Ingatan Rania kembali pada kenangan empat tahun lalu, saat dia pertama kali menerima tawaran Tama untuk menikah. Tawaran naif dari seorang gadis muda, yang menganggap cinta itu ada.
Dan kini dia menyesali keputusannya. Keputusan yang membawanya pada sebuah penderitaan mental tanpa akhir.Rania memikirkan segalanya dengan sangat matang. Dia ingin menghabisi Tama secara perlahan dan diam, agar saat hari kematian Tama datang, tak akan ada orang yang mencurigainya.Bahkan saat ini, detik ini juga, dia harus merelakan urat malunya pergi saat tubuhnya dipertontonkan bagaikan objek oleh Tama–dihadapan anak buahnya.“Bagaimana? Apakah menurut kalian istriku cantik?” tanya Tama, dengan nada dingin nan keji.Dia menatap satu persatu anak buahnya–yang berjumlah delapan orang itu dengan irama ketukan pistol senada jarum jam.“Bagaimana?” Nada Tama merendah.Namun tak ada satu pun yang berani menjawab, meski tidak ada juga yang menundukkan kepala mereka.Tubuh Rania gemetaran, dan refleks menutupi bagian penting tubuhnya yang kedinginan karena terlalu lama terpapar dinginnya AC.“Siapa yang menyuruhmu boleh bergerak?!” sentak Tama, ketika ekor matanya menangkap gerakan tipis dari Rania.Arif memberi isyarat pada Rania untuk menuruti ucapan Tama, sebelum semuanya menjadi cukup rumit.“Kubilang diam ya diam!!” Tama kini membanting pistolnya. “Hei kau!!” Dan tiba-tiba meninju salah satu anak buahnya hingga terpelanting ke lantai. Dia cengkeram kerah anak buah itu. “Berani-beraninya, kau mencuri kesempatan untuk memandangi istriku, hah?!”Tama menjadi lebih gila. Dan naasnya, anak buah yang babak belur itu adalah pegawai baru yang tidak mengerti kebiasaan Tama–dan tidak ada yang memberitahunya.Tama menjadi sangat marah saat anak buahnya berani menatap tubuh Rania yang dengan sukarela dia pertontonkan. Selalu begitu.Setelah puas menghajar si anak buah, Tama berjalan cepat menghampiri Rania yang gemetar ketakutan. Dia tarik paksa pergelangan tangan istrinya, keluar dari ruangan. Sementara Arif, dia menyusul di belakang dengan sehelai handuk untuk menutupi tubuh Rania.“M-maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa … “Tama mencengkeram pipi Rania. “Kamu itu milikku. Dan sebagai milikku, kamu harus menuruti semua ucapanku,”Tangan kanan Tama menengadah, pertanda meminta Arif untuk menyerahkan handuk itu padanya. Kemudian Tama menutupi seluruh tubuh Rania dengan handuk.Rania terus terisak. Dalam diamnya, dia hanya bisa terus menahan traumanya tanpa bisa melawan. Dia terjebak dalam situasi yang sulit. Dia tidak bisa pergi, karena tidak ada jalan pulang untuknya.Celaka, Tamalah kini satu-satunya jalan pulang untuk Rania.“Pulanglah, Sayang. Biar Arif yang mengantarmu,” Tama mengecup kening Rania yang ketakutan.“A-aku ada kelas siang ini,” timpal Rania masih dengan nada bergetar penuh trauma.Tama mengangguk. Sikapnya berubah sangat berbanding terbalik dari sebelumnya. Dia bahkan mengelus kepala Rania penuh sayang.“Baiklah, Sayang. Biar Arif yang mengantarmu,”Arif maju, menuntun langkah Rania menuju kamar mandi untuk memperbaiki penampilannya.Dalam kesunyian, Rania dan Arif berjalan saling membelakangi. Tak ada yang tahu isi hati masing-masing, pun tidak ada yang ingin lebih dulu membuka percakapan. Selalu begitu, hingga empat tahun berlalu bagi mereka berdua.“Harusnya waktu itu aku memilih bersamamu,” celetuk Rania, saat dia dalam perjalanan menuju kampus bersama Arif yang mengemudi di kursi depan.Arif tentu tercengang. Ini pertama kalinya–dalam empat tahun Rania mengajaknya bicara. Pria itu melirik Rania dari balik spion tengah.“Apa maksud Anda?” tanya Arif.“Jika waktu itu aku ikut denganmu, mungkin aku masih hidup sekarang. Meski aku sama-sama masih menjual diriku,”Arif menelan ludah. Dia tentu masih sangat ingat dengan jelas. Ketika dia bersama Tama mendatangi rumah Rania untuk menagih hutang, Arif bisa dengan yakin membaca jalan pikiran Tama. Pria muda itu menyukai Rania sejak pandangan pertama.Lalu ketika Arif datang kedua kalinya ke rumah Rania–setelah ayahnya meninggal, Tama secara heroik datang untuk menolong Rania.“Harusnya aku mengikutimu,” Rania mengulangi ucapannya. “Kenapa waktu itu kamu diam saja saat aku menerima ajakan Tama untuk menikah?” Setitik air mata meluncur ke pipinya.Arif terus mengemudi, dengan mulut diam tak bergeming. Namun sesekali dia melirik Rania melalui spion tengah sekedar untuk melihat ekspresi wanita itu.“Bukankah ini semua adalah kesalahan ayahku? Andai ayahku tidak meminjam uang pada Tuan Hadi, ini semua tidak akan terjadi padaku. Bukankah begitu, Rif?” isak Rania. Dia berusaha menghapus air mata yang terus-menerus mengalir bahkan makin deras.“Kamu tahu aku tidak boleh menangis saat bekerja. Atau semua mahasiswaku akan melihat,” Rania tampak bicara pada dirinya sendiri, karena semenjak awal Arif sama sekali tidak menanggapi.Tak lama, mobil itu berhenti tepat di pelataran parkiran sebuah gedung kampus. Sebelum keluar, Rania mematut diri di sebuah cermin kecil yang sengaja dia bawa di dalam tasnya.“Rania,” panggil Arif, tepat saat Rania hendak membuka pintu mobil. Pria itu menoleh, lalu menyerahkan sebuah amplop kecil pada Rania.“Apa ini?”“Bukalah,” pinta Arif.Sambil menerka-nerka, Rania membuka amplop kecil itu. Dan terkejutlah dia, saat di dalamnya ada sebungkus kecil obat-obatan alias racun rahasia yang selalu Rania gunakan untuk meracuni Tama diam-diam.“Aku tahu, selama setahun ini, kamu menggunakan racun itu untuk membunuh Tama pelan-pelan,”Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra