Share

Bab 5 Belenggu Tama

“S-sejak kapan?” Bergetar tangan Rania, memegangi sekantong kecil obat pemberian Arif.

Pria itu melirik Rania dari balik spion tengah. “Aku tahu, sejak awal kita bertemu, bahwa aku tidak bisa meremehkanmu begitu saja,” ucap Arif. “Tapi aku juga tidak menyangka jika kamu menggunakan cara ini untuk lepas dari Tama,”

“Lalu apa yang harus kulakukan?!” Rania berteriak. Dia membuang obat itu, kembali ke arah Arif. “Apakah ada hal yang bisa kulakukan selain membunuhnya pelan-pelan? Kamu tahu, aku bukan wanita baik. Aku hanya wanita yang ingin bebas,” isak Ranian, tak sadar riasan yang telah susah payah dipoleskan itu kembali rusak–karena Rania menangis.

Arif menggenggam erat kemudi mobilnya. “Apakah hanya itu cara yang kamu punya?” tanyanya.

“Kenapa, Rif?” Rania balik bertanya. “Kamu mau melaporkanku pada Tama?”

Arif memungut kembali obat itu. Pelan-pelan dia arahkan pada Rania, tanpa memutar tubuhnya.

“Tidak ada kebaikan yang bisa menang melawan kami. Kamu harus berpikir seperti kami, untuk membalas orang-orang seperti kami,” ujar Arif, setelah memastikan obat itu dalam genggaman Rania.

Rania menatap gamang obat yang dia genggam. “Kenapa kamu membantuku?”

“Aku tidak pernah membantumu,” tanggap Arif. “Aku hanya tidak ingin mengurusi sesuatu yang bukan hakku,”

“Tapi kamu bisa saja melaporkanku pada Tama,”

Arif mengangguk. “Lalu apa yang akan kudapatkan? Apakah aku akan dapat banyak uang?”

Rania menggigit bibir. “Aku berjanji akan memberimu banyak uang setelah Tama mati!” seru Rania, penuh tekad.

Diluar dugaan Arif menggeleng. “Aku hanya ingin tidak ada satupun yang terlibat, jika memang Tama harus mati di tanganmu,”

Mata Rania berkaca-kaca–hendak menangis namun waktunya semakin sempit. Dia harus segera keluar dari dalam mobil itu, sebelum mahasiswanya mengira dia tidak hadir.

Rania berlari kecil, berusaha untuk mengejar keterlambatannya. Ini adalah kelas pertamanya untuk mahasiswa angkatan baru, maka Rania tidak ingin meninggalkan kesan yang ceroboh.

Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah drone melayang rendah di depan muka Rania. Setiap dia menggeser posisi, drone itu terus mengikuti gerakannya. Terus seperti itu, seakan memang sengaja agar Rania terlambat.

“Oh, maaf, ya,” tegur seorang pria muda–yang tampak seperti mahasiswa. Dia memegang remote yang sepertinya mengendalikan drone itu. “Maaf ya, droneku emang sering usil,” ucapnya.

Rania memasang senyum kecut. Dia tentu tahu, pria itu hanya membuat alasan.

“Tolong turunkan,” pinta Rania pelan, sembari memejamkan mata. Pertanda dia sangat kesal.

“Oke, oke,” Pria muda itu mengambil drone miliknya yang terbang rendah di depan muka Rania.

Rania tak mau banyak bicara. Dia berjalan cepat, nyaris berlari menuju kelas pertamanya hari ini. Sebagai seorang asisten dosen yang dipercaya Pak Viktor untuk menggantikannya, Rania tentu tidak ingin mengecewakan.

“Maaf saya terlambat,” ucap Rania setelah masuk ke dalam kelas.

“Maaf saya juga terlambat,” celetuk seseorang, yang masuk menyusul Rania di belakang.

Ketika Rania menoleh, pria muda pemilik drone itu tersenyum ke arahnya dengan sedikit membungkuk. Lalu dia mengambil duduk membaur bersama mahasiswa yang lain.

Rania hanya bisa tercenung. Ingin marah dan kesal, tapi apalah daya. Dia hanya seorang asisten dosen yang bertugas menggantikan peran Pak Viktor untuk sementara waktu.

***

Setelah memberi materi penuh selama satu setengah jam, akhirnya Rania bisa sedikit istirahat. Dia menata barang-barangnya, berjalan cukup santai keluar dari kelas.

Hari ini Arif berencana untuk menjemputnya, karena Tama mengajak Rania untuk makan malam bersama. Sambil menunggu kedatangan Arif, Rania memilih untuk istirahat sejenak di tempat favoritnya selama di kampus.

Sebuah taman kecil, dengan bangku panjang yang menghadap langsung ke danau kampus. Di bawahnya ada pohon asam rindang, membuat sejuk siapapun yang duduk di sana.

“Hah?” seru Rania, ketika menyadari drone milik mahasiswa itu melayang rendah di atas kepalanya.

Rania terus mengamati drone itu, hingga tanpa sadar mulai melamun dan tersentak saat si pemilik drone sudah duduk di sampingnya.

Mahasiswa itu tersenyum geli melihat ekspresi kaget Rania. “Kenapa? Apa Ibu tidak pernah melihat pria tampan sepertiku?” selorohnya santai.

Rania seketika berdiri. “Aku hanya kaget, kamu tiba-tiba duduk di sini!” sanggah Rania tak terima. Egonya cukup tersinggung saat seorang pria yang jelas lebih muda itu berani menggoda.

Mahasiswa itu tertawa. Dia menurunkan drone itu, lalu memberikannya pada Rania. “Ibu mau coba?” tawarnya.

Rania masih menatap pria muda itu keheranan.

“Ibu mau coba kendalikan drone ini?” tanyanya sekali lagi. “Anggap saja drone ini adalah kehidupan Ibu. Jika Ibu bisa mengendalikannya dengan rapi, aku yakin Ibu bisa kabur darinya,”

Jantung Rania berdetak lebih kencang selama dua detik setelah mendengar ucapan mahasiswa itu. Seakan dia sedang membicarakan rencana Rania untuk kabur dari belenggu Tama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status