“S-sejak kapan?” Bergetar tangan Rania, memegangi sekantong kecil obat pemberian Arif.
Pria itu melirik Rania dari balik spion tengah. “Aku tahu, sejak awal kita bertemu, bahwa aku tidak bisa meremehkanmu begitu saja,” ucap Arif. “Tapi aku juga tidak menyangka jika kamu menggunakan cara ini untuk lepas dari Tama,”“Lalu apa yang harus kulakukan?!” Rania berteriak. Dia membuang obat itu, kembali ke arah Arif. “Apakah ada hal yang bisa kulakukan selain membunuhnya pelan-pelan? Kamu tahu, aku bukan wanita baik. Aku hanya wanita yang ingin bebas,” isak Ranian, tak sadar riasan yang telah susah payah dipoleskan itu kembali rusak–karena Rania menangis.Arif menggenggam erat kemudi mobilnya. “Apakah hanya itu cara yang kamu punya?” tanyanya.“Kenapa, Rif?” Rania balik bertanya. “Kamu mau melaporkanku pada Tama?”Arif memungut kembali obat itu. Pelan-pelan dia arahkan pada Rania, tanpa memutar tubuhnya.“Tidak ada kebaikan yang bisa menang melawan kami. Kamu harus berpikir seperti kami, untuk membalas orang-orang seperti kami,” ujar Arif, setelah memastikan obat itu dalam genggaman Rania.Rania menatap gamang obat yang dia genggam. “Kenapa kamu membantuku?”“Aku tidak pernah membantumu,” tanggap Arif. “Aku hanya tidak ingin mengurusi sesuatu yang bukan hakku,”“Tapi kamu bisa saja melaporkanku pada Tama,”Arif mengangguk. “Lalu apa yang akan kudapatkan? Apakah aku akan dapat banyak uang?”Rania menggigit bibir. “Aku berjanji akan memberimu banyak uang setelah Tama mati!” seru Rania, penuh tekad.Diluar dugaan Arif menggeleng. “Aku hanya ingin tidak ada satupun yang terlibat, jika memang Tama harus mati di tanganmu,”Mata Rania berkaca-kaca–hendak menangis namun waktunya semakin sempit. Dia harus segera keluar dari dalam mobil itu, sebelum mahasiswanya mengira dia tidak hadir.Rania berlari kecil, berusaha untuk mengejar keterlambatannya. Ini adalah kelas pertamanya untuk mahasiswa angkatan baru, maka Rania tidak ingin meninggalkan kesan yang ceroboh.Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah drone melayang rendah di depan muka Rania. Setiap dia menggeser posisi, drone itu terus mengikuti gerakannya. Terus seperti itu, seakan memang sengaja agar Rania terlambat.“Oh, maaf, ya,” tegur seorang pria muda–yang tampak seperti mahasiswa. Dia memegang remote yang sepertinya mengendalikan drone itu. “Maaf ya, droneku emang sering usil,” ucapnya.Rania memasang senyum kecut. Dia tentu tahu, pria itu hanya membuat alasan.“Tolong turunkan,” pinta Rania pelan, sembari memejamkan mata. Pertanda dia sangat kesal.“Oke, oke,” Pria muda itu mengambil drone miliknya yang terbang rendah di depan muka Rania.Rania tak mau banyak bicara. Dia berjalan cepat, nyaris berlari menuju kelas pertamanya hari ini. Sebagai seorang asisten dosen yang dipercaya Pak Viktor untuk menggantikannya, Rania tentu tidak ingin mengecewakan.“Maaf saya terlambat,” ucap Rania setelah masuk ke dalam kelas.“Maaf saya juga terlambat,” celetuk seseorang, yang masuk menyusul Rania di belakang.Ketika Rania menoleh, pria muda pemilik drone itu tersenyum ke arahnya dengan sedikit membungkuk. Lalu dia mengambil duduk membaur bersama mahasiswa yang lain.Rania hanya bisa tercenung. Ingin marah dan kesal, tapi apalah daya. Dia hanya seorang asisten dosen yang bertugas menggantikan peran Pak Viktor untuk sementara waktu.***Setelah memberi materi penuh selama satu setengah jam, akhirnya Rania bisa sedikit istirahat. Dia menata barang-barangnya, berjalan cukup santai keluar dari kelas.Hari ini Arif berencana untuk menjemputnya, karena Tama mengajak Rania untuk makan malam bersama. Sambil menunggu kedatangan Arif, Rania memilih untuk istirahat sejenak di tempat favoritnya selama di kampus.Sebuah taman kecil, dengan bangku panjang yang menghadap langsung ke danau kampus. Di bawahnya ada pohon asam rindang, membuat sejuk siapapun yang duduk di sana.“Hah?” seru Rania, ketika menyadari drone milik mahasiswa itu melayang rendah di atas kepalanya.Rania terus mengamati drone itu, hingga tanpa sadar mulai melamun dan tersentak saat si pemilik drone sudah duduk di sampingnya.Mahasiswa itu tersenyum geli melihat ekspresi kaget Rania. “Kenapa? Apa Ibu tidak pernah melihat pria tampan sepertiku?” selorohnya santai.Rania seketika berdiri. “Aku hanya kaget, kamu tiba-tiba duduk di sini!” sanggah Rania tak terima. Egonya cukup tersinggung saat seorang pria yang jelas lebih muda itu berani menggoda.Mahasiswa itu tertawa. Dia menurunkan drone itu, lalu memberikannya pada Rania. “Ibu mau coba?” tawarnya.Rania masih menatap pria muda itu keheranan.“Ibu mau coba kendalikan drone ini?” tanyanya sekali lagi. “Anggap saja drone ini adalah kehidupan Ibu. Jika Ibu bisa mengendalikannya dengan rapi, aku yakin Ibu bisa kabur darinya,”Jantung Rania berdetak lebih kencang selama dua detik setelah mendengar ucapan mahasiswa itu. Seakan dia sedang membicarakan rencana Rania untuk kabur dari belenggu Tama.“Bagaimana? Ibu mau coba?” tegur mahasiswa itu, karena tahu Rania tengah melamun.Rania tergagap, kemudian mulai bersikap lebih tenang. “Apa?”Mahasiswa itu tersenyum geli. Kemudian menyerahkan remote drone miliknya pada Rania. “Ibu cukup tekan tombol ini untuk naik, dan dua tombol ini untuk mengatur gerakannya,” jelasnya.Meskipun gengsi untuk mencoba, namun Rania penasaran. Dia pun membuang perasaan gengsinya sendiri, dan mengikuti arahan sang mahasiswa untuk mencoba menerbangkan drone itu.Saat drone itu perlahan mulai naik–meski pergerakannya kacau, senyum Rania mengembang lebar. Dia tidak pernah merasa seasyik ini dengan suatu hal, yang di satu sisi membuatnya fokus namun juga membuatnya senang.Diam-diam, si mahasiswa melirik ke arah Rania dengan senyum hangat. “Ngomong-ngomong, namaku Vinko,” ujarnya memperkenalkan diri.“Oh, Vinko,” gumam Rania, terus fokus pada drone itu. “Jadi kamu mahasiswa baru angkatan tahun ini?”“Siapa bilang?”Dahi Rania berkerut. Dia menoleh patah-pat
Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada k
“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya. Padahal dalam hati, Rania senang karena sep
“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat
“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”“Pertanyaan apa?”Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.“Bu Rania!” Vinko berteriak,
Vinko terus memberontak. Dia menendang ke segala arah, karena kini tangan dan mulutnya dikunci.Tiga orang pria besar itu berkali-kali mengumpat karena Vinko mengamuk secara membabi-buta. Tak mereka sangka jika pria muda seperti Vinko cukup energik hingga bisa terus melawan meski dibentak dan dipukul terus-menerus.Vinko bisa merasakan, saat mobil van hitam itu mulai memasuki suatu tempat. Mereka berhenti dengan kasar, dan mengeluarkan Vinko pun dengan cara yang kasar.Mereka membanting Vinko begitu saja.“Dimana aku?! Woi, dimana aku!!” teriak Vinko, karena sekarang matanya juga ikut ditutup.Ketiga pria itu saling tatap dan tak mau bertindak gegabah sebelum ketua mereka–yang bertugas mengemudi datang.Meskipun sudah tak sabar ingin menghajar Vinko, namun ketiga pria itu memilih untuk menunggu hingga ketua mereka turun dari mobil.Dan ketua mereka adalah Arif. Dengan gerakan lambat yang dramatis, Arif melempar tiga pasang sarung tangan pada anak buahnya. Seakan berusaha menghilangkan
“Kita harus bebaskan dia. Malam ini juga. Antar dia ke rumah sakit,” perintah Arif. Raut mukanya tampak menegang setelah memeriksa kondisi Vinko yang babak belur.“Tapi Bos, bukankah Tuan … ““Lakukan saja! Kalian hanya pesuruh, aku tidak butuh pendapat kalian,” sambar Arif, kesal karena anak buahnya itu tidak segera bergegas.Melihat kemarahan Arif, mereka bertiga tidak mau ambil resiko. Dua orang segera melepas tali yang melilit tubuh Vinko, dan satunya menyiapkan van hitam untuk membawanya ke rumah sakit.“Bawa ke rumah sakit milik Tuan. Apapun yang terjadi, jangan ada yang buka mulut,”Setelah ketiga anak buahnya–beserta Vinko pergi, Arif mulai memutar otak untuk mengatur strategi. Bagaimana pun, Tama tidak boleh terlibat. Dia harus menyelesaikan masalah Vinko seorang diri, karena bekerja di lapangan adalah tanggung jawabnya.Dan sampailah Vinko di UGD rumah sakit, dengan muka berlumuran darah dan tubuh sakit luar biasa akibat dipukuli.Dia sadar dia telah berada di tempat aman–ru
Tama memeluk erat bahu Rania. Seakan memberi peringatan pada Vinko, bahwa Rania adalah miliknya. Tama tersenyum licik. “Jika aku tahu, kita pasti sudah jadi teman baik, kan?” timpalnya.Vinko balas tersenyum. Rasa nyeri yang menjalar ke seluruh sisi wajahnya itu kini sudah tidak berasa. Tergantikan oleh perasaan marah, karena ternyata kakaknya yang membuat dia babak belur.“Kamu sangat mencintai istrimu, ya?” Vinko seperti sengaja memancing.“Tama, Vinko, kenapa jadi tegang begini?” Nita berusaha mencairkan suasana. Dia merangkul bahu Vinko, dengan senyum kikuk ke arah Tama. “Kamu sudah besar ya, Tama?” selorohnya berusaha membuyarkan ketegangan antara Tama dan Vinko.“Aku sudah dua puluh tahun saat kau menikah dengan Ayah,” sahut Tama culas.Nita salah tingkah. Dengan tawa paksa yang justru makin memperkeruh suasana, dia menarik pelan tangan Vinko untuk menjauhi Tama.Vinko tak bisa mengalihkan pandangannya dari Tama. Pun demikian dengan Tama. Mereka berdua seakan sedang bertikai me