Share

Bab 2.

“Bu!” teriak Navier kencang.

Gila! Navier pikir ibunya sudah benar-benar gila! Bagaimana bisa seorang ibu mengorbankan kehormatan putrinya hanya demi sebuah ponsel untuk adik-adiknya? 

“Apa!? Kau tidak mau?” sinis Yuni cepat.

“Aku tidak mau! Seharusnya masalah ini dipikirkan bersama, bukan malah hanya aku yang memikirkannya saja. Ibu juga harusnya mengerti, kalau hal itu bukan satu-satunya jalan keluar,” bantah Navier.

“Apa kau tak kasihan pada adikmu itu bila membawa ponsel biasa ke sekolahnya yang berisi orang-orang kalangan atas? Navier, kau harus ingat! Kau itu anak pertama dan kakak dari adik-adikmu! Sudah sewajarnya, kau membantu orang tua untuk membiayai mereka. Pokoknya, ibu  tidak mau tahu! Kau harus mendapatkan uang itu nanti malam. Jika tidak, kau tidak akan bisa membayangkan tentang apa yang bisa kulakukan!”

Usai berucap demikian, Yuni segera berlalu meninggalkan Navier yang masih terisak di tempatnya.

Navier kini bergetar takut. 

Di satu sisi, dia sama sekali tidak mau menuruti ibunya. Namun, dia juga tak memiliki pilihan lain. 

Ancaman ibunya tak pernah main-main. 

Dulu, dia bahkan pernah dipukuli dengan sapu karena tidak memberi uang jajan pada Davian dan Devan sama banyaknya. 

Padahal, Devan masih SD. Untuk apa anak sekecil itu memegang uang banyak?

Namun, Ibunya selalu memberi alasan yang sama. Sebagai anak pertama, orang tuanya berharap Navier selalu bisa membantu mereka.

Dengan langkah gontai, Navier pergi dari rumah, hingga kakinya menuju taman kecil yang tak jauh dari sana.

Ia lelah.

Waktu kerjanya masih akan dimulai satu jam lagi. 

Sayangnya, setelah mengoper koran dan mengantar susu di pagi buta, Navier sama sekali belum mendapat asupan apa pun untuk sarapan.

Ibunya pasti tidak akan mengizinkannya menyentuh makanan sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, Navier harus mencari uang secepat mungkin.

“Hey! Pakai ini, jangan usap pakai tanganmu! Nanti, kulitmu bisa luka.”

Bersamaan dengan suara bariton itu, sebuah sapu tangan berwarna biru laut polos terlipat rapi dan disodorkan di muka Navier.

Sejenak, Navier menghentikan kegiatannya mengusap air mata. Kemudian, dia terkejut saat melihat pemilik sapu tangan itu. 

Pria itu adalah pria yang kemarin memberikan tip yang banyak untuknya saat berjaga di toko!

Navier tak akan melupakannya. Bagaimana mungkin dia melupakan sosok indah yang membuat jantungnya berdetak kencang untuk pertama kali?

“Kamu…?”

Pria itu bersedekap di depan dadanya. “Air matamu tidak akan hilang dengan sendirinya jika kau tidak mengambil sapu tangan ini. Atau … kau lebih memilih agar aku yang mengusapkannya untukmu?” 

Navier yang sempat tertegun–sontak mengambil sapu tangan itu dan mengusap wajahnya yang terkena air mata.

Ia kesal dengan kata-kata pria itu.

Jadi begitu selesai, Navier segera mengembalikan sapu tangan itu. “Kau yang menawarkan, jadi jangan harap aku akan membawanya untuk kucucikan!”  ujarnya dengan ketus.

Melihat itu, Edgar menahan tawa. 

Ia merasa tingkah Navier lucu. Padahal, jelas-jelas ia hanya menawarkan sapu tangan, bukan meminta untuk mencucikannya juga.

Namun, alih-alih mengatakannya, pria itu justru membalas tak kalah ketus, “Kau ambil saja! Aku masih punya banyak di rumah.”

Setelahnya, pria itu pergi begitu saja.

Gadis itu sontak mengerutkan kening, bingung.

“Ck! Sombong sekali dia! Aku tahu jika orang kaya pasti akan memiliki banyak uang untuk membeli sapu tangan mahal ini dengan mudah. Tapi, apa dia tidak berlebihan?” gerutunya, “kenapa kelakuannya bisa berkebalikan dengan wajahnya yang tampan itu?!” 

Navier terus meracau.

Tak peduli tentang apa yang akan orang lain katakan saat melihatnya seperti itu. 

Namun ketika dia beranjak, tanpa sengaja disenggolnya sebuah bungkusan yang ternyata ditinggalkan pria tadi.

Buk!

[ Makanlah! ] 

Pesan itu yang tertulis di kertas yang ada di dalam bungkusan itu.

Navier sontak merasa bahagia. 

Saking laparnya, ia tadi bermaksud untuk menahan lapar hingga jam kerja berakhir, lalu berniat meminjam uang pada temannya untuk membeli makanan.

Namun, semua itu tentu sirna saat menemukan bungkusan itu.

Tak mau berpikir lebih banyak, Navier memakan apa yang ada di dalamnya.

Hanya saja, ia menyisakan separuhnya untuk makan siang nanti.

“Sejujurnya, aku tidak ingin berhutang terlalu banyak. Tapi … sudahlah. Aku akan berusaha untuk membayarnya bila bertemu dengan pria aneh itu lagi,” gumam Navier. 

Dalam hati, dia sangat bersyukur jika ada orang yang mau membantunya tanpa mengenal siapa dia.

Sudah lama, Navier tidak menerima kebaikan seperti ini. 

Dia memiliki keluarga, tetapi tidak terasa seperti itu. 

Navier harus mengandalkan kemampuannya sendiri untuk mencapai sesuatu. Jadi, bantuan sekecil apapun membuatnya seperti memiliki utang yang besar.

“Ah, celaka! Aku hampir terlambat masuk kerja!” pekik Navier. 

Terlalu asyik menikmati sarapan yang begitu nikmat membuatnya lupa waktu. 

Akhirnya, dia berlari sambil membawa makanan yang tersisa setengah dan sapu tangan yang ditinggalkan pria itu. 

*****

“Kau terlambat lagi!” pekik sang pemilik toko. Wajah garangnya menghiasi pintu yang masih bertuliskan tutup. 

Tak hanya itu, matanya yang melotot seolah menunjukkan kalau Navier perlu dimakan hidup-hidup. 

“Sial!” Navier merutuk dalam hati. 

Dia tidak menyangka jika keterlambatan yang hanya dua menit itu membuat bos di toko itu marah. 

Memang, pemilik toko memiliki tingkat kedisiplinan tinggi dan tidak menerima keterlambatan dengan alasan apa pun. 

“Cepat bergegas atau kau akan mendapati gaji bulan depan tidak kubayar penuh!”

Dengan napas yang memburu, Navier segera mengambil tindakan cepat untuk menghindari sang bos. 

Dia segera berganti pakaian dan mulai menata atau mendata stok barang yang terpajang di toko. 

Setiap pagi, dia memang bertugas untuk itu sebelum toko dibuka secara penuh. 

Tak hanya itu, terkadang juga dia diberi tugas tambahan untuk membersihkan toilet. 

Bukannya mengeluh, Navier justru bersyukur dengan tugas yang sebegitu banyak. Dia pikir, sangat sulit untuk mencari pekerjaan apalagi dengan ijazah yang dimilikinya untuk saat ini.

“Hah … apa si bos tidak bosan, ya?! Setiap hari, selalu marah-marah…. Membuka toko lebih awal dari yang lain, hanya untuk menyuruh beberes dan memaki kita!” keluh Ana—salah satu teman Navier dengan nada pelan. Ia khawatir jika sang bos dapat mendengarnya.

“Kau ini! Bukannya kerja, malah mengeluh. Sudahlah, kerjakan saja apa yang ada! Masih bersyukur, Bos tidak benar-benar memotong gaji kita,” balas Navier cepat. 

Ana hanya bisa mengangguk. 

Navier adalah satu-satunya rekan kerja yang tidak akan segan untuk menegurnya. Para pekerja lain lebih memilih untuk mengabaikannya karena sikap yang ia miliki. 

Selain banyak mengeluh, Ana juga terkenal banyak bicara. Namun, Navier selalu tersenyum menanggapinya.

“Kau terlalu baik dan penurut, Nav! Bisa-bisa kau akan menjadi perawan tua kalau tidak segera menghindar dari tempat yang seperti penjajah ini,” ucap Ana.

Navier hanya tersenyum. “Kalau tidak ada yang mau menikahiku, aku akan merayu seorang bos kaya dan memintanya untuk menikahiku. Tak apa dijadikan yang kedua atau yang ketiga,” candanya. 

Perkara dia akan menjadi perawan tua adalah hal terakhir yang akan dia pikirkan. 

Perempuan itu tahu bahwa tidak banyak yang akan menerima pekerja dengan lulusan menengah pertama sepertinya. Jadi, cara yang bisa dia lakukan adalah bertahan dengan sebaik mungkin. Lagi pula, gaji yang didapatnya sudah bisa dikatakan sesuai. 

“Nav, hati-hati dengan ucapanmu! Kau tahu dengan pasti kalau terkadang ucapan terkadang bisa menjadi kenyataan!”

“Hahahaha,” tawa Navier cepat, “yang benar saja!”

Sayangnya, tawa itu tak muncul begitu ia sampai di rumah.

Dengan gilanya, sang ibu mengatakan sesuatu yang tidak terduga. “Navier, bersiaplah! Dandan yang cantik agar Bos besar yang membelimu tidak kecewa!”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status