Suasana yang mencekam mendadak hening karena orang-orang mengalihkan perhatian mereka hanya tertuju pada mempelai wanita. Dian pun ikut berbalik menghadap ke arah Naya. Calon istrinya begitu pendiam seolah tidak memiliki keyakinan untuk melanjutkan hubungan mereka atau hanya perasaan dia saja? Entahlah, tapi jelas keraguan mulai menyergap hati mempertanyakan diri akan masa depan nanti.
Kebingungan menyergap rasa dan logika. Satu sisi, ia sadar akan semua yang sudah terjadi dan di sisi lain fakta tak bisa diubah. Jika melanjutkan pernikahan maka yang tersisa ketidakberdayaan seorang istri. Akan tetapi, jika tidak diteruskan, apa bisa bertahan dari rasa malu?Perlahan memejamkan mata seraya meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Gemuruh di dalam hati bersambut pertengkaran mengikat akal sehatnya. Apa yang harus dirinya lakukan? Masa lalu bersama Darian masih terpatri mengikat jiwa, tetapi kehidupan nyata menuntut kepastian.Betapa ia terjebak di tengah kenyataan dan kebenaran yang tak bisa diubahnya. Meski diri sendiri mengakui kenangan dari masa lalu. Pada akhirnya yang merasakan kecewa tentu kedua orang tua. Sudah pasti ayah dan bunda memiliki pertanyaan yang memerlukan jawaban tapi situasi di sekitar mereka saja sudah mendominasi.Sejenak memikirkan apa yang akan dirinya lakukan. Terlebih lagi keputusan final menyangkut kehidupan banyak orang. Bagaimanapun ia tidak bisa memberikan beban kepada orang lain apalagi sampai menanggung perbuatannya dari masa lalu. Bukankah ketika mendapatkan tekanan maka secara sadar akal sehat berusaha menemukan titik terang?"Jika aku memilih satu di antara kalian, hasilnya hanya ada kekacauan. Silahkan keluar dari rumahku!" putus Naya mengakhiri kegalauan hati, lalu membuka mata. Ia merasa hanya itu pilihan terbaik, lalu melanjutkan ucapannya, "Tidak ada pernikahan atau mengenai mantan. Bagiku, kalian berdua hanya pria asing."Satu keputusan Naya menghancurkan banyak hati yang berharap. Langkah kaki gadis itu berlari menjauh meninggalkan ruang tamu tanpa ingin mendengarkan penolakan maupun keluhan keluarga bahkan ia mengabaikan suara panggilan dari arah belakang hingga masuk ke dalam kamar membanting pintu tanpa perasaan.Kepergian Naya yang mengikuti kata hatinya justru menghadirkan kekhawatiran dalam benak pikiran kedua orang tuanya. Sadar akan kesalahan putri mereka tetapi sebagai keluarga hanya ingin memiliki waktu untuk bisa saling memahami dan mendukung apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka. Sayangnya hari ini, tak satupun bisa melakukan kewajiban sebagai anggota keluarga."Ayah, putri kita," ucap lirih Bunda tak kuasa menahan diri setelah melihat luka hati dari tatapan mata Naya.Ayah Arsyad menyadari akan maksud dari istrinya, "Bunda, kita harus sabar. Sekarang biarkan ayah urus masalah disini dulu." Dibimbingnya sang istri duduk di kursi, lalu ia berjalan menghampiri Dian dan King yang berdiri tak jauh dari meja pelaminan."Aku tidak tahu, kamu siapa dan datang dari mana tapi niatmu pastilah tidak baik. Jika memang Naya mencintaimu, maka putriku akan berterus terang dan tentu menolak perjodohan bersama Dian. Sebagai ayah, aku meminta Tuan untuk pergi. Silahkan keluar dari rumah kami!"Ayah Arsyad menangkupkan kedua tangan berharap King bisa mengampuni keluarganya dan mau enyah dari acara pernikahan yang kini sudah kacau berantakan. Akan tetapi, King justru tersenyum, lalu bertepuk tangan yang bersambut suara derap langkah kaki orang-orang berpakaian hitam memasuki rumah tanpa permisi.Apakah sejak awal pria asing itu sudah mempersiapkan segala sesuatunya? Jika dilihat dari langkah yang baru saja dilakukan, maka tidak perlu mengajukan pertanyaan. Hanya saja untuk mengacaukan acara pernikahan dari keluarga biasa, kenapa pria satu itu sampai melibatkan banyak orang yang menggunakan senjata. Bukankah terlalu berlebihan?Pemandangan yang tak biasa seketika semakin mengubah. Kini yang berkuasa tentu hanya King, sedangkan lainnya tak bisa melakukan apa-apa. Dengan kekuatan serta kekuasaan maka apapun bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Selalu seperti itu ketika berhadapan dengan orang pemilik tahta."Siapa mereka dan apa maumu?" tanya Dian begitu terlambat karena anak buah King sudah masuk bahkan langsung menodongkan senjata api di belakang keluarga Naya dan keluarganya termasuk dirinya juga.Kemudian King berjalan mendekati Dian. Pria yang berani mencoba memiliki wanitanya. Andai ia terlambat satu menit saja, maka semua berakhir sebelum dimulai. Diambilnya kertas berisi formulir berkas pernikahan dari atas meja, lalu mengulurkan tangan ke depan.Jangan tanya darimana formulir itu didapatkannya karena urusan sepele selalu diurus oleh pengacara keluarga. Sekarang fokus utamanya hanya ingin mendapatkan Naya agar bisa kembali bersamanya sebagai pasangan sah dan untuk itu, ia sendiri telah menyiapkan banyak rencana jika sampai ada kendala yang berusaha menjadi penghalang mencapai tujuan utama."Pak Penghulu, pernikahan dilangsungkan sebagai bentuk penyatuan cinta atau tanggung jawab saja? Tidak perlu dijawab, tapi kamu harus menikahkan kami." Buku nikah yang diberikan seorang anak buah ia letakkan ke atas meja, lalu merobek semua kertas atas nama Naya dan Dian.Aksi King membuat Dian tak bisa lagi menahan diri. Amarah yang sudah ia tahan menyeruak berusaha melepaskan diri. Langkah kaki beranjak dari tempatnya tapi tiba-tiba terdengar suara desingan peluru bersambut rasa panas perih menyergap kaki."Dian!" Seru orang-orang yang tercengang melihat penembakan di depan mata mereka.Sontak saja, mempelai pria itu menoleh ke bawah dimana bercak merah tampak jelas menghiasi lantai putih nan mengkilap. Belum juga mengutarakan bagaimana perasaannya. Sentuhan ujung runcing kembali dirasakan, dimana terasa menusuk berputar di punggung menghadirkan rasa perih bercampur sensasi panas tak bisa dijabarkan melalui kata.Melihat itu, ayah Arsyad memejamkan mata. Penyiksaan yang dilakukan King tidak bisa diteruskan, tapi untuk itu ia harus melakukan sesuatu agar semua orang selamat. "Apa maumu? Katakan!"Tatapan mata seorang ayah yang terarah padanya hanya menyiratkan kepasrahan. Bukankah terlalu mudah untuk meluluhkan keras kepala orang tua? Satu jalan sudah terbuka tapi keinginan hatinya terlalu banyak dan tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika seseorang ingin memenuhi rasa haus harapannya."Aku mau putrimu menjadi istriku!" tegas King tanpa ragu, membuat Dian mengepalkan tangan.Keributan di bawah membuat semua orang bungkam sebagai penonton tanpa bayaran, sedangkan di lantai atas suara tangisan terdengar begitu jelas menjadi teman kehancuran hati yang terdalam. Siapa yang akan menyangka dunia indah berbalik tanpa diminta dalam seketip mata."King, apa salahku sampai kau tega melakukan semua ini? Tidak bisakah biarkan aku hidup bahagia tanpa rasa masa lalu. Kenapa kamu kembali membawa badai dalam hidupku?"Dilema hati Naya berselimut lara yang selama ini ia simpan seorang diri. Rasa sesak di dada memeluk sekelebat bayangan akan masa indah tetapi berakhir kesendirian tanpa kepastian. Bayang-bayang rintik hujan menyapa malam tak berbintang kembali datang mengetuk ingatannya.Di tengah kekaguman akan ciptaan Sang Penguasa Alam tiba-tiba dikejutkan suara keras ketukan pintu kasar. Entah yang mengetuk pintu tak memiliki sopan santun atau memang sedang terburu-buru. Apapun alasannya, satu hal pasti sudah membangkitkan rasa kesal dari dalam hati. "Ck! Ganggu orang seneng aja," gerutunya tetapi tetap melangkah mendekati papan kayu yang setinggi hampir dua meter. Lalu, ia putar knop meski rasa malas menyapa, "Elo, gak bisa sabar dikit gitu jadi human?""Halah, rumah sendiri ini, suka-suka aku donk." timpal si pendatang seraya melemparkan sebuah dokumen bersampul transparan ke penghuni kamar yang berdiri menghalangi pintu. Bukannya tidak paham, apalagi tak mengerti akan situasi apalagi waktu. Baginya pekerjaan lebih penting daripada harus memeluk sikap kalem. Sebab tidak hari tanpa tekanan sang majikan dan seluruh penghuni tempat mereka berpijak tentu sangat hapal peraturan di luar kepala masing-masing. Lalu, untuk apa dia merasa sungkan? "Gue gak peduli. Poko
Penantian yang dinantikan nyatanya hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit hingga seorang pria dengan perut nan buncit datang menghampiri. Nama pria itu ialah Pak Didit yang memiliki peran penting karena bertanggung jawab atas setiap bangunan sebelum pindah ke tangan pemilik sah. Menurut informasi, pria satu itu juga tinggal tak jauh dari perumahan elit tetapi tidak menjadi salah satu pemilik unit sebab perusahaan telah menyediakan rumah berbeda. "Selamat malam, Tuan. Maaf udah buat Anda nungguin saya lama. Mari saya antar ke kediaman Anda sembari membicarakan prosedur terakhirnya!" Pak Didit tanpa basa-basi langsung mengajak King untuk meninggalkan parkiran. Meski mereka berdua terpisah di kendaraan berbeda sepanjang perjalanan menuju kediaman sang pemilik properti. Bangunan berlantai tiga dengan desain modern dimana dari luar tampak deretan dinding kaca tertutup tirai. Akan tetapi dengan pagar setinggi satu meter lebih membuat pandangan dari luar tidak bisa melihat secara me
Namun, apa gunanya mengkhawatirkan seseorang yang selalu siap menjalani lika-liku kehidupan. Bukan karena tuannya itu memiliki kekuasaan tetapi ia percaya akan setiap langkah sang atasan selalu berdasarkan perhitungan. Selain itu, tanggung jawab yang harus ia penuhi adalah memastikan keamanan dari pasien. Tentu saja tidak ada tempat untuk dirinya bersantai. Oleh karena itu, kaki melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit tapi bukan ke ruang ICU melainkan ke salah satu lorong dimana ruangan dokter yang menangani Mrs. varsha berada. Ia harus memastikan pengaturan yang diinginkan atasannya terpenuhi tanpa mengalami masalah apapun. Sementara di sisi lain, King sendiri fokus menyetir dimana perjalanan malam akan sangat membosankan karena tak ada teman sepermainan. Bagaimana kesunyian begitu enggan meninggalkan kesendirian di tengah hiruk pikuk kendaraan yang juga berlalu lalang di luar sana. Sesaat fokus teralihkan pada kerlap-kerlip lampu jalan yang menjadi bintang jalanan. "Kenapa o
Kekacauan di jalan raya itu tak bisa dihindari bahkan kemacetan pun kian menjadi. Akan tetapi tidak menghalangi laju kendaraan beberapa ambulans yang meninggalkan lokasi kejadian kecelakaan. Suara sirine terdengar mengaung membelah jalanan yang mana membuat orang-orang pemilik kendaraan lain membiarkan tanpa mengeluh sebab mereka tahu nyawa di dalam kendaraan milik rumah sakit sedang dipertaruhkan. Begitu juga dengan para perawat yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien. Hingga pada akhirnya mereka hanya bisa menunggu sampai di rumah sakit untuk melanjutkan pengobatan dari pasien yang mengalami kecelakaan. Jarak yang ditempuh memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit dan itu pun tanpa halangan selain berpacu pada waktu. Pihak rumah sakit langsung menyambut para pasien begitu mobil ambulans berhenti di lobi. Kemudian mengeluarkan satu per satu brankar diterima oleh beberapa dokter berbeda. Penanganan telah berpindah tangan tetapi peng
Aya tersenyum meski rasa di dalam dada terasa panas membara. Entah kenapa ia tiba-tiba memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya. Mungkin karena beberapa hari terakhir lebih banyak memiliki waktu senggang atau sebatas terlalu memikirkan banyak hal secara bersamaan. Apapun alasannya, ia merasa kehilangan semangat. "Gak kok, Suamiku. Yuk, kita ke bawah buat sarapan." ajak Aya dengan manja dimana ia menggandeng tangan kanan suaminya. Langkah kaki berjalan bersama menyusuri lantai marmer menuju anak tangga yang ada di depan sana. Terkadang sikap menghadirkan kebenaran tanpa kata-kata. Bahkan tidak setiap pernyataan bisa menjadi fakta yang sebenarnya. Begitu juga dengan perasaan dimana selalu terpancar dari tatapan mata. Bagi mereka yang peka, maka perubahan sekecil apapun bisa terasa. Namun, seringkali manusia melupakan hal paling sederhana yaitu berusaha terbuka pada pasangan sendiri. Raga pemilik jiwa bukan seorang peramal, sebab itu agar pasangannya memahami isi hati dan pikiran, ten
Setelah kepergian sang istri, akhirnya King beranjak dari tempat tidur. Pria itu tidak ingin membuat Naya terbawa perasaan hanya karena keberadaannya. Terlebih lagi hubungan mereka hanya sebatas di atas kertas. Sejak awal adalah orang asing, maka sampai kapanpun akan tetap asing. Begitulah pikirnya yang mana sesuai dengan fakta tanpa melupakan kebenaran. Ia pun tidak berniat untuk mengingkari janji yang telah ia buat secara sadar walau demi kepentingan diri sendiri. Jika belenggu emosi bisa ia hindari, lalu apa gunanya untuk menghadirkan kesempatan mengenal satu sama lain? Langkah kaki menyusuri anak tangga dengan santainya dan tatapan mata fokus ke depan tidak teralihkan oleh hal lain. Sejujurnya, dia enggan untuk tetap tinggal di rumah Matthew. Akan tetapi mengingat situasi lebih baik menjaga jarak untuk memastikan tidak ada kecurangan. Apalagi tindakan di luar batas yang hanya untuk mengancamnya. "Selamat pagi, Tuan Muda. Mau bibi buatin teh atau kopi?" Seorang pelayan langsung