Setelah resepsi pernikahan selesai, bagai mimpi yang tidak pernah terbayangkan oleh Frisca akan menikah dan tinggal bersama Daniel, Dosen Killer di kampusnya, musuhnya, sahabat Kakaknya, sekaligus orang yang pernah ia tolak cintanya mentah-mentah.
Kali ini Frisca berdiri di hadapan sebuah rumah megah milik Daniel. Seperti janji di awal kalau sudah menikah, Frisca akan tinggal dengan Daniel.Frisca terdiam, ia ternganga menatap rumah megah milik suaminya yang nampak bagai istana di negeri dongeng, sambil memeluk boneka unicorn miliknya yang tidak pernah ketinggalan."I... Ini rumah Kakak?" tanya Frisca menatap kagum bangunan model Italian tersebut."Heem, ini gubukku," jawab Daniel."What the... Gubuk?!" pekik Frisca melebarkan kedua matanya ternganga.Ia menatap laki-laki yang kini menjadi suaminya itu, Daniel tersenyum miring melirik Frisca."Gila, kalau yang modelan ini gubuk, lalu rumahku apa? Kandang kucing?" cicit Frisca berdiri di belakang Daniel.Pintu rumah megah itu terbuka dan nampak dua pelayan yang kini membungkukkan badannya membukakan pintu untuk mereka berdua. Terlihat raut wajah terkejut mereka saat melihat Frisca.Daniel berjalan ke arah sofa, ia melepaskan jas hitamnya dan menyampirkan di lengan kirinya. Laki-laki itu menatap empat pelayan yang mendekatinya dengan tatapan kaget.Bagaimana tidak kaget, pergi kondangan pulang bukannya membawa souvenir, malah membawa pengantin wanitanya."Tuan Daniel," cicit Bi Ressi menoleh kaku pada Daniel.Daniel tersenyum manis, ia meraih lengan Frisca dan menggenggam tangannya tanpa sungkan."Kalian semua, perkenalkan gadis cantik di sampingku ini adalah Nyonya kalian. Dia Frisca, istriku!" tegas Daniel."Hah, istri?!" pekik keempat pelayannya itu bersamaan."Ya, dia istriku. Kalian harus menuruti apa yang dia mau dan perlakukan dia seperti kalian memperlakukan aku. Paham!"Mereka berempat mengangguk, "Paham Tuan!"Daniel menoleh pada Frisca yang masih terkagum-kagum dengan seisi rumah megah milik Daniel."Apa yang kau lihat, Sayangku?" tanya Daniel merangkul pundak Frisca."Rumahmu, sangat besar dan megah." Frisca menatap lampu gantung yang terbuat dari berlian.Kekehan terdengar dari bibir Daniel."Kecil, ini hanya rumah biasa. Aku punya mansion yang tidak aku tempati," jawabnya seraya merangkul pinggang Frisdan diajaknya naik ke lantai dua."Mansion?! Kakak serius?!" Frisca berbinar terkejut."Aku tidak pernah membohongimu, Sayang." Daniel berucap romantis.Sialan, Frisca merasakan detak jantungnya berdebar saat Daniel memanggilnya dengan sebutan itu.Saat sampai di lantai dua, langkah Frisca terhenti di depan sebuah foto besar yang tergantung di dinding. Ia mengerjapkan kedua matanya menatap foto besar milik Daniel yang memakai pakaian formal rapi dan ia sangat tampan dengan ocean blue eyes miliknya."Ka... Kau bukan sembarang dosen kan?" tanya Frisca berucap tanpa sadar.Daniel bersedekap berdiri di belakangnya, bagai sandaran untuk Frisca."Heem, bisa dikatakan begitu. Menjadi dosen hanya mengisi waktu luangku dan saat aku bosan. Perusahaanku di Milan, sudah aku serahkan tangan kananku, jadi aku bisa bebas mengawasimu di kampus karena aku tahu kau akan aku miliki meskipun kau menolakku secara tidak sopan," jawab Daniel bernada angkuh dan deheman kecil di akhir kalimatnya.Frisca dibuat terkejut lagi dan lagi, dia bukan hanya dosen! Pemilik perusahaan berlian, seorang Boss besar, dia menjadi dosen hanya untuk mengisi waktu bosannya saja. Daniel memang gila."Oh my gosh," cicit Frisca menyentuh keningnya."Ayo ke kamar kita," ajak Daniel beranjak lebih dulu."Kita?!" pekik Frisca menoleh ke arah suaminya yang membuka pintu sebuah kamar.Daniel mengangguk mantap."Heem, tentu saja. Kau kan istriku, Frisca. Aku suamimu, kita sudah sah dan kita satu ranjang juga tidak masalah. Memelukmu pun juga sudah menjadi hak untukku, jadi....""Tidak mau! Aku mau punya kamar sendiri!" teriak Frisca menghentakkan kakinya di lantai seperti anak kecil.Mana mungkin semudah itu Daniel mengabulkannya, ia tetap membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam sana tanpa mempedulikan Frisca yang merengek mulai mengejarnya."Kak Daniel, aku tidak mau satu ranjang denganmu! Kau pasti banyak mencuri kesempatan dariku... Please, aku mau kamar di samping sana! Kak Daniel dengar kan?! Kak Daniel...." Frisca menarik-narik lengan Daniel."Tidak Frisca, tidur di sini denganku, titik!" Daniel membalikkan badannya mencekal pundak Frisca dan mendudukkannya di tepi ujung ranjang besar miliknya. Laki-laki itu membungkukkan badannya menyunggingkan senyuman smirk andalannya."Karena ini rumahku, satu, dua, tiga, peraturan di dalam rumah ini, harus kau patuhi. Paham Sayangku?"Frisca menggeleng-gelengkan kepalanya ingin menangis, namun Daniel mana peduli. Lebih baik Frisca menangis dari pada ia harus pisah ranjang dengan Frisca saat status mereka sudah sah."Pokoknya aku mau kamar sendiri!" pekik Frisca memeluk satu lengan kekar Daniel."Okay! Aku beri kau pilihan Frisca!" Daniel menunduk menatap wajah istri kecilnya yang kesal."Kau bisa pilih tidur berdua denganku di sini, atau tidur sendirian di kamar hantu di lantai satu! Sudah, itu saja pilihan dariku! Tidak bisa diganggu gugat!"Kedua mata Frisca melebar. "Tapi... Tapi Kak Daniel, aku kan....""Tidak ada bantahan!" Daniel beranjak membuka lemari dan mengambil pakaiannya sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Frisca.Berantakan hidup Frisca dalam hitungan jam, ia memukuli bantal yang ada di sampingnya dan mengambil boneka Unicorn miliknya yang tadi dibawanya."Pangeran Unicorn, hidupku kacau gara-gara dosen gila! Daniel gila! Sayangnya... Sayangnya gila-gila begitu sekarang dia suamiku. Oh Ya Tuhan... Nasib, nasib!" Frisca memeluk boneka Unicorn miliknya dan menangis kesal.**Jam menunjukkan pukul sembilan malam, Frisca baru saja mandi. Gadis itu terkejut saat membuka pintu lemari di mana di dalam sana banyak sekali pakaian perempuan, dan semuanya bermerk mahal, ternama.Frisca mengambil sebuah dress panjang putih, gaun tidur hangat dan memakainya cepat.Gadis itu berdiri mematut dirinya di cermin dan nampak menilai-nilai."Banyak sekali pakaian perempuan, apa jangan-jangan dia sering mambawa perempuan pulang!" pekik Frisca membungkam bibirnya dengan kedua matanya yang langsung melebar.Bayangan buruk-buruk tentang Daniel yang dikenalnya sosok dingin, pendiam, dan berbahaya pun muncul."Jangan-jangan aku bukan yang pertama, dia... Dia sudah tidak perja....""Ekhemm!"Tubuh Frisca tersentak mendengar deheman keras yang membuatnya tersentak seketika.Ia menoleh cepat di mana Daniel yang entah sejak kapan duduk di atas ranjang memangku laptopnya. Mungkin dia mendengar kata-kata menjijikkan dari bibir Frisca barusan."Se... Sejak kapan Kakak di sana?" tanya Frisca kikuk.Daniel menoleh dengan tatapan dingin andalannya."Sejak kau bilang kalau aku sering membawa banyak perempuan pulang sampai kau nyaris menuduhku tidak lagi segelan!"Frisca terkekeh pelan dan menggaruk tengkuk lehernya mendekati Daniel. Ia naik ke atas ranjang dan enggan berdebat."Umm, lupakan saja Kak, lebih baik tidur saja sekarang," cicitnya bernada pelan dan kikuk.Daniel meliriknya, gadis cantik itu membuatnya gemas saat Frisca memeluk boneka Unicorn miliknya dan meletakkannya di tengah antara Daniel dan dirinya."Kakak jangan melewati Pangeran Unicorn ya! Pokoknya tidak boleh!" peringat Frisca.Daniel tersenyum tipis tak menjawab, nyaris tak terlihat. Ia melanjutkan mengetikkan sesuatu di laptopnya. Sesekali ia melirik Frisca yang sudah berbaring menarik selimut hingga di bawah leher.Selang beberapa detik Daniel menutup laptopnya dan meletakkan di atas nakas. Laki-laki itu tiba-tiba saja meraih boneka Unicorn di sampingnya dan melemparkannya ke sofa. Hal itu membuat Frisca terkejut."Pangeran Unicorn!" pekik Frisca."Tidur!" seru Daniel memeluknya tiba-tiba hingga tubuh kecil Frisca begitu ringkih dalam dekapannya."Kak Daniel, kau... Awas kau ya, kenapa kau membuang Pangeran Unicorn!" teriak Frisca memukul pundak Daniel.Kedua mata indah yang tertutup kini kembali terbuka. Frisca menatap kesal padanya, namun Daniel tetap tenang seperti biasa."Aku hanya ingin tidur memeluk istriku, masih untung boneka kuda jelekmu itu aku lempar ke sofa, belum aku bakar!" serunya."Ya jangan!" Frisca meronta.Daniel kian kuat memeluknya dan ia menahan tawa dalam hatinya."Tidur, sekali lagi bergerak, aku akan memberikan pelajaran untukmu Sayangku! Tidur atau menikmati malam pertama? Kau pilih yang mana, hem?"Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just