Tepat tengah malam, Reina terbangun. Gelap. Kamarnya yang biasa terang, justru tak menyisakan sedikit pun cahaya. Setelah mengucek mata, Reina berguling untuk mengubah posisi tidurnya. Tetapi pergerakan gadis itu terhambat oleh sesuatu—tidak, lebih tepatnya seseorang."AAAA!!!!"Bruk!"Aduh!"Reina menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sementara itu, Alex baru saja menjadi objek tendangan sang istri. "Reina? Kamu habis mimpi buruk? Kenapa saya ditendang?"Reina menggeleng pelan. Dia tidak sedang bermimpi buruk, tetapi melihat Alex tidur di kasurnya hanya dengan bertelanjang dada berhasil membelokkan pikiran gadis itu pada kejadian beberapa saat lalu."Om? Ta-tadi kita habis ngapain?!" Pekik Reina heboh. "Apa kita beneran ngelakuin 'itu'?"Alex hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdiri. Reina malah mondar-mandir seperti setrika. Alex memicingkan mata, sepolos atau sebingung itukah jalan pikiran Reina sekarang ini? Mengapa gadis itu tak menyadarinya?"Kamu masih pakai b
"Dasar! Punya anak nggak bisa mikir!"Andre hanya mampu memejamkan matanya. Dia sedang menjadi objek kemarahan Papi Gustav dan Mami Sinta. Setelah pertengkarannya dengan Reina di mal kemarin, dia pulang larut malam sebab mengunjungi kelab untuk melampiaskan kekesalannya. Baru pagi ini, Andre menyita waktu kedua orang tuanya untuk mengatakan yang sebenarnya mengenai hubungannya dan Reina. Pemuda itu menjelaskan segalanya, termasuk pernikahan Alex dan Reina dengan iming-iming kebebasan yang memang terlaksana dengan baik."Kamu itu bodoh! Udah dikasih kebebasan kayak gitu malah nggak bisa memanfaatkan dengan baik. Dasar! Malah hobinya cari sembarang cewek! Kalau kamu kena penyakit kelamin, Mami nggak mau ikutan ngurus!""Mi! Ya wajar dong kalau aku cari cewek lain! Mami tau sendiri Reina itu kakunya minta ampun kan? Dia memang manja, sayang sama aku, tapi tetap aja nggak bisa diatur sesuai kemauanku, Mi!" Gustav menyahut, "Memangnya kamu mau Reina ngapain, Ndre? Kamu tau sendiri, biarp
"Jadi, ada apa?"Susan berdecak kesal. Alex memang menemuinya, tetapi istri manjanya yang bernama Reina itu turut duduk di samping Alex. Sengaja sekali merangkul lengan Alex. Tidak mau melepas—yang paling menyebalkan ketika Reina memerikan senyum kemenangan."Aku nggak bisa bicara kalau ada istrimu, Alex." Susan langsung menutup mulut rapat-rapat. Mengakui Reina sebagai istri Alex merupakan suatu kekalahan yang begitu dibenci."Kalian mau membahas hal penting ya?" Reina menatap Alex. "Aku ke kamar aja ya, Mas? Kamu bicara sama Mbak Susan aja nggak apa-apa."Alex mendelik, satu tangannya berusaha menahan Reina agar tidak pergi. Reina mendengus pelan. Sebenarnya dia sendiri penasaran dengan percakapan yang akan Susan mulai. Namun kalau dia tidak pergi, Susan tidak akan bersuara. "Tenang aja, Mas." Reina melancarkan aksinya. Kedua tangannya kembali mengelus dada Alex. "Kalian nggak bakal lama kan bicaranya? Aku tunggu di kamar, oke?"Reina mengedipkan matanya disertai kerlingan nakal ya
Reina pikir, tidak masalah menemui Andre jika pemuda itu hanya ingin meminta maaf. Selama ini mereka sudah berpacaran lebih dari dua tahun. Kenangan yang keduanya ciptakan tidaklah sedikit. Bila ini saatnya berpisah, Reina menginginkan sebuah perpisahan yang baik. Tanpa adanya blunder dan dendam yang akan bercokol dalam benak masing-masing.Gadis itu baru saja mengirim titik pertemuan pada Andre. Selagi menunggu, dia menonton gosip terkini berupa kasus perselingkuhan dari televisi yang berada di sudut rumah makan sederhana. Reina meletakkan es tehnya, terbawa pada satu pikiran."Om Alex itu bukan tukang selingkuh kan ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Kayaknya sih nggak mungkin. Dia aja jadi duda lama banget, tandanya dia setia sama istri pertama—"Reina menghentikan ucapannya, lantas mengatupkan bibir begitu menyadari sesuatu. "Om Alex setia." Satu kenyataan yang seharusnya bisa dibanggakan oleh gadis itu, berhubung Alex merupakan suaminya sekarang ini.Namun dia teringat dengan pengu
"Mereka?"Reina menjatuhkan majalahnya tanpa sadar. Gadis itu mengucek matanya, memastikan jika pemandangan sepasang manusia yang baru saja memasuki salon itu merupakan suatu kenyataan, bukan mimpi seperti yang diharapkan."Re? Kenapa majalahnya dijatuhin? Lihat apa—what? Itu bukannya—""Husshh!"Tara membungkam mulutnya sendiri dengan mata melebar. Reina menggeleng, "Diam aja, Tara. Aku mau coba lihat apa yang dilakukan Om Alex sama Mbak Susan di tempat ini.""Itukah alasanmu nggak mau menerima Om Alex, Re? Karena Om Alex punya pasangan lain di luar sana?" tanya Tara perlahan, nyaris berbisik."Dia bukan pasangannya, Tara." Reina menoleh, mengamati Susan yang menuju sisi lain salon, sementara Alex keluar dari area utama salon dengan wajah tertekuk kesal. "Dia sekretarisnya Om Alex, tapi pas pertama kali ketemu, sengaja ngomong sama aku kalau dia sahabat sekaligus cinta pertamanya Om Alex dulu.""Wah! Itu mbak-mbak naksir Om Alex tapi cintanya nggak bersambut, Re. Mungkin Om Alex udah
"Bisa jalan, Reina?" tanya Alex penuh kecemasan saat Reina keluar dari mobil.Reina mendengus pelan. "Om, yang luka cuma sikutku lho, bukan kakiku. Ya bisa jalan dong! Oh! Kenapa Om nganterin aku pulang? Nanti Mbak Susan cariin lho!"Alex tau, istri manjanya itu akan memulai argumen setibanya di rumah. Masalahnya, mereka masih berada di garasi dan Reina tak memberikan kesempatan pada Alex untuk berpikir sejenak."Saya jelaskan di dalam, oke? Kita masuk dulu!""Ck! Pakai penjelasan segala," gerutu Reina. "Memangnya mau menjelaskan kayak gimana? Udah kelihatan nemenin Mbak Susan ke salon, bela-belain nunggu. Kalau memang pacaran, bilang dong! Kayak aku yang jujur kalau pacaran sama Andre, jadi kan kebebasannya bisa dirasakan langsung sama dua-duanya.""Saya nggak pacaran sama Susan, Reina." Sahut Alex selagi menyusul Reina dari belakang. Suaranya cukup lantang, namun tetap berat dan Reina merasa dikejar-kejar oleh om-om yang tidak dia kenal."Kalau pacaran bilang aja, Om! Soalnya aku la
"Alex!"Si pemilik nama menoleh, menyuguhkan tatapan tajamnya. "Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa tidak melanjutkan pekerjaanmu, Susan?"Susan terperangah. "Seharusnya aku yang tanya begitu, Alex! Kemarin kamu ke mana aja? Karena kamu nggak menjawab pas aku telepon, ya aku pulang dong! Kamu kabur begitu aja, tapi sekarang malah nodong aku soal kerjaan?""Kamu bekerja di sini, Susan. Sebagai sekretaris saya, yang perkerjaannya tidak sedikit." Sambung Alex. "Sekarang, saya tidak mau tau, kamu harus memberikan laporan yang semestinya menumpuk di meja kerja kamu.""Alex! Kamu itu kenapa sih? Padahal kemarin udah melunak lho, masa iya kamu melunak cuma di hari ulang tahunnya Delia aja?"Alex mengepalkan tangannya. Kemarin, memang ulang tahun istri pertamanya—Delia. Itulah mengapa, pada malam sebelumnya Alex melarang Reina untuk memasuki kamarnya. Sebab dia akan mengucapkan selamat ulang tahun pada bintang yang menghuni langit malam atas nama Delia.Laki-laki itu tak bisa membohongi diri, b
Alex dan Reina saling merangkul seraya menyambut kedatangan Yudistira dan Maya, pasangan yang sangat berjasa bagi pernikahan keduanya. Terutama Yudistira, yang menjadi wali nikah Reina. Mereka tampak sehat dan baik-baik saja. Reina mendesah lega. Hanya mereka satu-satunya keluarga yang tersisa bagi Reina."Halo, Sayang! Maaf ya, malam-malam begini malah nyuruh kalian buat jemput Om sama Tante." Maya memeluk Reina. "Kamu pasti udah ngantuk kan? Biasanya jam segini udah tidur."Reina tersenyum manis. Senyum yang tak perlu dibuat-buat lantaran sungguh senang bertemu dengan sang bibi. "Tante Maya pasti juga udah ngantuk kan? Tapi biasanya nonton TV dulu."Alex mengambil alih barang bawaaan Yudis dan Maya. Mereka memasuki mobil, tak lama kemudian berada dalam perjalanan pulang. Di bangku tengah, Yudis dan Maya saling mendekatkan diri. Saling menyandarkan kepala dan memandang jalanan seadanya. Reina tersenyum simpul, turut bahagia atas romansa paman dan bibinya yang awet dan adem ayem samp