“Bu!” teriak Navier kencang.
Gila! Navier pikir ibunya sudah benar-benar gila! Bagaimana bisa seorang ibu mengorbankan kehormatan putrinya hanya demi sebuah ponsel untuk adik-adiknya?
“Apa!? Kau tidak mau?” sinis Yuni cepat.
“Aku tidak mau! Seharusnya masalah ini dipikirkan bersama, bukan malah hanya aku yang memikirkannya saja. Ibu juga harusnya mengerti, kalau hal itu bukan satu-satunya jalan keluar,” bantah Navier.
“Apa kau tak kasihan pada adikmu itu bila membawa ponsel biasa ke sekolahnya yang berisi orang-orang kalangan atas? Navier, kau harus ingat! Kau itu anak pertama dan kakak dari adik-adikmu! Sudah sewajarnya, kau membantu orang tua untuk membiayai mereka. Pokoknya, ibu tidak mau tahu! Kau harus mendapatkan uang itu nanti malam. Jika tidak, kau tidak akan bisa membayangkan tentang apa yang bisa kulakukan!”
Usai berucap demikian, Yuni segera berlalu meninggalkan Navier yang masih terisak di tempatnya.
Navier kini bergetar takut.Di satu sisi, dia sama sekali tidak mau menuruti ibunya. Namun, dia juga tak memiliki pilihan lain.
Ancaman ibunya tak pernah main-main.
Dulu, dia bahkan pernah dipukuli dengan sapu karena tidak memberi uang jajan pada Davian dan Devan sama banyaknya.
Padahal, Devan masih SD. Untuk apa anak sekecil itu memegang uang banyak?
Namun, Ibunya selalu memberi alasan yang sama. Sebagai anak pertama, orang tuanya berharap Navier selalu bisa membantu mereka.Dengan langkah gontai, Navier pergi dari rumah, hingga kakinya menuju taman kecil yang tak jauh dari sana.
Ia lelah.Waktu kerjanya masih akan dimulai satu jam lagi.
Sayangnya, setelah mengoper koran dan mengantar susu di pagi buta, Navier sama sekali belum mendapat asupan apa pun untuk sarapan.
Ibunya pasti tidak akan mengizinkannya menyentuh makanan sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, Navier harus mencari uang secepat mungkin.
“Hey! Pakai ini, jangan usap pakai tanganmu! Nanti, kulitmu bisa luka.”Bersamaan dengan suara bariton itu, sebuah sapu tangan berwarna biru laut polos terlipat rapi dan disodorkan di muka Navier.Sejenak, Navier menghentikan kegiatannya mengusap air mata. Kemudian, dia terkejut saat melihat pemilik sapu tangan itu.
Pria itu adalah pria yang kemarin memberikan tip yang banyak untuknya saat berjaga di toko!
Navier tak akan melupakannya. Bagaimana mungkin dia melupakan sosok indah yang membuat jantungnya berdetak kencang untuk pertama kali?
“Kamu…?”
Pria itu bersedekap di depan dadanya. “Air matamu tidak akan hilang dengan sendirinya jika kau tidak mengambil sapu tangan ini. Atau … kau lebih memilih agar aku yang mengusapkannya untukmu?”
Navier yang sempat tertegun–sontak mengambil sapu tangan itu dan mengusap wajahnya yang terkena air mata.
Ia kesal dengan kata-kata pria itu.
Jadi begitu selesai, Navier segera mengembalikan sapu tangan itu. “Kau yang menawarkan, jadi jangan harap aku akan membawanya untuk kucucikan!” ujarnya dengan ketus.
Melihat itu, Edgar menahan tawa.
Ia merasa tingkah Navier lucu. Padahal, jelas-jelas ia hanya menawarkan sapu tangan, bukan meminta untuk mencucikannya juga.
Namun, alih-alih mengatakannya, pria itu justru membalas tak kalah ketus, “Kau ambil saja! Aku masih punya banyak di rumah.”
Setelahnya, pria itu pergi begitu saja.
Gadis itu sontak mengerutkan kening, bingung.
“Ck! Sombong sekali dia! Aku tahu jika orang kaya pasti akan memiliki banyak uang untuk membeli sapu tangan mahal ini dengan mudah. Tapi, apa dia tidak berlebihan?” gerutunya, “kenapa kelakuannya bisa berkebalikan dengan wajahnya yang tampan itu?!”
Navier terus meracau.
Tak peduli tentang apa yang akan orang lain katakan saat melihatnya seperti itu.
Namun ketika dia beranjak, tanpa sengaja disenggolnya sebuah bungkusan yang ternyata ditinggalkan pria tadi.
Buk!
[ Makanlah! ]
Pesan itu yang tertulis di kertas yang ada di dalam bungkusan itu.
Navier sontak merasa bahagia.
Saking laparnya, ia tadi bermaksud untuk menahan lapar hingga jam kerja berakhir, lalu berniat meminjam uang pada temannya untuk membeli makanan.
Namun, semua itu tentu sirna saat menemukan bungkusan itu.
Tak mau berpikir lebih banyak, Navier memakan apa yang ada di dalamnya.
Hanya saja, ia menyisakan separuhnya untuk makan siang nanti.“Sejujurnya, aku tidak ingin berhutang terlalu banyak. Tapi … sudahlah. Aku akan berusaha untuk membayarnya bila bertemu dengan pria aneh itu lagi,” gumam Navier.
Dalam hati, dia sangat bersyukur jika ada orang yang mau membantunya tanpa mengenal siapa dia.
Sudah lama, Navier tidak menerima kebaikan seperti ini.
Dia memiliki keluarga, tetapi tidak terasa seperti itu.
Navier harus mengandalkan kemampuannya sendiri untuk mencapai sesuatu. Jadi, bantuan sekecil apapun membuatnya seperti memiliki utang yang besar.
“Ah, celaka! Aku hampir terlambat masuk kerja!” pekik Navier.
Terlalu asyik menikmati sarapan yang begitu nikmat membuatnya lupa waktu.
Akhirnya, dia berlari sambil membawa makanan yang tersisa setengah dan sapu tangan yang ditinggalkan pria itu.
*****
“Kau terlambat lagi!” pekik sang pemilik toko. Wajah garangnya menghiasi pintu yang masih bertuliskan tutup.
Tak hanya itu, matanya yang melotot seolah menunjukkan kalau Navier perlu dimakan hidup-hidup.
“Sial!” Navier merutuk dalam hati.
Dia tidak menyangka jika keterlambatan yang hanya dua menit itu membuat bos di toko itu marah.
Memang, pemilik toko memiliki tingkat kedisiplinan tinggi dan tidak menerima keterlambatan dengan alasan apa pun.
“Cepat bergegas atau kau akan mendapati gaji bulan depan tidak kubayar penuh!”
Dengan napas yang memburu, Navier segera mengambil tindakan cepat untuk menghindari sang bos.
Dia segera berganti pakaian dan mulai menata atau mendata stok barang yang terpajang di toko.
Setiap pagi, dia memang bertugas untuk itu sebelum toko dibuka secara penuh.
Tak hanya itu, terkadang juga dia diberi tugas tambahan untuk membersihkan toilet.
Bukannya mengeluh, Navier justru bersyukur dengan tugas yang sebegitu banyak. Dia pikir, sangat sulit untuk mencari pekerjaan apalagi dengan ijazah yang dimilikinya untuk saat ini.
“Hah … apa si bos tidak bosan, ya?! Setiap hari, selalu marah-marah…. Membuka toko lebih awal dari yang lain, hanya untuk menyuruh beberes dan memaki kita!” keluh Ana—salah satu teman Navier dengan nada pelan. Ia khawatir jika sang bos dapat mendengarnya.
“Kau ini! Bukannya kerja, malah mengeluh. Sudahlah, kerjakan saja apa yang ada! Masih bersyukur, Bos tidak benar-benar memotong gaji kita,” balas Navier cepat.
Ana hanya bisa mengangguk.
Navier adalah satu-satunya rekan kerja yang tidak akan segan untuk menegurnya. Para pekerja lain lebih memilih untuk mengabaikannya karena sikap yang ia miliki.
Selain banyak mengeluh, Ana juga terkenal banyak bicara. Namun, Navier selalu tersenyum menanggapinya.
“Kau terlalu baik dan penurut, Nav! Bisa-bisa kau akan menjadi perawan tua kalau tidak segera menghindar dari tempat yang seperti penjajah ini,” ucap Ana.
Navier hanya tersenyum. “Kalau tidak ada yang mau menikahiku, aku akan merayu seorang bos kaya dan memintanya untuk menikahiku. Tak apa dijadikan yang kedua atau yang ketiga,” candanya.Perkara dia akan menjadi perawan tua adalah hal terakhir yang akan dia pikirkan.
Perempuan itu tahu bahwa tidak banyak yang akan menerima pekerja dengan lulusan menengah pertama sepertinya. Jadi, cara yang bisa dia lakukan adalah bertahan dengan sebaik mungkin. Lagi pula, gaji yang didapatnya sudah bisa dikatakan sesuai.
“Nav, hati-hati dengan ucapanmu! Kau tahu dengan pasti kalau terkadang ucapan terkadang bisa menjadi kenyataan!”
“Hahahaha,” tawa Navier cepat, “yang benar saja!”
Sayangnya, tawa itu tak muncul begitu ia sampai di rumah.
Dengan gilanya, sang ibu mengatakan sesuatu yang tidak terduga. “Navier, bersiaplah! Dandan yang cantik agar Bos besar yang membelimu tidak kecewa!”
“Apa!?” pekik Navier tak percaya. Baginya, menjual diri hanya demi sebuah barang yang belum jelas pentingnya adalah sesuatu yang tidak berguna. Sudah tidak berpendidikan tinggi, tubuh Navier juga kurang gizi. Bila harus kehilangan mahkotanya, Navier tidak yakin ada pria yang mau menikahinya.“Pasti ada cara lain untuk mendapatkan ponsel Devian,” tambah gadis itu pada akhirnya. “Ck! Kau memiliki tubuh dan wajah yang bagus. Pasti harganya mahal. Anggap saja hal itu sebagai alat untuk membayar biaya kami membesarkanmu selama ini.”Air mata Navier jatuh mendengar perkataan sang ibu. Memang jika dibandingkan dengan sebayanya, Navier memang memiliki paras yang tidak kalah dengan anak orang berada. Tak perlu perawatan dan kosmetik, Navier sudah memiliki daya tarik tersendiri. Jadi, Yuni bisa memikirkan hal itu sebagai jalan keluar.Selama ini, Yuni memang tidak pernah menyinggung fisik Navier yang bisa menjual. Dia sudah cukup terlena dengan yang diberikan oleh Navier dan suaminya. Nam
Wanita itu memandikan Navier yang masih terisak seperti anak kecil.Dinginnya air sama sekali tak dirasa Navier. Dia hanya memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini.Tok tok tok!Suara ketokan pintu terdengar mengalihkan atensi Yuni seketika.“Ah, itu pasti mereka!” Ditatapnya tajam Navier penuh ancaman, “Cepat lanjutkan! Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya.”Yuni berjalan dengan riang meninggalkan Navier yang terdiam.Wanita itu terus membayangkan keuntungan yang ada di depan mata. Pikirnya, hanya sekali transaksi saja sudah bisa mendapatkan untung yang banyak. Jika dihitung, uang yang didapatnya bisa untuk membeli ponsel dan barang lainnya."Kalau yang pertama memang mahal, kan? Tapi, untuk berikutnya, akan kupastikan Navier dijual tidak terlalu murah juga," batin Yuni. Di otaknya, sudah tersusun banyak hal untuk menghasilkan uang lebih banyak lagi dan membeli barang mewah lain. Kalau cukup, ia akan merenovasi rumah. Ceklek!"Silakan masuk!" Begitu membuka pintu, Yuni sudah ti
Brak!Yuni menutup pintu cukup keras saking bahagianya."Aku berharap dia bisa menghasilkan banyak uang! Sudah cukup aku kesusahan merawat anak itu! Kalau saja ayahmu tidak membuat hatiku sakit dan mencintai ibu kandungmu, tentu hidupmu akan baik-baik saja, Nav! Jadi, jangan salahkan aku jika hidupmu berakhir seperti itu!" ujar Yuni dalam hati, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang nyaman.Namun, melihat betapa berantakannya rumah itu, Yuni terpaksa membersihkannya. Ia segera menyingkirkan sisa-sisa kekacauan yang diperbuat Navier, dan membuat seolah-olah tidak ada kejadian apa pun yang terjadi.Di sisi lain, Navier kini berusaha kabur. Dia ingin berteriak, tetapi masih memikirkan dampak dari perbuatannya itu. Apakah orang-orang akan membantu, atau justru marah karena mengganggu waktu istirahat mereka?Diperhatikannya, pria-pria yang membawanya yang tampak menjaganya dengan ketat."Aku tidak akan kabur! Jadi, jangan memegang lenganku terlalu kuat seperti ini! Aku kesakitan
"Lex, apa mereka belum sampai?" tanya sang sopir panik. Mobil yang ditumpangi Navier sudah sampai di ujung jalan dan harus memasuki area hutan.Meski di area itu mereka bisa bertindak leluasa karena tak akan ada pihak lain yang ikut campur, tetap saja mereka butuh bantuan."Tidak ada tanda-tanda mereka sampai!" Kepanikan terdengar dari suara pria yang menangkapnya itu.Duang!Di saat yang sama, mobil yang ditumpangi Navier tiba-tiba ditabrak dari belakang dan menyebabkan lajunya tidak stabil. Alhasil, mobil itu pun terpaksa berhenti.Navier menahan napas merasakan itu semua. Terlebih kala orang-orang yang menangkapnya tampak serius sekali bertarung."Kita harus menghadapi mereka secara langsung!" ujar salah satunya.Masing-masing dari mereka pun segera keluar dengan membawa senjata.Dor!Buk!Brak! Adu tembak dan fisik tak terelakkan.Hanya saja, pihak lawan terlalu hebat. Orang-orang yang membawa Navier pun terkepung. Menyaksikan itu semua, Navier bergetar hebat sembari tetap me
Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa. "Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan."Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya. Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut. "Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya." "Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu
"Tinggalkan aku sendiri! Aku butuh ketenangan dan jangan ganggu aku!" ketus Navier. Sejak tadi, dia mengusir semua pelayan yang ditugaskan untuk menjaganya. Dua pelayan yang mengikuti Navier sontak saling pandang. Mereka diperintahkan untuk mengikuti Navier ke mana pun dia pergi. Apa kata Tuan Edgard nantinya? "Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri? Lagi pula, aku ingin melatih kakiku juga untuk berpindah sendiri ke ranjang." Dengan sedikit pemaksaan halus, Navier berkata lagi.Cukup lama pelayan-pelayan itu terdiam, sampai akhirnya mereka undur diri.Navier menghela napas lega. 'Aku tak punya apa-apa. Selain itu, aku juga lumpuh dan tidak berpendidikan tinggi. Edgar pantas memiliki wanita yang lebih baik dariku,' batinnya merasa rendah diri dan tak pantas untuk pria sesempurna Edgar. Begitu para pelayan sudah tidak ada, Navier turun dari kursi rodanya. Dengan susah payah, dia menyeret tubuh lemahnya ke kamar mandi, mengisi bathtub sampa
"Aku akan merawat cucuku!" tukas James yang kebetulan berada di kantor Edgar untuk mengambil kembali cucunya. Ia sudah mendengar kabar mengenai Navier yang semakin depresi setelah mengetahui keadaanya.Namun, Edgar sama sekali tidak bergeming. Sepulang dari rumah sakit, Navier menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Dia lebih banyak mendiamkan Edgar ketimbang membalas ucapannya seperti sebelumnya. Karena itu James ingin membawanya pulang. James ingin mengenalkan sang cucu pada pegawa di rumahnya. Terutama saat mendengar Navier menjadi lebih pendiam lagi. Bagi James, Edgar masih belum bisa menjadi pria yang benar-benar bertanggung jawab. Dan, dia tidak bisa memasrahkan sang cucu pada pria seperti itu. "Tidak bisa! Dia sudah menjadi tunanganku dan harus berada di sini, di dekatku. Tidak bisa kau bawa pulang karena sebentar lagi aku akan menikahinya," balas Edgar tak kalah sengit. Susah-susah membawa Navier, malah orang lain ingin mengambilnya. Jujur saja, Edgar tak terima! T
"Aku menyerah, Kakek," ucap Navier.Setelah memutuskan untuk hidup di tempat kakeknya, Navier dilatih dengan baik untuk menjadi seorang pewaris.Navier satu-satunya keturunan murni keluarga Wyatt, harus menjadi pemimpin yang mumpuni dari segi pengetahuan maupun perilaku.Pertama kali melihat Navier secara langsung, James Wyatt merasakan firasat yang baik tentang Navier. Jadi, dia bersungguh-sungguh untuk membantu Navier.Kelumpuhan Navier bukanlah halangan. Jadi, sebisa mungkin dia tidak akan mengungkit hal itu pada Navier."Baru begitu saja kau sudah menyerah!? Kalau begitu kau menikah saja dengan Edgar, agar aku bisa memberikan semua ini padanya!" tukas James.Navier menunduk, lalu menjawab, "Kadang aku berpikir kalau bukan kakekku. Bagaimana bisa ada orang yang memperlakukan cucunya seperti itu? Aku tidur hanya empat jam semalam, setengah jam di siang hari, dan selebihnya tidak ada yang kulakukan selain belajar dan belajar! Bahkan di meja