navier.
Krak!
Sapu yang Yuni gunakan mendadak patah–saking kuatnya pukulan itu.
“Ayo!” bentak Yuni lalu menarik Navier ke kamar mandi. “Kita sudah kehabisan waktu karena mereka pasti akan segera datang.”
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau