“T-tapi … “ Pria tua itu terbata-bata tak percaya, saat si pria muda dengan lantang berteriak akan melunasi seluruh hutang Rania.
Si pria muda berjalan angkuh ke hadapan si pria tua. “Bilang pada ayahku, aku yang akan melunasi seluruh hutang ayahnya. Termasuk bunganya,” tegas si pria muda sekali lagi.Rania tidak bisa banyak bersuara. Lidahnya terkunci, masih berusaha memutar ulang ucapan pria muda itu di dalam otaknya.‘Apakah ini yang disebut malaikat pelindung?’ batin Rania.Maka karena tak punya lagi alasan untuk berada lebih lama di rumah Rania, para preman itu beranjak pergi–meski hati mereka tampak dongkol dan kecewa.Si pria muda itu menoleh, memandang Rania yang masih berdiri kaku sedikit ketakutan.“Siapa namamu?” tanyanya.Rania gelagapan. Dia ingin menjawab, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.“Siapa namamu?” tanya pria itu sekali lagi. “Kamu tidak perlu takut. Kamu aman sekarang,”“Rania. Rania Manalli,” Akhirnya Rania mendapatkan kembali suaranya.Pria muda itu menautkan kedua alis. “Panggil aku Tama,” sahutnya. Sikapnya tampak kikuk dan salah tingkah di depan Rania. Dia bahkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal demi menutupi kegugupannya.“Apa kesukaanmu?” tanyanya lagi, memecah kesunyian. Mereka berdua masih berdiri gamang di depan halaman rumah Rania.Rania tidak menjawab, dan hanya mengernyitkan dahi bingung. “Kenapa?”“Apa kamu suka sepatu? Baju? Atau perhiasan?” Tama menghujani Rania dengan banyak pertanyaan diluar dugaan.Rania bahkan tidak sanggup menjawab semua pertanyaannya itu.“Kenapa kamu membantuku?” tanya Rania, mengalihkan pertanyaan.“Apakah aku perlu alasan untuk membantumu?” Tama ganti bertanya.Rania mengangguk. “Bukankah tidak ada manusia yang menolong orang lain secara gratis?”“Memang,” Tama setuju. “Kamu seratus persen benar,”“Lalu apa alasanmu? Apa niatmu?”“Jawab dulu pertanyaanku!” seru Tama. “Apa kesukaanmu? Apa yang paling kamu inginkan sekarang? Apa kamu punya impian?” Pria itu mulai sedikit kesal, karena Rania tak kunjung menjawab pertanyaan pertamanya.“Aku–” Rania memutus ucapannya untuk berpikir. “Aku hanya ingin melupakan kemiskinanku,”“Hanya itu?”“Aku ingin menjadi wanita kaya,”Tama mengangguk.“Aku ingin melanjutkan sekolah. Ingin menjadi dosen,” imbuh Rania, ketika Tama mengira jawaban Rania telah selesai.Pria itu terkesiap saat mendengar jawaban terakhir Rania. Jawaban yang membuat hatinya tergelitik.“Kenapa? Aku bisa mewujudkan dua impianmu, kenapa harus susah payah dengan yang ketiga?” tanya Tama.“Aku hanya akan ditipu sekali lagi, jika tidak membekali diriku dengan senjata yang cukup kuat di dalam otakku,” jawab Rania tegas. “Aku akan bertemu dengan orang-orang sepertimu di masa depan, jika hanya mengandalkan dua impianku,”Tama melebarkan bola matanya, saat mendengar jawaban Rania yang terdengar sangat puitis baginya. Namun dia tidak menunjukkan ekspresi apapun sebagai tanggapan atas ucapan itu. Tama hanya diam, tak mau melepaskan pandangannya dari Rania.“Aku akan mewujudkannya. Aku akan membiayai seluruh hidupmu. Makanmu, pembalutmu tiap bulan, hingga pendidikanmu dan kupastikan kamu bisa menjadi dosen sesuai maumu,” racau Tama cepat. “Hingga–” Dia sejenak diam, mendekatkan tubuhnya pada Rania.“Aku juga akan bertanggung jawab atas kehidupan yang mungkin ada di dalam tubuhmu,” lanjut Tama.“Maksudmu?” Rania menyahut spontan.“Menikahlah denganku!” tukas Tama. “Aku akan memastikan impianmu terwujud, asalkan kamu mau menikah denganku,”Jantung Rania seketika berdetak lebih cepat, setelah mendengar ucapan Tama yang lantang itu.“A-apakah ini balasan karena kamu sudah melunasi hutang ayahku?”Tama tersenyum tipis. “Apakah kamu punya jalan keluar lain? Bagaimana caramu menjadi wanita kaya yang otaknya terisi penuh tanpa bantuanku?”Tama menghembuskan nafas. “Aku tidak memaksamu, Rania Manalli. Dan aku juga tetap akan melunasi hutang ayahmu, apapun jawabanmu,” ujar Tama, mulai bergerak hendak pergi.“Apa aku bisa mempercayaimu? Apakah aku bisa menyandarkan diriku padamu?” tuntut Rania, dengan mata berkaca-kaca.Dia tidak tahu maksud Tama, namun membayangkan bahwa dirinya harus terjebak dalam situasi sulit ini, membuat Rania seakan susah bernafas. Maju salah, mundur pun salah. Dia tidak mengenal Tama, namun hidup seorang diri juga bukan pilihan yang bagus untuknya.Tama merentangkan kedua tangan, dengan wajah pongah.“Aku memerlukan seorang wanita, untuk meyakinkan ayahku agar mau memberikan bisnisnya padaku. Dan kamulah wanita yang tepat,” ungkap Tama. “Kamu tertekan dan tak punya pilihan. Tapi tidak pernah mengemis untuk kutiduri,”Tanpa sadar, pipi kemerahan Rania tampak bersemu makin merah. Si gadis matahari yang penuh senyum itu mulai menampakkan semburat kemerahan pada wajahnya yang telah lama pucat tanpa harapan.Dan untuk sedetik saja, Tama mengagumi semburat merah itu. Hingga tanpa sadar dia tersenyum tipis.“Aku bersedia,” seru Rania. "Aku bersedia menikah denganmu,"Ingatan Rania kembali pada kenangan empat tahun lalu, saat dia pertama kali menerima tawaran Tama untuk menikah. Tawaran naif dari seorang gadis muda, yang menganggap cinta itu ada.Dan kini dia menyesali keputusannya. Keputusan yang membawanya pada sebuah penderitaan mental tanpa akhir.Rania memikirkan segalanya dengan sangat matang. Dia ingin menghabisi Tama secara perlahan dan diam, agar saat hari kematian Tama datang, tak akan ada orang yang mencurigainya.Bahkan saat ini, detik ini juga, dia harus merelakan urat malunya pergi saat tubuhnya dipertontonkan bagaikan objek oleh Tama–dihadapan anak buahnya.“Bagaimana? Apakah menurut kalian istriku cantik?” tanya Tama, dengan nada dingin nan keji. Dia menatap satu persatu anak buahnya–yang berjumlah delapan orang itu dengan irama ketukan pistol senada jarum jam.“Bagaimana?” Nada Tama merendah.Namun tak ada satu pun yang berani menjawab, meski tidak ada juga yang menundukkan kepala mereka.Tubuh Rania gemetaran, dan refleks menutup
“S-sejak kapan?” Bergetar tangan Rania, memegangi sekantong kecil obat pemberian Arif.Pria itu melirik Rania dari balik spion tengah. “Aku tahu, sejak awal kita bertemu, bahwa aku tidak bisa meremehkanmu begitu saja,” ucap Arif. “Tapi aku juga tidak menyangka jika kamu menggunakan cara ini untuk lepas dari Tama,”“Lalu apa yang harus kulakukan?!” Rania berteriak. Dia membuang obat itu, kembali ke arah Arif. “Apakah ada hal yang bisa kulakukan selain membunuhnya pelan-pelan? Kamu tahu, aku bukan wanita baik. Aku hanya wanita yang ingin bebas,” isak Ranian, tak sadar riasan yang telah susah payah dipoleskan itu kembali rusak–karena Rania menangis.Arif menggenggam erat kemudi mobilnya. “Apakah hanya itu cara yang kamu punya?” tanyanya.“Kenapa, Rif?” Rania balik bertanya. “Kamu mau melaporkanku pada Tama?”Arif memungut kembali obat itu. Pelan-pelan dia arahkan pada Rania, tanpa memutar tubuhnya.“Tidak ada kebaikan yang bisa menang melawan kami. Kamu harus berpikir seperti kami, untuk
“Bagaimana? Ibu mau coba?” tegur mahasiswa itu, karena tahu Rania tengah melamun.Rania tergagap, kemudian mulai bersikap lebih tenang. “Apa?”Mahasiswa itu tersenyum geli. Kemudian menyerahkan remote drone miliknya pada Rania. “Ibu cukup tekan tombol ini untuk naik, dan dua tombol ini untuk mengatur gerakannya,” jelasnya.Meskipun gengsi untuk mencoba, namun Rania penasaran. Dia pun membuang perasaan gengsinya sendiri, dan mengikuti arahan sang mahasiswa untuk mencoba menerbangkan drone itu.Saat drone itu perlahan mulai naik–meski pergerakannya kacau, senyum Rania mengembang lebar. Dia tidak pernah merasa seasyik ini dengan suatu hal, yang di satu sisi membuatnya fokus namun juga membuatnya senang.Diam-diam, si mahasiswa melirik ke arah Rania dengan senyum hangat. “Ngomong-ngomong, namaku Vinko,” ujarnya memperkenalkan diri.“Oh, Vinko,” gumam Rania, terus fokus pada drone itu. “Jadi kamu mahasiswa baru angkatan tahun ini?”“Siapa bilang?”Dahi Rania berkerut. Dia menoleh patah-pat
Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada k
“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya. Padahal dalam hati, Rania senang karena sep
“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat
“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”“Pertanyaan apa?”Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.“Bu Rania!” Vinko berteriak,
Vinko terus memberontak. Dia menendang ke segala arah, karena kini tangan dan mulutnya dikunci.Tiga orang pria besar itu berkali-kali mengumpat karena Vinko mengamuk secara membabi-buta. Tak mereka sangka jika pria muda seperti Vinko cukup energik hingga bisa terus melawan meski dibentak dan dipukul terus-menerus.Vinko bisa merasakan, saat mobil van hitam itu mulai memasuki suatu tempat. Mereka berhenti dengan kasar, dan mengeluarkan Vinko pun dengan cara yang kasar.Mereka membanting Vinko begitu saja.“Dimana aku?! Woi, dimana aku!!” teriak Vinko, karena sekarang matanya juga ikut ditutup.Ketiga pria itu saling tatap dan tak mau bertindak gegabah sebelum ketua mereka–yang bertugas mengemudi datang.Meskipun sudah tak sabar ingin menghajar Vinko, namun ketiga pria itu memilih untuk menunggu hingga ketua mereka turun dari mobil.Dan ketua mereka adalah Arif. Dengan gerakan lambat yang dramatis, Arif melempar tiga pasang sarung tangan pada anak buahnya. Seakan berusaha menghilangkan