Share

Bab 3.

“Apa!?” pekik Navier tak percaya.

Baginya, menjual diri hanya demi sebuah barang yang belum jelas pentingnya adalah sesuatu yang tidak berguna. 

Sudah tidak berpendidikan tinggi, tubuh Navier juga kurang gizi. Bila harus kehilangan mahkotanya, Navier tidak yakin ada pria yang mau menikahinya.

“Pasti ada cara lain untuk mendapatkan ponsel Devian,” tambah gadis itu pada akhirnya.

“Ck! Kau memiliki tubuh dan wajah yang bagus. Pasti harganya mahal. Anggap saja hal itu sebagai alat untuk membayar biaya kami membesarkanmu selama ini.”

Air mata Navier jatuh mendengar perkataan sang ibu. 

Memang jika dibandingkan dengan sebayanya, Navier memang memiliki paras yang tidak kalah dengan anak orang berada. 

Tak perlu perawatan dan kosmetik, Navier sudah memiliki daya tarik tersendiri. Jadi, Yuni bisa memikirkan hal itu sebagai jalan keluar.

Selama ini, Yuni memang tidak pernah menyinggung fisik Navier yang bisa menjual. 

Dia sudah cukup terlena dengan yang diberikan oleh Navier dan suaminya. Namun, permintaan Davian yang mendesak membuat Yuni tiba-tiba mendapatkan pemikiran seperti itu.

“Tapi, Bu …” 

Yuni langsung berdecih sinis. “Aku tidak mau tahu! Kalau kau tidak mau menjual kegadisanmu, ya kau harus mencari uang sebanyak yang dibutuhkan untuk membeli ponsel yang diinginkan Davian. Titik!”

“Bu, kenapa tidak membeli ponsel yang biasa saja? Kalau untuk ponsel biasa, aku bisa mengusahakannya untuk mengambil pinjaman dan membayarnya dengan gajiku tiap bulan. Kalau ponsel mewah itu, tentu tidak akan sanggup untuk kuajukan pinjaman.” Navier tetap bersikukuh untuk membela harga dirinya.

Ia bertekad hanya akan menyerahkan diri pada suaminya kelak.

Sayangnya, tawa sinis Yuni malah menggema. “Ponsel biasa? Mana bisa barang rongsokan seperti itu dipegang adikmu, dan dibawa ke sekolahnya yang berisi orang-orang kalangan atas? Kau sudah berpikir tak waras? Kau itu anak pertama, kakak dari adik-adikmu dan sudah sewajarnya membantu kami sebagai orang tuamu. Pokoknya aku tidak mau tahu! Kau harus mendapatkan uang itu nanti malam,  atau kau tidak akan bisa membayangkan tentang apa yang bisa kulakukan!” 

Badan Navier total mengalami tremor saat ibunya berkata demikian. 

“Ayah … apa ayah tahu dengan hal ini?” tanya Navier. Dia menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah mengerikan sang ibu.

“Jangan berharap banyak! Ayahmu sedang diminta bertugas di luar kota dan dia tidak akan tahu hal apa pun di rumah ini! Jangan khawatir, dia akan pulang ketika kau sudah menyelesaikan tugasmu!”

Yuni diam-diam tersenyum.

Ia sudah mengatur semuanya, bahkan dengan kepergian suaminya yang ternyata sebuah kebohongan. 

Padahal, wanita itu sudah memasukkan obat tidur yang kuat ke makanan suaminya, semata agar tidak mengetahui atau mendengar apa pun yang akan terjadi. 

Dengan begitu, dia bisa melaksanakan semua rencananya dengan sangat baik.

Yuni tahu, suaminya akan menentang mati-matian hal yang dilakukan pada sang anak.

Tes!

Di sisi lain, air mata Navier terus keluar tanpa bisa dicegah. 

Bagaimana ibunya bisa berlaku sekejam itu padanya?

“Bu, aku akan bekerja dengan sungguh-sungguh. Lalu, semua uangnya akan kuberikan pada Ibu. Tolong, jangan jual aku ….” Tangan Navier tertangkup di depan dadanya. Dia memohon dengan sangat pada belas kasihan yang dirasa mungkin bisa didapatkan.

“Aku sudah menandatangani surat kontraknya. Lagi pula, pembayaran di muka sudah diberikan. Jadi, aku tidak bisa membatalkannya. Jadi, cepat bergegas atau aku akan memaksamu dengan keras!” perintah Yuni. 

Navier menggeleng keras. 

Dia menolak dengan keras dan sama sekali tidak mau menerima kenyataan bahwa dia telah dijual. 

Di hati kecilnya, ia berpikir Yuni tak akan tega melakukan hal itu pada anaknya. 

Namun, kenyataan justru mematahkan segala prasangka baik yang dia miliki.

“Jangan khawatir, bos itu akan menikahimu jika dia puas denganmu malam ini. Jadi, berdandanlah sebaik mungkin agar kau bisa memikat hatinya!”

Air mata Navier jatuh semakin deras saat ibunya mengatakan hal itu. Dia tidak akan menyangka sama sekali bahwa ibunya bisa berpikir sepicik itu. 

“Lekaslah bersiap!” hardik ibunya.

Navier menggeleng keras. Dia duduk bersimpuh di lantai sambil memeluk lutut yang ditekuknya. “Jangan lakukan hal ini padaku, Bu. Aku bisa mencarikan uang untuk membeli ponsel itu, tapi jangan jual aku,” ucapnya sambil terisak.

“Ck! Kau pikir sampai kapan kau akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Setahun? Dua tahun? Atau kau mau menjual ginjalmu saja, heh!?” 

Navier kembali menggeleng keras. 

Menjual diri atau menjual ginjal, kedua pilihan itu sama sekali tidak akan bisa dia lakukan. Dia masih menyayangi dirinya.

“Kalau kau masih tetap seperti ini, jangan salahkan aku untuk bertindak lebih jauh padamu,” tambah Yuni.

Melihat Navier yang masih diam, Yuni bermaksud untuk menggertak anak itu. 

Dia mengambil sapu yang terletak di sudur ruang dan menghampiri Navier.

Plak!

Yuni langsung memukulkan gagang sapu pada punggung Navier. Dia berharap Navier akan menuruti kemauannya kali ini. 

“Aaa!! Hentikan, Bu!”

“Aku tidak akan menghentikannya jika kau mau menurutiku!!!” hardik Yuni. Bukannya menurut, Navier justru menangis semakin keras.

“Hei, kau mau membangunkan adik-adikmu yang sudah tidur nyenyak?” tanyanya sambil terus memukul Navier.

Krak! 

Sapu yang Yuni gunakan mendadak patah–saking kuatnya pukulan itu. 

“Ayo!” bentak Yuni lalu menarik Navier ke kamar mandi. “Kita sudah kehabisan waktu karena mereka pasti akan segera datang.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status