Davin memandangi Jingga, lalu menghela napas panjang. Ia nyaris lupa bagaimana caranya berkedip saat melihat penampilan istrinya saat ini. “Kenapa menghela napas? Aku terlihat jelek, ya? Atau riasanku aneh?” tanya Jingga seraya menatap Davin dengan tatapan polos. Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling lobi Madhava Studio. Rahangnya mengeras saat ia mendapati beberapa pria yang berlalu lalang menatap ke arah Jingga lebih dari satu kali. “Udara di sini cukup dingin, Sayang.” Davin melepas jas hitam yang ia kenakan. Lalu mengenakannya di bahu Jingga, untuk menutupi tubuhnya yang indah dari pandangan lelaki lain. Jingga mengerjap. “Tapi aku nggak dingin,” sanggahnya, menggeleng. “Tapi aku nggak suka milikku dipandangi orang lain.” Davin merapatkan jas tersebut, menenggelamkan tubuh Jingga yang malam ini mengenakan dress satin berwarna peach, dengan model tali spageti, tinggi di bawah lutut, dan belahan di samping kiri yang memanjang ke atas lutut membuat gaun itu terlihat semakin
“Aku tahu, Sayang. Dan bagiku, kamu adalah karya seni yang paling indah dalam hidupku.” Jingga terperangah. Pipinya berubah semerah tomat. Ia tak menduga kata-kata manis itu akan keluar dari mulut suaminya. “Kenapa semakin ke sini, kamu semakin pintar menggombal, sih?” gerutu Jingga seraya menangkup pipinya yang terasa panas. Davin memperhatikan wajah Jingga, ia mengulum senyum dan kembali berbisik, “Kurasa, kita nggak perlu lama-lama di sini.” Ia mengecup pelipis Jingga. Jingga menatapnya dengan kening berkerut. “Kenapa memangnya?” “Aku ingin mencium bibirmu.” “Astaga....” Jingga menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan arah pikiran suaminya. Lalu Jingga bergegas meninggalkan Davin menuju kursi mereka. Satu sudut bibir Davin terangkat, tingkah malu-malu istrinya terlihat menggemaskan di matanya. Ia menyusul Jingga, duduk berdampingan dengannya. Saat keduanya sedang mengobrol sambil sesekali menyaksikan pembawa acara yang berbicara di depan, seorang pria tua
Davin menahan geramnya dalam hati. Rasanya ia ingin mencolok mata-mata nakal para pria itu dengan garpu yang sedang ia pegang.Sudut mata Davin menangkap beberapa pria mencuri-curi pandang ke arah Jingga. Davin semakin geram. Ia menancapkan garpu ke potongan waffle di piringnya dengan kasar, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya.Tatapan mata tajamnya ia layangkan pada beberapa pria tersebut, bergantian, membuat mereka secara spontan memalingkan muka ke arah lain dengan takut.Sementara Jingga, dengan kalemnya menyantap makanan tanpa menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian pria-pria di meja seberang itu.“Kenapa wajah kamu tegang begitu?” Jingga menaruh pisau dan garpu ke atas piring, satu tangannya terulur untuk menangkup rahang Davin yang terasa kasar di bawah sentuhannya. “Kamu merasa nggak nyaman, ya?”Davin menghela napas panjang. Ia meraih tangan Jingga dari pipinya, mencium telapak tangan itu dengan mesra seolah ingin menunjukkan kepemilikannya.“Setelah menghabisk
Detik-detik penyiksaan itu nyatanya tak kunjung berakhir. Setibanya di rumah, Jingga benar-benar melepas jas Davin dari tubuhnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Lalu menaruh jas itu di atas sofa.Tubuhnya yang berbalut gaun satin dengan tali spageti itu terpampang di depan mata Davin, membuat Davin mematung di depan pintu dengan mata tak berkedip. Pandangan Davin mengikuti Jingga yang berjalan menuju kitchen bar sembari mencepol rambut.Melihat leher jenjang itu pikiran Davin semakin liar. Rasanya sudah lama sekali ia tidak membuat mahakarya di sana. Davin menelan saliva dengan susah payah. Ia juga merasakan seluruh tubuhnya menegang.“Sayang, kamu mau minum juga?” seru Jingga dari arah dapur.Ya Tuhan! Davin mengusap wajah dengan kasar. Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah Jingga menyiksanya dengan penampilannya? Lalu sekarang, wanita itu memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’?Tidak bisa. Davin tidak bisa menahan dirinya lagi. Lama-lama ia bisa gila!Ia bergegas menghampiri Jing
Davin senyum-senyum sendiri, membayangkan akan sepanas apa malamnya bersama Jingga malam ini. Jantungnya berpacu cepat saat ia tiba di depan sebuah pintu kamar. Dengan tidak sabaran, lantas didorongnya pintu tersebut sambil berseru, “Sayang, aku kembali...!” Namun, ia tidak menemukan istrinya di dalam kamar itu. Davin melangkah masuk, kembali berseru dengan suara baritonnya, “Sayang? Kamu sengaja bersembunyi dariku?” Davin membuka pintu kamar mandi. Kosong. Lalu ia masuk ke walk in closet. Di sana pun tak ada sosok wanita yang dicintainya yang sedang dicarinya. Tanpa banyak berpikir, Davin pun keluar dari kamar itu dan bergegas menghampiri kamar utama. Saat ia membuka pintu kamar tersebut, mata Davin kembali berbinar-binar kala menemukan istrinya sedang duduk di sofa. Dilihat dari pakaian tidur yang Jingga kenakan, sepertinya Jingga sempat membersihkan tubuhnya saat Davin menidurkan Oliver barusan. Salah satu bagian tubuh Davin kembali menegang meski ia hanya memandangi istriny
Arum keluar dari kamarnya yang ada di belakang, terpisah dari rumah Davin. Di sana berjajar beberapa ruangan khusus untuk para pekerja. Langit terlihat masih gelap saat Arum melintasi jembatan yang menghubungkan halaman ruangannya, dengan beranda bagian belakang rumah sang majikan.Bunyi bip beberapa kali terdengar di tengah kesunyian saat Arum memasukkan kombinasi angka pada smart lock pintu, hingga pintu belakang rumah majikannya itu terbuka.Pukul lima pagi, jam kerja Arum dimulai. Ia memasuki rumah mewah tersebut, pintu di belakangnya otomatis terkunci saat Arum menutupnya.Hal pertama yang Arum lakukan adalah membuka-buka gorden yang menjulang tinggi menggunakan remote. Membuka jendela, membiarkan udara pagi yang masih segar masuk ke dalam rumah. Lantai satu selesai. Saatnya ia naik ke lantai dua. Gorden di lantai dua jauh lebih tinggi lagi, sebab hampir seluruh dinding di lantai tersebut terbuat dari kaca.Saat Arum melewati lorong yang remang-remang dan hendak mengambil remote
Jingga membuka pintu kaca di hadapannya. Semilir angin seketika menerpa tubuh, membuat rambut panjangnya melambai-lambai.Ia menggenggam tumbler berisi matcha latte di tangan kiri, sementara tangan kanan sibuk men-scroll media sosialnya.Jingga menyeret langkahnya ke ujung rooftop, sambil sesekali tersenyum melihat bunga-bunga yang tumbuh dengan baik di sisi kiri rooftop yang sengaja ia jadikan sebagai taman kecil.Di ujung rooftop itu ada dua kursi yang saling berhadapan, hanya terpisahkan oleh meja berpayung. Jingga duduk di salah satu kursi itu, ia menyesap minumannya sesaat, lalu tersenyum sendiri dengan mata berbinar saat ia menonton video pendek tentang sepasang kekasih yang traveling berdua menggunakan motor.Jingga mengetik sesuatu di kolom komentar postingan tersebut. Setelahnya ia menaruh ponsel di meja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah book cafe di seberang sana.Ya, saat ini Jingga berada di studio miliknya. Ia sudah mulai menempati gedung ini sejak beberapa hari yang
Setelah merapikan beberapa alat lukis yang sempat digunakan, Jingga keluar dari ruangan kreatifnya. Ia memandang ke sekeliling studio lantai tiga yang cukup luas dan bergaya minimalis itu. Meski semuanya telah disediakan oleh Davin, tapi Jingga merasa ada sesuatu yang kurang. Ia mendorong pintu kaca di hadapannya. Seulas senyum lebar terlukis di bibir kala ia memandangi Davin. Pria berkemeja hitam itu sedang menelepon, satu tangannya bersembunyi di saku celana, berdiri dengan gagah di ujung rooftop, membelakangi Jingga. Punggung lebar itu... Jingga sangat menyukainya. Juga potongan rambut di tengkuknya yang rapi, membuat siapapun yang melihatnya akan berpikir bahwa Davin adalah pria tampan meski mereka belum melihat parasnya. Tanpa suara, Jingga mengayunkan langkah menghampiri. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Davin dan menyandarkan pipi di punggung lebar itu. Jingga bisa merasakan tubuh pria itu menegang dan sempat berjengit. “Aku tunggu tiga puluh menit!” kata Davin den