Share

Bab 3 Tak Punya Pilihan

“T-tapi … “ Pria tua itu terbata-bata tak percaya, saat si pria muda dengan lantang berteriak akan melunasi seluruh hutang Rania.

Si pria muda berjalan angkuh ke hadapan si pria tua. “Bilang pada ayahku, aku yang akan melunasi seluruh hutang ayahnya. Termasuk bunganya,” tegas si pria muda sekali lagi.

Rania tidak bisa banyak bersuara. Lidahnya terkunci, masih berusaha memutar ulang ucapan pria muda itu di dalam otaknya.

‘Apakah ini yang disebut malaikat pelindung?’ batin Rania.

Maka karena tak punya lagi alasan untuk berada lebih lama di rumah Rania, para preman itu beranjak pergi–meski hati mereka tampak dongkol dan kecewa.

Si pria muda itu menoleh, memandang Rania yang masih berdiri kaku sedikit ketakutan.

“Siapa namamu?” tanyanya.

Rania gelagapan. Dia ingin menjawab, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

“Siapa namamu?” tanya pria itu sekali lagi. “Kamu tidak perlu takut. Kamu aman sekarang,”

“Rania. Rania Manalli,” Akhirnya Rania mendapatkan kembali suaranya.

Pria muda itu menautkan kedua alis. “Panggil aku Tama,” sahutnya. Sikapnya tampak kikuk dan salah tingkah di depan Rania. Dia bahkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal demi menutupi kegugupannya.

“Apa kesukaanmu?” tanyanya lagi, memecah kesunyian. Mereka berdua masih berdiri gamang di depan halaman rumah Rania.

Rania tidak menjawab, dan hanya mengernyitkan dahi bingung. “Kenapa?”

“Apa kamu suka sepatu? Baju? Atau perhiasan?” Tama menghujani Rania dengan banyak pertanyaan diluar dugaan.

Rania bahkan tidak sanggup menjawab semua pertanyaannya itu.

“Kenapa kamu membantuku?” tanya Rania, mengalihkan pertanyaan.

“Apakah aku perlu alasan untuk membantumu?” Tama ganti bertanya.

Rania mengangguk. “Bukankah tidak ada manusia yang menolong orang lain secara gratis?”

“Memang,” Tama setuju. “Kamu seratus persen benar,”

“Lalu apa alasanmu? Apa niatmu?”

“Jawab dulu pertanyaanku!” seru Tama. “Apa kesukaanmu? Apa yang paling kamu inginkan sekarang? Apa kamu punya impian?” Pria itu mulai sedikit kesal, karena Rania tak kunjung menjawab pertanyaan pertamanya.

“Aku–” Rania memutus ucapannya untuk berpikir. “Aku hanya ingin melupakan kemiskinanku,”

“Hanya itu?”

“Aku ingin menjadi wanita kaya,”

Tama mengangguk.

“Aku ingin melanjutkan sekolah. Ingin menjadi dosen,” imbuh Rania, ketika Tama mengira jawaban Rania telah selesai.

Pria itu terkesiap saat mendengar jawaban terakhir Rania. Jawaban yang membuat hatinya tergelitik.

“Kenapa? Aku bisa mewujudkan dua impianmu, kenapa harus susah payah dengan yang ketiga?” tanya Tama.

“Aku hanya akan ditipu sekali lagi, jika tidak membekali diriku dengan senjata yang cukup kuat di dalam otakku,” jawab Rania tegas. “Aku akan bertemu dengan orang-orang sepertimu di masa depan, jika hanya mengandalkan dua impianku,”

Tama melebarkan bola matanya, saat mendengar jawaban Rania yang terdengar sangat puitis baginya. Namun dia tidak menunjukkan ekspresi apapun sebagai tanggapan atas ucapan itu. Tama hanya diam, tak mau melepaskan pandangannya dari Rania.

“Aku akan mewujudkannya. Aku akan membiayai seluruh hidupmu. Makanmu, pembalutmu tiap bulan, hingga pendidikanmu dan kupastikan kamu bisa menjadi dosen sesuai maumu,” racau Tama cepat. “Hingga–” Dia sejenak diam, mendekatkan tubuhnya pada Rania.

“Aku juga akan bertanggung jawab atas kehidupan yang mungkin ada di dalam tubuhmu,” lanjut Tama.

“Maksudmu?” Rania menyahut spontan.

“Menikahlah denganku!” tukas Tama. “Aku akan memastikan impianmu terwujud, asalkan kamu mau menikah denganku,”

Jantung Rania seketika berdetak lebih cepat, setelah mendengar ucapan Tama yang lantang itu.

“A-apakah ini balasan karena kamu sudah melunasi hutang ayahku?”

Tama tersenyum tipis. “Apakah kamu punya jalan keluar lain? Bagaimana caramu menjadi wanita kaya yang otaknya terisi penuh tanpa bantuanku?”

Tama menghembuskan nafas. “Aku tidak memaksamu, Rania Manalli. Dan aku juga tetap akan melunasi hutang ayahmu, apapun jawabanmu,” ujar Tama, mulai bergerak hendak pergi.

“Apa aku bisa mempercayaimu? Apakah aku bisa menyandarkan diriku padamu?” tuntut Rania, dengan mata berkaca-kaca.

Dia tidak tahu maksud Tama, namun membayangkan bahwa dirinya harus terjebak dalam situasi sulit ini, membuat Rania seakan susah bernafas. Maju salah, mundur pun salah. Dia tidak mengenal Tama, namun hidup seorang diri juga bukan pilihan yang bagus untuknya.

Tama merentangkan kedua tangan, dengan wajah pongah.

“Aku memerlukan seorang wanita, untuk meyakinkan ayahku agar mau memberikan bisnisnya padaku. Dan kamulah wanita yang tepat,” ungkap Tama. “Kamu tertekan dan tak punya pilihan. Tapi tidak pernah mengemis untuk kutiduri,”

Tanpa sadar, pipi kemerahan Rania tampak bersemu makin merah. Si gadis matahari yang penuh senyum itu mulai menampakkan semburat kemerahan pada wajahnya yang telah lama pucat tanpa harapan.

Dan untuk sedetik saja, Tama mengagumi semburat merah itu. Hingga tanpa sadar dia tersenyum tipis.

“Aku bersedia,” seru Rania. "Aku bersedia menikah denganmu,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status