"Apa maksudmu, Reina?"
Alex menautkan alisnya, tak menyangka gadis di hadapannya itu bisa berbicara hal yang sebelumnya dikatakan padanya.Alex dan Reina kini berada di luar restoran. Dia sengaja ingin berbicara empat mata dengan calon suaminya itu—yang barangkali bisa berakhir sebelum terlambat."Maksud aku, aku tau Om pasti masih cinta sama mantan istrinya Om. Aku juga tau kalau Om terpaksa kan, menikah sama aku? Makanya, bagaimana kalau kita besok langsung pisah aja?" tanya Reina, maniknya menatap ekspresi Alex yang entah mengapa berubah menjadi dingin seketika. Bahkan, rahang laki-laki itu mengeras, seolah menahan sesuatu keluar dari mulutnya."Terpaksa? Kamu dapat kesimpulan dari mana?" Alex berdecih. "Saya nggak mau berpisah, Reina. Meskipun begitu, kamu nggak perlu khawatir. Setelah kita menikah, saya nggak akan mengganggu kehidupanmu.""Hah?" tanya Reina, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Dengar, Reina. Saya minta maaf jika umur dan juga penampilan saya tidak sesuai dengan ekspetasi dan tipe kamu. Tapi, saya tetap ingin membalas kebaikan dari almarhum papa kamu. Jika kamu memang tidak nyaman, mari kita menikah di atas kertas. Yang penting, kita harus mengikat hubungan kita, Reina."Alex kini hanya bisa menghela napasnya. Perlahan, lelaki itu memegang bahu Reina, menatap calon istrinya dengan nanar."Ja-jadi .... maksud Om, menikah kontrak? Dan aku tetap bebas berhubungan dengan siapa pun?" Reina terperangah, sehingga berusaha meyakinkan apa yang didengarnya sekali lagi.Alex mengangguk mantap. "Kamu melakukan pernikahan ini juga demi menjalankan permintaan terakhir dari papa yang kamu sayangi kan?""Iya ....""Kalau begitu, mohon kerjasamanya, Reina Hindrawan."Alex mengulurkan tangan kanannya. "Untuk peraturan dan ketentuan dari pernikahan yang kita jalani ini, kita bicarakan besok saja, bagaimana?"Reina memandang tangan Alex yang terulur itu. Rupanya laki-laki itu tidak semengerikan yang dia pikir. Malahan, Alex menawarkan jalan keluar yang tidak Reina sangka-sangka."Oke! Setuju!"Reina menyambut uluran tangan tersebut. Tanpa sadar, seseorang sengaja berhenti di ambang pintu untuk mendengar percakapan keduanya.•••••Setelah Alex dan Reina berbicara empat mata, anehnya Tara dan Rendi seakan menjauh. Mereka menempati meja paling pojok, mengabaikan panggilan dari Alex pula. Alex mengernyit, menoleh ke arah Reina."Mereka kenapa? Kayaknya tadi masih santai-santai aja."Reina mengendikkan bahu, "Mungkin mereka lagi banyak kerjaan, Om."Alex berjengit, memicingkan mata. "Kamu serius mau panggil saya kayak begitu? Ini kita lagi di sama orang-orang, Reina.""Lha terus? Saya harus panggil apa? 'Mas' gitu?"Alex tertegun. Sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak dipanggil demikian. Terakhir kali, tentu mendiang Delia yang memanggilnya penuh sendu bercampur kasih sayang. Dalam sekejap, rautnya mengeras, seolah menjadi orang yang benar-benar berbeda."Eherm." Alex mengalihkan pandang ke sepenjuru restoran. "Ibu saya sepertinya suka sama kamu."Reina mencari keberadaan Bu Nora. Dan benar saja, wanita itu melambaikan tangan ke arahnya begitu bertemu tatap. Reina tersenyum manis, balas melambai."Tolong temani ibu saya. Saya ada beberapa telepon yang harus dijawab."Tidak mau repot-repot menoleh, Alex berlalu begitu saja. Reina menelengkan kepala. "Dia kenapa sih? Bukannya tadi kayak biasa aja ya? Kenapa jadi kaku dan ngajak perang gitu mukanya?"Mengabaikan rasa ingin taunya, Reina menghampiri Bu Nora setelah membawa dua sup buah. Ternyata haus juga, padahal dia tidak berbicara banyak dan duduk anteng di samping Bu Nora sejak acara berlangsung.Sementara itu, Alex menurunkan ponselnya selesai menjawab satu panggilan masuk dari bawahannya. Laki-laki itu berdiri di samping lorong menuju toilet. Dari titik yang dipijaki, Alex mampu mengamati seluruh orang yang berada di acara pentingnya ini.Lamaran dengan seorang gadis yang manja yang banyak gaya. Astaga! Alex mau merutuki diri sendiri, tetapi dia tidak bisa mengelak dari takdir yang satu ini. Dia telah berutang begitu banyak kepada almarhum Hindrawan. Rasanya seperti manusia tidak tau terima kasih jika dirinya lari dari tanpa mewujudkan keinginan terakhir Hindrawan."Kalau saya tidak ada di dunia ini, tapi anak saya belum menikah, kamu mau tidak jadi suami untuk anak yang yang manja dan butuh banyak bimbingan itu?"Pertanyaan Hindrawan yang dilayangkan pada suati hari itu tadinya dikira sekadar gurauan saja. Tetapi begitu Pak Pram datang ke rumahnya untuk mengabarkan meninggalnya Hindrawan beserta sang istri, jujur saja dia pikir sedang bermimpi di siang bolong.Reina.Seperti yang Alex dengar dari cerita Hindrawan pada beberapa kesempatan, gadis itu memang manja. Tergila-gila sekali dengan pacarnya yang bernama Andre. Menurut perkataan Tara dan Rendi, Andre itu tidak pantas untuk Reina. Namun Alex merasa sangsi untuk ungkapan tersebut. Sebab dia sendiri juga merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Reina.Lelaki itu merasa bahwa dirinya lebih cocok untuk dijadikan paman bagi Reina, bukan suami. Namun dalam hati, Alex juga tau, bahwa dia harus segera berpindah hati dari mendiang istrinya. Bahkan, mantan istrinya berpesan untuk tidak terus bersedih, dan tak apa baginya untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain.Bagaimanapun juga, dia tak punya pilihan lain. Alex akan tetap menikahi Reina, meskipun gadis itu tak menyukainya.•••••"Lha kalau aturannya kayak gini, kapan pisahnya, Om?" Reina membelalakkan matanya ketika membaca selembar kertas yang diberikan oleh Alex. Bahkan, laki-laki itu sudah menandatanganinya, tersisa space kosong di sampingnya untuk tanda tangan Reina.Siang itu, sang duda tampan alias calon suaminya itu datang ke rumah untuk membicarakan apa saja yang akan mereka lakulan semasa menikah nanti.Reina hanya bisa tertawa kecil saat membaca poin-poin yang ditulis Alex. Jangan bawa orang lain (termasuk pacar) ke rumah, menjaga privasi masing-masing, jangan lupa untuk akting layaknya suami-istri di depan keluarga dan orang banyak, jangan membocorkan rahasia pernikahan palsu kepada siapapun, dan jangan sampai terpikat dengan pesona Alex.Sebenarnya Reina mau tertawa terbahak-bahak begitu melihat ketentuan terakhir. Biarpun Alex itu om-om yang tampak muda, Reina tidak akan kepincut akan pesonanya. Dia sudah memiliki Andre. Selamanya akan seperti itu."Kita tunggu waktu yang tepat," kata Alex, menga
"Siapa ini?!"Reina memejamkan mata sejenak, sementara Alex tetap berdiri tegap memandang Andre tanpa minat. Tidak mau menjawab pula meski Andre menghunuskan tatapan tajam dan raut permusuhan yang membabi buta."Eh, sayang!"Alex berjengit. Cara Reina memanggil Andre begitu lembut dan menggoda—entah bagaimana bisa-bisa dia berpikir demikian. "Ini siapa, Re? Kamu selingkuh? Sama om-om?"Sekuat tenaga, Alex menahan diri untuk tidak menghadiahi kepalan tangannya ke wajah Andre. Baru bertemu beberapa detik saja, Alex setuju dengan pendapat Tara dan Rendi yang mengatakan jika Andre tidak pantas untuk Reina."Reina? Siapa om-om ini? Jangan bilang kalau kamu jual—""Saya calon suaminya."Sebelum Andre meneruskan kalimatnya, Alex memberikan pernyataan yang membuat laki-laki di hadapannya itu kaget bukan main. Begitu juga dengan Reina yang mengutuki Alex dalam hati lantaran langsung berkata tanpa sambutan dulu."Apa? Calon suami?" Andre menatap Reina tajam, sehingga Alex berpikir bahwa tatapa
“Ini kamar kamu.”Alex mendorong satu pintu, memperlihatkan isinya yang cukup luas. Reina manggut-manggut. Hampir sama luasnya dengan kamar pribadi Reina.“Bagus! Kayaknya nyaman nih!” Reina memasuki kamar tersebut, mencoba kasur empuk yang akan ditidurinya dalam berapa waktu.“Ini kamar kamu sendiri. Tapi kalau ada Ibu, mau nggak mau kita harus tidur satu kamar. Tidur di kamar saya.”“Hm, nggak masalah.”“Nggak masalah?” Alex memiringkan kepala, tak habis pikir dengan betapa santainya Reina akan hari ini. “Kita akan tidur di kasur yang sama, kamu nggak khawatir kalau saya melakukan apa-apa ke kamu?"“Lho? Memangnya bakalan ada apaan? Kan Cuma tidur, sendiri-sendiri.”Alex mengangguk pasrah. Memang benar. Mungkin dirinya saja yang berlebihan sebab tak pernah berinteraksi dengan lawan jenis lagi sejak kepergian Delia. "Atau mau coba sekarang ... Mas Alex?" goda Reina, sengaja mendekat dan memainkan kancing teratas kemeja suaminya itu.Bukannya mundur, Alex malah memajukan kepalanya se
"Pagi, Om!"Alex mengernyit. Padahal baru semalam laki-laki itu membuat Reina mati kutu dengan ucapannya, sekarang masih saja memanggilnya seperti itu. Tadinya Alex mau mengingatkan Reina, tapi terhalang dengan pemandangan Reina dalam balutan daster mininya.Reina mengikat rambutnya tinggi-tinggi, menuju dapur untuk mengambil sebotol air. Mengabaikan tatapan Alex yang tertuju padanya.Alex tidak salah lihat. Dia menyadari jika istri manjanya itu tak mengenakan pakaian dalam. "Kamu mau masuk angin? Pagi-pagi pakai daster yang begitu?"Reina menoleh, "Kenapa? Ada yang aneh? Aku memang biasa begini kok, Om.""Reina, saya sudah ingatkan kamu soal panggilan itu.""Iya, tapi sebentar dong." Reina berlari kecil, duduk di samping Alex dengan wajah dimanis-maniskan. "Kan aku belum terbiasa, tapi nanti kalau di depan orang banyak, pasti aku bisa bersikap profesional kok!"Alex mengangguk pelan. Dia memang tak bisa memaksa Reina dengan pernikahan mendadak mereka ini. Laki-laki itu menyesap kopin
Reina mencoba salah satu daster yang dibelikan oleh Alex. Dia pikir, laki-laki itu akan memilihkan yang polos-polos. Tetapi di luar ekspetasi, yang dibeli tidak jauh berbeda dari koleksinya. Setelah merapikan wajahnya agar tetap cantik meski dalam balutan daster, Reina keluar.Terdengar deru mobil suaminya yang baru saja mengantarkan Nora pulang. Reina memutuskan untuk menyambut kedatangan Alex, sekaligus memberitahu bahwa dirinya baru saja mengenakan salah satu daster pemberian sang suami."Selamat datang lagi, Om!" Reina memutar badannya. "Cocok ya di aku? Bisa aja pilihin yang warna kuning begini. Makasih, Om!"Tadinya Alex mau melayangkan protes lagi terkait panggilan dari Reina. Namun melihat senyum gadis itu, hatinya melunak. Alex mengangguk pelan, mengacak puncak kepala sang istri."Ibu datang kapan? Kenapa tadi kamu nggak kasih tau saya dulu?" tanya Alex, melangkah terlebih dulu selagi melepas dasinya. Dia belum sempat berganti pakaian sejak pulang tadi."Tadi itu, Ibu baru da
Dan benar saja, Alex selesai membayar sebuah tiket masuk ke salah satu wisata permainan yang tidak begitu ramai pada jam kerja. Sepanjang langkah yang tertuai, dia tidak paham, mengapa mau repot-repot membuntuti Andre dan Reina yang sedang berkencan.Belum apa-apa, Alex sudah kesal sendiri saat melihat rangkulan tangan Reina pada Andre. Gadis itu begitu dekat dengan Andre, bahkan pada beberapa kesempatan pun tubuh keduanya saling bersentuhan.Alex duduk di salah satu bangku panjang, mengenakan penyamaran seadanya. Andre dan Reina berbelok ke rumah hantu, dan saat itulah Alex memutuskan untuk mengakhiri kegiatannya tersebut. Dia tidak mungkin ikut masuk ke rumah hantu.Sepanjang perjalanan pulang, Alex tak bisa menghilangkan bayangan Andre dan Reina yang barangkali sedang berpelukan di dalam rumah hantu. Melihat senyum dan tawa Reina yang begitu lepas, menarik suatu perasaan yang tak masuk akal dalam diri Alex. Berbeda saat bersamanya, Reina terkesan terpaksa dan hanya mau memancing em
Reina mengerjapkan mata beberapa kali, sementara Alex menepuk keningnya. Susan tersenyum simpul, melipat tangan di depan dada—menandakan jika dirinya lebih unggul dari Reina. Susan berharap Reina akan cemburu dan melayangkan tatapan permusuhan padanya.Namun di luar dugaan, Reina malah mengangguk dan terkekeh. Jelas tidak sesuai prediksi Susan. Reina malah menepuk bahu Alex, menguarkan tawa polos yang mengundang keheranan."Wah! Mas Alex seleranya pas waktu muda kayak Mbaknya ini ya?" celetuk Reina, yang langsung membuat Susan kesal, tidak tau kenapa. "Boleh-boleh! Makasih atas perkenalannya ya, Mbak Susan. Salam kenal juga, saya Reina, istrinya Mas Alex."Reina menyambut uluran tangan Susan tanpa beban. "Tapi maaf nih, Mbak. Perkenalannya sampai di sini dulu aja ya? Saya lagi mau berduaan sama Mas Alex, nggak pengin diganggu sama siapa-siapa. Mbak Susan ada di sini karena kepentingan lain kan? Nah! Silakan dilanjutkan saja kepentingan yang tadi itu, Mbak!"Susan menganga, sedangkan A
"Hahaha!" Reina tertawa hambar, cepat-cepat berbalik. "Aduh! Aku lupa mau ngambil apa ya tadi?"Alex mengulum senyum, membiarkan Reina kabur dari hadapannya. Ternyata laki-laki itu mempunyai hobi baru, yaitu menggoda Reina. Sosoknya yang polos tapi terkadang memberanikan diri itu terlalu menggemaskan bagi Alex untuk tidak ditanggapi.Laki-laki itu kembali menata belanjaan mereka, ketika getaran panjang dari ponselnya menginterupsi. Sebuah panggilan masuk dari Ibu. Beberapa detik kemudian, Alex mengetuk pintu kamar Reina dan menyuruh gadis itu untuk memindahkan barang-barangnya."Kok malam-malam begini Ibu baru niat datang sih, Om?" Reina menarik kopernya susah payah, sementara Alex merapikan tempat tidur yang sebelumnya dijajaki Reina."Saya nggak tau, Reina. Yang penting, besok Ibu sudah pulang. Mungkin Ibu lagi iseng, mau memastikan anaknya ini benar-benar bahagia dengan pernikahan barunya atau tidak."Reina mengecurutkan bibirnya. "Ibu yang perhatian sekali ya, Om? Jadi iri deh!"A