Dalam penantian malam nan dingin hanya duduk seorang diri tanpa teman hingga kedatangan seorang pria mengalihkan perhatian dari bacaan buku yang sangat membosankan. Wajah tampan berhias seulas senyum dengan tatapan mata menakjubkan. Binar keceriaan tercetak jelas memancarkan semangat perjuangan.
"Permisi, boleh duduk di sini?" Pria itu menunjuk ke arah bangku kosong yang ada di seberang dimana tempat dirinya duduk seorang diri.Tatapan mata bergerak kesana kemari melihat suasana cafe yang ramai pengunjung bahkan tidak ada lagi tempat kosong selain di mejanya. Melihat itu, tentu hati tak tega sehingga mengangguk memberikan izin agar si pria duduk menjadi teman satu waktu dalam kehidupan yang begitu singkat. Sebagai sesama manusia haruslah toleransi. Iya, kan?"Siapa namamu?" tanya pria itu sambil menarik kursi, lalu duduk tapi pertanyaannya terabaikan tanpa ada jawaban.Keheningan kembali menyapa, sebenarnya tidak sehening itu karena para pelayan juga hilir mudik memberikan pesanan pada para pelanggan. Termasuk mengantarkan makanan ke meja makan dimana dua insan yang sibuk dengan dunia masing-masing berada. Keduanya tampak fokus melakukan sesuatu di ponsel seolah itulah kehidupan mereka berdua saat ini.Binar mata enggan memudar bersambut kebahagiaan yang tampak jelas menyebar ke udara. Pria itu senang melihat dua porsi spaghetti yang masih mengepulkan asa0 putih sudah siap untuk dinikmati, "Wah, pesanan kita sama. Kamu suka spaghetti juga?""Iya," jawaban singkat dari si gadis yang tak tahu harus berkata apalagi, membuat pria yang bersamanya tersenyum simpul tanpa pertanyaan tambahan.Pertemuan pertama hanya meninggalkan kesan tanpa spesifikasi yang menyentuh hati. Ketika mengingat itu, logika menolak untuk menerima pertemuan lain. Akan tetapi, apapun yang sudah terjadi tidak bisa diubah lagi. Perlahan mengusap air mata mencoba menyadarkan diri bahwa kehidupan masih berlangsung. Ia harus kembali pada kenyataan hari ini."Naya, sebaiknya kamu pergi dari kota ini dan tinggal sendiri!" putusnya mensugestikan keyakinan akan keadaan yang sudah tidak bisa diperbaiki.Di luar sana, semua orang pasti sibuk membicarakan tentang masa lalu yang berupa pengakuan darinya. Apalagi ayah dan bunda akan mendapatkan masalah baru hanya karena pembatalan pernikahan. Bagaimana dengan kisah persahabatan dengan keluarga Dian?Rumit tapi setelah semua yang terjadi. Jujur saja ia tidak bisa mundur memperbaiki keadaan yang ada di antara semua hubungan. Meski semua kacau karena King. Tetap saja, pria itu datang karena merasa berhak atas dirinya. Satu pertanyaan yang tersisa, kenapa sang mantan kembali di hari pernikahan dan bukan sebelumnya?Niat hati ingin membersihkan diri, tapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang begitu familiar di telinganya. Gadis itu berusaha menahan rasa di dalam dada, lalu berjalan menghampiri pintu, kemudian memutar kunci. "Masuklah!" pintanya memutar knop yang ditarik ke belakang."Nak, sebaiknya kamu turun!" titah Ayah Arsyad tanpa berniat masuk ke dalam kamar Naya.Pria yang selama ini memiliki kepribadian tenang terlihat begitu gelisah dengan tatapan mata menunduk, bibir pucat. Naya memperhatikan perubahan sang ayah begitu drastis hingga tak sengaja melihat warna merah di tangan kanan ayahnya. Sontak saja ia meraih tangan untuk memeriksa dan aroma anyir menyeruak terlalu tajam menjelaskan adanya darah segar."Ayah, apa yang terjadi?" Naya menatap Ayah Arsyad begitu intens. Sayangnya sang ayah tetap bungkam hingga membuat sisa ketenangannya terhempas memudar entah kemana.Tidak ada penjelasan yang bisa mengurangi rasa penasarannya. Apalagi sikap sang ayah sungguh di luar kebiasaan. Buru-buru ia melangkahkan kaki berjalan meninggalkan kamar tanpa melepaskan tangan yang selama ini selalu menjadi tempat ternyaman di saat hati membutuhkan kasih sayang serta dukungan. Langkah terus maju hingga bersambut pemandangan mengerikan mengubah pelaminan menjadi ruang penyiksaan."Ayah mertua, Anda lama sekali membawa calon istriku. Siapa yang akan bertanggung jawab menggantikan nyawa mereka?" Suara lembut yang ditekankan terdengar lebih mengintimidasi menyebarkan aura tak mengenakkan menghasut keyakinan hati semua orang yang menjadi tawanan pernikahan.King melambaikan tangan mengharapkan Naya datang menghampirinya tanpa mengalihkan pandangan mata menatap tubuh Dian yang tersungkur di lantai. Calon mempelai pria sang mantan dengan kondisi raga bermandikan warna merah kini ia jadikan sebagai kado pernikahan pertama darinya untuk keluarga pihak mempelai wanita. Sadar benar jika di masa mendatang, Dian bisa menjadi masalah besar sehingga harus memberikan pelajaran sebagai peringatan pertama.Kondisi Dian masih aman karena luka yang diterima pria itu masihlah bukan area vital sehingga menyebabkan kematian. Akan tetapi, jika tidak segera dilarikan ke rumah sakit maka bisa jadi merenggang nyawa tanpa mendapatkan pertolongan. Naya yang tidak tau apapun hanya terdiam melihat keadaan di sekitarnya."Nak, bantu kami untuk lepas dari baj!ngan itu, menikahlah dengannya!" Disentuhnya pundak sang putri yang tersentak karena mendengar permintaannya, tapi tidak ada cara lain lagi untuk membuat King berhenti melakukan penyiksaan pada orang-orang tak bersalah di dalam rumah mereka.Satu permintaan dari Ayah Arsyad terdengar seperti perintah mutlak, membuat Naya tidak sanggup untuk menolak. Balas budi serta tanggung jawab sebagai penyebab semua luka yang dialami beberapa tamu undangan menyadarkan gadis itu untuk tetap pasrah menahan amarah hati.Pernikahan pun akhirnya dilangsungkan tanpa ada penundaan waktu. Dimana King mengucapkan ikrar janji suci dengan suara lantang dalam sekali tarikan napas. Naya tak kuasa menahan siksaan rasa di hati yang sungguh menyesakkan dada hingga jatuh tak sadarkan diri bersamaan gema suara sah memenuhi ruang pelaminan.Tak ada yang bisa mendekati Naya karena King langsung menggendong istrinya. Pria itu pergi meninggalkan rumah keluarga ayah Arsyad tanpa basa basi. Siapa yang bisa menghentikan seorang suami? Tentu tidak ada, tetapi tindakan nekad sang menantu dadakan menjadi luka yang membekas di hati kedua mertuanya.Ayah Arsyad berusaha untuk menenangkan istrinya dan juga meminta maaf atas insiden tak terduga di dalam acara pernikahan putri keluarga mereka. Pria itu juga siap membiayai semua tamu yang mengalami luka ringan akibat ulah menantu tak diinginkannya. Termasuk langsung membawa Dian ke rumah sakit terdekat agar segera mendapatkan pertolongan.Miris akan kenyataan di dalam kehidupan singkat yang menjadi bukti perubahan waktu tanpa ada rencana. Hiasan rumah yang terlihat indah berubah suram dalam hitungan satu jam terakhir, ditambah warna merah mewarnai lantai menyebarkan aroma anyir. Pernikahan berdarah sang putri pasti akan diingat sampai beberapa kehidupan masa yang akan datang.Ayah berharap, putriku sanggup tetap bersabar menjalani ujian mahligai rumah tangga yang pasti sangat sulit lebih dari pernikahan normal lainnya. Semoga sampai saat itu tiba, kita bisa dipertemukan lagi, ya, Nak~ucap hati ayah Arsyad mengingat surat perjanjian yang sudah ditandatanganinya tanpa persetujuan Naya.Di tengah kekaguman akan ciptaan Sang Penguasa Alam tiba-tiba dikejutkan suara keras ketukan pintu kasar. Entah yang mengetuk pintu tak memiliki sopan santun atau memang sedang terburu-buru. Apapun alasannya, satu hal pasti sudah membangkitkan rasa kesal dari dalam hati. "Ck! Ganggu orang seneng aja," gerutunya tetapi tetap melangkah mendekati papan kayu yang setinggi hampir dua meter. Lalu, ia putar knop meski rasa malas menyapa, "Elo, gak bisa sabar dikit gitu jadi human?""Halah, rumah sendiri ini, suka-suka aku donk." timpal si pendatang seraya melemparkan sebuah dokumen bersampul transparan ke penghuni kamar yang berdiri menghalangi pintu. Bukannya tidak paham, apalagi tak mengerti akan situasi apalagi waktu. Baginya pekerjaan lebih penting daripada harus memeluk sikap kalem. Sebab tidak hari tanpa tekanan sang majikan dan seluruh penghuni tempat mereka berpijak tentu sangat hapal peraturan di luar kepala masing-masing. Lalu, untuk apa dia merasa sungkan? "Gue gak peduli. Poko
Penantian yang dinantikan nyatanya hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit hingga seorang pria dengan perut nan buncit datang menghampiri. Nama pria itu ialah Pak Didit yang memiliki peran penting karena bertanggung jawab atas setiap bangunan sebelum pindah ke tangan pemilik sah. Menurut informasi, pria satu itu juga tinggal tak jauh dari perumahan elit tetapi tidak menjadi salah satu pemilik unit sebab perusahaan telah menyediakan rumah berbeda. "Selamat malam, Tuan. Maaf udah buat Anda nungguin saya lama. Mari saya antar ke kediaman Anda sembari membicarakan prosedur terakhirnya!" Pak Didit tanpa basa-basi langsung mengajak King untuk meninggalkan parkiran. Meski mereka berdua terpisah di kendaraan berbeda sepanjang perjalanan menuju kediaman sang pemilik properti. Bangunan berlantai tiga dengan desain modern dimana dari luar tampak deretan dinding kaca tertutup tirai. Akan tetapi dengan pagar setinggi satu meter lebih membuat pandangan dari luar tidak bisa melihat secara me
Namun, apa gunanya mengkhawatirkan seseorang yang selalu siap menjalani lika-liku kehidupan. Bukan karena tuannya itu memiliki kekuasaan tetapi ia percaya akan setiap langkah sang atasan selalu berdasarkan perhitungan. Selain itu, tanggung jawab yang harus ia penuhi adalah memastikan keamanan dari pasien. Tentu saja tidak ada tempat untuk dirinya bersantai. Oleh karena itu, kaki melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit tapi bukan ke ruang ICU melainkan ke salah satu lorong dimana ruangan dokter yang menangani Mrs. varsha berada. Ia harus memastikan pengaturan yang diinginkan atasannya terpenuhi tanpa mengalami masalah apapun. Sementara di sisi lain, King sendiri fokus menyetir dimana perjalanan malam akan sangat membosankan karena tak ada teman sepermainan. Bagaimana kesunyian begitu enggan meninggalkan kesendirian di tengah hiruk pikuk kendaraan yang juga berlalu lalang di luar sana. Sesaat fokus teralihkan pada kerlap-kerlip lampu jalan yang menjadi bintang jalanan. "Kenapa o
Kekacauan di jalan raya itu tak bisa dihindari bahkan kemacetan pun kian menjadi. Akan tetapi tidak menghalangi laju kendaraan beberapa ambulans yang meninggalkan lokasi kejadian kecelakaan. Suara sirine terdengar mengaung membelah jalanan yang mana membuat orang-orang pemilik kendaraan lain membiarkan tanpa mengeluh sebab mereka tahu nyawa di dalam kendaraan milik rumah sakit sedang dipertaruhkan. Begitu juga dengan para perawat yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien. Hingga pada akhirnya mereka hanya bisa menunggu sampai di rumah sakit untuk melanjutkan pengobatan dari pasien yang mengalami kecelakaan. Jarak yang ditempuh memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit dan itu pun tanpa halangan selain berpacu pada waktu. Pihak rumah sakit langsung menyambut para pasien begitu mobil ambulans berhenti di lobi. Kemudian mengeluarkan satu per satu brankar diterima oleh beberapa dokter berbeda. Penanganan telah berpindah tangan tetapi peng
Aya tersenyum meski rasa di dalam dada terasa panas membara. Entah kenapa ia tiba-tiba memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya. Mungkin karena beberapa hari terakhir lebih banyak memiliki waktu senggang atau sebatas terlalu memikirkan banyak hal secara bersamaan. Apapun alasannya, ia merasa kehilangan semangat. "Gak kok, Suamiku. Yuk, kita ke bawah buat sarapan." ajak Aya dengan manja dimana ia menggandeng tangan kanan suaminya. Langkah kaki berjalan bersama menyusuri lantai marmer menuju anak tangga yang ada di depan sana. Terkadang sikap menghadirkan kebenaran tanpa kata-kata. Bahkan tidak setiap pernyataan bisa menjadi fakta yang sebenarnya. Begitu juga dengan perasaan dimana selalu terpancar dari tatapan mata. Bagi mereka yang peka, maka perubahan sekecil apapun bisa terasa. Namun, seringkali manusia melupakan hal paling sederhana yaitu berusaha terbuka pada pasangan sendiri. Raga pemilik jiwa bukan seorang peramal, sebab itu agar pasangannya memahami isi hati dan pikiran, ten
Setelah kepergian sang istri, akhirnya King beranjak dari tempat tidur. Pria itu tidak ingin membuat Naya terbawa perasaan hanya karena keberadaannya. Terlebih lagi hubungan mereka hanya sebatas di atas kertas. Sejak awal adalah orang asing, maka sampai kapanpun akan tetap asing. Begitulah pikirnya yang mana sesuai dengan fakta tanpa melupakan kebenaran. Ia pun tidak berniat untuk mengingkari janji yang telah ia buat secara sadar walau demi kepentingan diri sendiri. Jika belenggu emosi bisa ia hindari, lalu apa gunanya untuk menghadirkan kesempatan mengenal satu sama lain? Langkah kaki menyusuri anak tangga dengan santainya dan tatapan mata fokus ke depan tidak teralihkan oleh hal lain. Sejujurnya, dia enggan untuk tetap tinggal di rumah Matthew. Akan tetapi mengingat situasi lebih baik menjaga jarak untuk memastikan tidak ada kecurangan. Apalagi tindakan di luar batas yang hanya untuk mengancamnya. "Selamat pagi, Tuan Muda. Mau bibi buatin teh atau kopi?" Seorang pelayan langsung