"Cih! Baru ketemu, udah akrab banget, sampai sahabatnya sendiri dilupain!"
Reina sengaja tidak menjawab panggilan masuk dari kedua sahabatnya. Dia masih kesal lantaran berada di kubu Om Duda alias Alex. Padahal baru bertemu, tapi kok sudah setuju-setuju saja?Kenapa pula mereka tidak bisa menerima hubungannya dengan Andre?Dari dulu yang ada hanya penolakan. Saat Reina menceritakan kegiatannya dengan Andre pun, mereka hanya mendengarkan seadanya. Tidak terlalu menaruh perhatian. Seolah membiarkan Reina berada dalam jaring tak kasat mata bernama Andre.Tidak terasa pun, Pak Pram sudah datang lagi. Menangih jawaban yang sangat tak ingin diutarakan. Namun sesungguhnya, jawabannya tidak cukup berarti. Segalanya sudah diatur. Tepat malam ini, lamaran akan dilangsungkan.Pak Pram sekadar bertanya hanya untuk memuaskan rasa kecewa akibat tidak pernah ditanyai apa pun soal perjodohan ini."Pak Pram kayaknya setuju ya? Kalau saya menikah sama Om Duda itu."Alis kanan Pak Pram terangkat tinggi. "Nona sudah tau kalau dia duda? Padahal saya baru mau kasih tau Nona sekarang ini.""Saya sudah tau, Pak. Soalnya kemarin nggak sengaja makan di restorannya, ketemu dan bicara soal statusnya. Tapi serius deh! Kenapa Papa malah mau menikahkan saya sama duda sih?""Saya juga tidak tau alasan pastinya, Nona. Tapi dugaan saya, Nona akan tau alasannya setelah menikahi Tuan Alex. Lagi pula, Tuan Besar tidak akan memilih berdasarkan insting belaka. Mungkin di mata Tuan Besar, memang Tuan Alex merupakan sosok suami yang sempurna untuk Nona Reina."Reina memejamkan mata. Pusing sekali memikirkan perjodohan ini.Begitu Pak Pram pamit pulang, Reina memandang foto keluarganya yang terpampang begitu besar di ruang keluarga. Dipandanginya sang papa, setetes air mata pun jatuh dengan sendirinya."Kenapa, Pa? Kenapa Papa memilih Om Duda itu dari sekian banyaknya laki-laki yang ada di dunia ini?"•••••"Kamu cantik, Reina."Manik cokelat milik Alex menatap Reina begitu dalam. Lelaki itu terpukau dengan kecantikan gadis di sampingnya yang sedang berdiri dengam balutan dress merah muda itu. Sejujurnya, laki-laki itu ingin sekali mengelus rambut halus Reina. Namun, entah mengapa dia menahannya.Pagi itu, hari lamaran Alex dan Reina dilangsungkan di salah satu restoran milik Alex. Tim penyelenggara sudah dibentuk jauh-jauh hari oleh almarhum Hindrawan. Acaranya berjalan sederhana namun khidmat. Ibu dari Alex, yang hidup seorang diri itu mengagumi dirinya. Berulangkali menenangkan Reina yang diserang gugup."Cantik sekali kamu, Nak Reina. Kalau kayak begini, nggak heran kalau Alex bakalan jatuh cinta sama kamu setiap harinya." Puji Bu Nora, calon mertuanya.Reina tersenyum dan memgucapkan terima kasih. Meskipun ikatan antara dirinya dan Alex terpaksa harus diakui, Reina sangat bersyukur karena pihak kelusrga Alex yang bersikap baik padanya.Gadis itu kini mengalihkan pandang ke dua sahabatnya yang sudah berdiskusi dengan Alex di depan meja panjang. Entah apa yang mereka bicarakan, Reina agak kesal tidak diajak. Namun apa boleh buat, memang dia sendiri yang sengaja menjauhi keduanya.Tiba-tiba, Reina teringat cerita dari mertuanya mengenai Alex. "Alex menjadi duda karena istri pertamanya telah berpulang, Nak. Dulu, tepat satu tahun setelah pernikahannya, Alex benar-benar terpukul dan menangis habis-habisan karena ditinggalkan oleh istrinya yang terkena kanker serviks."Alex dan mantan istrinya menikah di usia 25 tahun. Lalu laki-laki itu menjadi duda tidak lama setelahnya, ketika dia baru memasuki usia 27 tahun.Reina mengamati Alex. Rupanya laki-laki itu telah menduda pada waktu yang begitu lama. Satu dekade lebih. Mungkin karena kepergiaan mantan istrinya, tentunya meninggalkan luka yang besar dan dalam. Sejenak, Reina merasa kasihan terhadap laki-laki itu.Bagaimana jika ternyata laki-laki itu masih mencintai mantan istrinya, dan dia juga terpaksa menikahinya karena permintaan mendiang papanya? Ah, seketika rasa bersalah memenuhi Reina.Tak enak hati, Reina pun menghampiri Alex yang masih berbincang dengan sahabat-sahabatnya. Diam-diam, gadis itu menggerakkan tangannya dan menggenggam tangan Alex perlahan, membuat mata dua sahabatnya membulat sempurna.Namun, itu belum apa-apa. Hal selanjutnya justru membuat mulut Rendi dan Tara menganga sempurna. Reina, gadis yang tak begitu suka dengan sentuhan fisik selain dengan pacarnya, justru menjijitkan kakinya dan membisikkan suatu kalimat kepada Alex yang bisa didengar oleh keduanya."Om, ikut aku ke ruangan yang kosong."•••••"Apa maksudmu, Reina?" Alex menautkan alisnya, tak menyangka gadis di hadapannya itu bisa berbicara hal yang sebelumnya dikatakan padanya.Alex dan Reina kini berada di luar restoran. Dia sengaja ingin berbicara empat mata dengan calon suaminya itu—yang barangkali bisa berakhir sebelum terlambat."Maksud aku, aku tau Om pasti masih cinta sama mantan istrinya Om. Aku juga tau kalau Om terpaksa kan, menikah sama aku? Makanya, bagaimana kalau kita besok langsung pisah aja?" tanya Reina, maniknya menatap ekspresi Alex yang entah mengapa berubah menjadi dingin seketika. Bahkan, rahang laki-laki itu mengeras, seolah menahan sesuatu keluar dari mulutnya."Terpaksa? Kamu dapat kesimpulan dari mana?" Alex berdecih. "Saya nggak mau berpisah, Reina. Meskipun begitu, kamu nggak perlu khawatir. Setelah kita menikah, saya nggak akan mengganggu kehidupanmu.""Hah?" tanya Reina, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Dengar, Reina. Saya minta maaf jika umur dan juga penampilan saya tida
"Lha kalau aturannya kayak gini, kapan pisahnya, Om?" Reina membelalakkan matanya ketika membaca selembar kertas yang diberikan oleh Alex. Bahkan, laki-laki itu sudah menandatanganinya, tersisa space kosong di sampingnya untuk tanda tangan Reina.Siang itu, sang duda tampan alias calon suaminya itu datang ke rumah untuk membicarakan apa saja yang akan mereka lakulan semasa menikah nanti.Reina hanya bisa tertawa kecil saat membaca poin-poin yang ditulis Alex. Jangan bawa orang lain (termasuk pacar) ke rumah, menjaga privasi masing-masing, jangan lupa untuk akting layaknya suami-istri di depan keluarga dan orang banyak, jangan membocorkan rahasia pernikahan palsu kepada siapapun, dan jangan sampai terpikat dengan pesona Alex.Sebenarnya Reina mau tertawa terbahak-bahak begitu melihat ketentuan terakhir. Biarpun Alex itu om-om yang tampak muda, Reina tidak akan kepincut akan pesonanya. Dia sudah memiliki Andre. Selamanya akan seperti itu."Kita tunggu waktu yang tepat," kata Alex, menga
"Siapa ini?!"Reina memejamkan mata sejenak, sementara Alex tetap berdiri tegap memandang Andre tanpa minat. Tidak mau menjawab pula meski Andre menghunuskan tatapan tajam dan raut permusuhan yang membabi buta."Eh, sayang!"Alex berjengit. Cara Reina memanggil Andre begitu lembut dan menggoda—entah bagaimana bisa-bisa dia berpikir demikian. "Ini siapa, Re? Kamu selingkuh? Sama om-om?"Sekuat tenaga, Alex menahan diri untuk tidak menghadiahi kepalan tangannya ke wajah Andre. Baru bertemu beberapa detik saja, Alex setuju dengan pendapat Tara dan Rendi yang mengatakan jika Andre tidak pantas untuk Reina."Reina? Siapa om-om ini? Jangan bilang kalau kamu jual—""Saya calon suaminya."Sebelum Andre meneruskan kalimatnya, Alex memberikan pernyataan yang membuat laki-laki di hadapannya itu kaget bukan main. Begitu juga dengan Reina yang mengutuki Alex dalam hati lantaran langsung berkata tanpa sambutan dulu."Apa? Calon suami?" Andre menatap Reina tajam, sehingga Alex berpikir bahwa tatapa
“Ini kamar kamu.”Alex mendorong satu pintu, memperlihatkan isinya yang cukup luas. Reina manggut-manggut. Hampir sama luasnya dengan kamar pribadi Reina.“Bagus! Kayaknya nyaman nih!” Reina memasuki kamar tersebut, mencoba kasur empuk yang akan ditidurinya dalam berapa waktu.“Ini kamar kamu sendiri. Tapi kalau ada Ibu, mau nggak mau kita harus tidur satu kamar. Tidur di kamar saya.”“Hm, nggak masalah.”“Nggak masalah?” Alex memiringkan kepala, tak habis pikir dengan betapa santainya Reina akan hari ini. “Kita akan tidur di kasur yang sama, kamu nggak khawatir kalau saya melakukan apa-apa ke kamu?"“Lho? Memangnya bakalan ada apaan? Kan Cuma tidur, sendiri-sendiri.”Alex mengangguk pasrah. Memang benar. Mungkin dirinya saja yang berlebihan sebab tak pernah berinteraksi dengan lawan jenis lagi sejak kepergian Delia. "Atau mau coba sekarang ... Mas Alex?" goda Reina, sengaja mendekat dan memainkan kancing teratas kemeja suaminya itu.Bukannya mundur, Alex malah memajukan kepalanya se
"Pagi, Om!"Alex mengernyit. Padahal baru semalam laki-laki itu membuat Reina mati kutu dengan ucapannya, sekarang masih saja memanggilnya seperti itu. Tadinya Alex mau mengingatkan Reina, tapi terhalang dengan pemandangan Reina dalam balutan daster mininya.Reina mengikat rambutnya tinggi-tinggi, menuju dapur untuk mengambil sebotol air. Mengabaikan tatapan Alex yang tertuju padanya.Alex tidak salah lihat. Dia menyadari jika istri manjanya itu tak mengenakan pakaian dalam. "Kamu mau masuk angin? Pagi-pagi pakai daster yang begitu?"Reina menoleh, "Kenapa? Ada yang aneh? Aku memang biasa begini kok, Om.""Reina, saya sudah ingatkan kamu soal panggilan itu.""Iya, tapi sebentar dong." Reina berlari kecil, duduk di samping Alex dengan wajah dimanis-maniskan. "Kan aku belum terbiasa, tapi nanti kalau di depan orang banyak, pasti aku bisa bersikap profesional kok!"Alex mengangguk pelan. Dia memang tak bisa memaksa Reina dengan pernikahan mendadak mereka ini. Laki-laki itu menyesap kopin
Reina mencoba salah satu daster yang dibelikan oleh Alex. Dia pikir, laki-laki itu akan memilihkan yang polos-polos. Tetapi di luar ekspetasi, yang dibeli tidak jauh berbeda dari koleksinya. Setelah merapikan wajahnya agar tetap cantik meski dalam balutan daster, Reina keluar.Terdengar deru mobil suaminya yang baru saja mengantarkan Nora pulang. Reina memutuskan untuk menyambut kedatangan Alex, sekaligus memberitahu bahwa dirinya baru saja mengenakan salah satu daster pemberian sang suami."Selamat datang lagi, Om!" Reina memutar badannya. "Cocok ya di aku? Bisa aja pilihin yang warna kuning begini. Makasih, Om!"Tadinya Alex mau melayangkan protes lagi terkait panggilan dari Reina. Namun melihat senyum gadis itu, hatinya melunak. Alex mengangguk pelan, mengacak puncak kepala sang istri."Ibu datang kapan? Kenapa tadi kamu nggak kasih tau saya dulu?" tanya Alex, melangkah terlebih dulu selagi melepas dasinya. Dia belum sempat berganti pakaian sejak pulang tadi."Tadi itu, Ibu baru da
Dan benar saja, Alex selesai membayar sebuah tiket masuk ke salah satu wisata permainan yang tidak begitu ramai pada jam kerja. Sepanjang langkah yang tertuai, dia tidak paham, mengapa mau repot-repot membuntuti Andre dan Reina yang sedang berkencan.Belum apa-apa, Alex sudah kesal sendiri saat melihat rangkulan tangan Reina pada Andre. Gadis itu begitu dekat dengan Andre, bahkan pada beberapa kesempatan pun tubuh keduanya saling bersentuhan.Alex duduk di salah satu bangku panjang, mengenakan penyamaran seadanya. Andre dan Reina berbelok ke rumah hantu, dan saat itulah Alex memutuskan untuk mengakhiri kegiatannya tersebut. Dia tidak mungkin ikut masuk ke rumah hantu.Sepanjang perjalanan pulang, Alex tak bisa menghilangkan bayangan Andre dan Reina yang barangkali sedang berpelukan di dalam rumah hantu. Melihat senyum dan tawa Reina yang begitu lepas, menarik suatu perasaan yang tak masuk akal dalam diri Alex. Berbeda saat bersamanya, Reina terkesan terpaksa dan hanya mau memancing em
Reina mengerjapkan mata beberapa kali, sementara Alex menepuk keningnya. Susan tersenyum simpul, melipat tangan di depan dada—menandakan jika dirinya lebih unggul dari Reina. Susan berharap Reina akan cemburu dan melayangkan tatapan permusuhan padanya.Namun di luar dugaan, Reina malah mengangguk dan terkekeh. Jelas tidak sesuai prediksi Susan. Reina malah menepuk bahu Alex, menguarkan tawa polos yang mengundang keheranan."Wah! Mas Alex seleranya pas waktu muda kayak Mbaknya ini ya?" celetuk Reina, yang langsung membuat Susan kesal, tidak tau kenapa. "Boleh-boleh! Makasih atas perkenalannya ya, Mbak Susan. Salam kenal juga, saya Reina, istrinya Mas Alex."Reina menyambut uluran tangan Susan tanpa beban. "Tapi maaf nih, Mbak. Perkenalannya sampai di sini dulu aja ya? Saya lagi mau berduaan sama Mas Alex, nggak pengin diganggu sama siapa-siapa. Mbak Susan ada di sini karena kepentingan lain kan? Nah! Silakan dilanjutkan saja kepentingan yang tadi itu, Mbak!"Susan menganga, sedangkan A