Share

Chapter 05

"Lha kalau aturannya kayak gini, kapan pisahnya, Om?" Reina membelalakkan matanya ketika membaca selembar kertas yang diberikan oleh Alex. Bahkan, laki-laki itu sudah menandatanganinya, tersisa space kosong di sampingnya untuk tanda tangan Reina.

Siang itu, sang duda tampan alias calon suaminya itu datang ke rumah untuk membicarakan apa saja yang akan mereka lakulan semasa menikah nanti.

Reina hanya bisa tertawa kecil saat membaca poin-poin yang ditulis Alex. Jangan bawa orang lain (termasuk pacar) ke rumah, menjaga privasi masing-masing, jangan lupa untuk akting layaknya suami-istri di depan keluarga dan orang banyak, jangan membocorkan rahasia pernikahan palsu kepada siapapun, dan jangan sampai terpikat dengan pesona Alex.

Sebenarnya Reina mau tertawa terbahak-bahak begitu melihat ketentuan terakhir. Biarpun Alex itu om-om yang tampak muda, Reina tidak akan kepincut akan pesonanya. Dia sudah memiliki Andre. Selamanya akan seperti itu.

"Kita tunggu waktu yang tepat," kata Alex, mengambil lembar ketentuan yang baru saja ditandatangani oleh Reina. "Pokoknya, tidak boleh terlalu cepat, Reina. Kasihan juga Pak Pram yang bakal mondar-mandir. Selain itu, jangam sampai ibu saya bisa curiga, karena beliau tau betul gimana sifat saya selama ini terhadap perempuan dan pernikahan."

Reina manggut-manggut. Dia sudah bisa mengira. Tanda tanya terbesar pasti berasal dari Bu Nora yang notabene-nya merupakan ibu dari Alex, sekaligus calon mertuanya.

"Soal alasannya, mudah! Bisa dibuat-buat kalau memang sudah waktunya kita berpisah. Misalnya kamu yang masih kangen rumah orang tua, nggak bisa tidur di kamar baru, atau ... masih cinta setengah mati sama pacar kamu itu."

Reina mendelik tak suka. "Alasannya kenapa menjelek-jelekkan saya semuanya? Kok kayaknya kamu sempurna begitu?"

"Ya kan memang kamu kayak gitu." Alex berkata tanpa beban. "Kayaknya kamu cinta mati banget sama pacarmu."

"Dih! Tau dari mana? Kenal aja baru, kok menyimpulkan sendiri kayak gitu! Oh! Apa jangan-jangan dapat pencerahan dari Tara dan Rendi? Astaga, kamu percaya sama ucapan mereka?"

Reina memelototi Alex. Entah mengapa, Alex jadi salah tingkah saat pelototi seperti itu. Padahal Reina cuma gadis kemarin yang sedang berada dalam lingkaran asmara bersama pacarnya.

"Hm, saya percaya kepada mereka, karena mereka sudah mengenalmu cukup lama. Selain itu, tampaknya mereka memang tidak berbohong." Ucap Alex, mengangkat bahunya.

"Dih? Kamu tuh harusnya lebih percaya sama calon istri kamu, bukannya sahabat aku!"

Alex bergidik. Sejak kapan mereka menyebut dengan 'aku-kamu'? Terdengar begitu akrab. Seolah sedang melakukan pendekatan sebelum menjadi sepasang suami-istri.

Tapi mereka memang akan menikah dalam waktu dua pekan lagi kan?

Alex mendengus lelah. Laki-laki itu beranjak, hendak pulang dan menenangkan diri sebelum dunianya berubah. Sesungguhnya memang sudah jungkir-balik sejak dia mengetahui kenyataan yang tiba-tiba ini.

"Mau ke mana?" tanya Reina dengan polosnya.

"Pulang, Reina. Bagaimanapun, saya juga bukan pengamgguran." Alex tak menoleh, sebab laki-laki itu tengah mencari kunci mobilnya.

"Oh iya?" Reina memiringkan kepalanya. "Kerjaanmu apa aja sih ... Mas?"

Seketika Alex membeku. Panggilan itu lagi. Diliriknya Reina yang memandangnya dengan binar penasaran. Mungkin efek karena tidak pernah dekat dengan perempuan, dipanggil begitu saja, Alex kelimpungan dalam merespons.

"Kamu bakalan tau kalau udah waktunya."

"Waktunya kapan?"

Alex memejamkan mata, menahan diri. Apakah gadis itu benar-benar tidak paham? Dan entah mengapa, sosok Reina terlihat begitu menggemaskan dalam balutan daster bermodel yang terdapat kerutan pada bagian pinggangnya.

"Ka-kamu memang suka pakai daster?"

"Ha?" Reina melihat dirinya sendiri. "Kenapa jadi bawa-bawa daster? Tapi—ya! Aku memang suka pakai daster kalau di rumah. Kalau tidur juga enak, ada angin yang ma—"

Reina membungkam mulutnya sendiri. Cukup dirinya dan para perempuan di muka bumi ini saja yang tau apa kelebihannya sebuah daster.

"Intinya, aku suka daster."

"Kalau begitu, besok bakal saya belikan yang banyak buat kamu."

"Serius?"

"Iya ...."

Alex menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. "Saya pulang dulu."

"Oke! Nggak perlu ditemani sampai depan kan?"

"Kamu pikir saya anak kecil?"

"Lho? Kan besok kalau jadi suami-istri kayak gitu, aku temenin sampai depan, iya nggak sih?"

Alex menggeleng tak percaya. "Bukannya kamu nggak setuju sama pernikahan ini."

"Setelah tau ada rencana tersembunyi, kayaknya nggak buruk-buruk amat. Yang penting, kebebasan itu beneran ada pas kita nikah nanti."

"Jangan khawatir, Reina." Nada bicara Alex berubah serius. "Saya nggak bakal mengekang kamu, tapi saya janji akan membantu kamu buat meneruskan usaha Papa kamu yang lagi butuh bantuan ini."

"Ah ... apa itu juga permintaan terakhirnya Papa?"

"Yah, anggap aja begitulah!" teriak Alex berbalik dengan raut yang tak dapat diartikan.

Belum sempat laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya, sebuah mobil lain datang menghampiri keduanya, membangunkan firasat buruk di sekujur tubuhnya.

"Lho? Siapa ini?"

•••••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status