“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.
Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat melihat Rania menanggung malu.Benar saja. Seluruh pasang mata tak berhenti berdecak heran saat melihat pakaian yang dikenakan Rania.Bagai kawanan lebah yang berdengung nyaring, gerombolan mahasiswa bahkan banyak yang terkikik melecehkan melihat tampilan Rania.Rasanya Rania ingin berlari. Tapi dia juga tidak sanggup untuk masuk ke ruang dosen dengan pakaian seperti itu.Sementara mobil Tama masih diam di tempat, seakan menunggu Rania masuk ke dalam gedung fakultasnya.Rania hanya ingin cepat menghilang. Atau setidaknya bangun dari mimpi. Dipamerkan di depan kolega Tama tidak ada apa-apanya dibanding dipermalukan di depan para mahasiswanya.Reputasi Rania pasti sudah hancur hari ini. Mungkin Pak Viktor akan menelepon dan memecatnya juga.Tanpa diduga, Vinko berlari dari dalam gedung dengan dua buah jaket besar di dua tangannya.Pria muda itu berlari kencang dengan wajah serius, lalu menyambar tubuh Rania. Dia menutupi badan Rania dengan satu jaket, dan jaket lainnya untuk diikatkan di pinggang Rania agar menutupi bagian bawah.“V-Vinko?” Hanya itu reaksi yang bisa keluar dari bibir Rania.Vinko tidak menjawab. Dia hanya bergegas membawa Rania pergi dari lingkup gedung itu, menuju tempat yang agak jauh.Sementara itu, Tama yang terus mengawasi dari dalam mobil tampak sangat terkejut dengan aksi nekad Vinko.“Siapa anak itu?” tanya Tama pada Arif.Arif melirik dari spion depan. “Sepertinya mahasiswa Rania. Kemarin mereka juga sempat bertemu,”“Apa? Jadi Rania sudah mengenalnya?”“Sepertinya begitu, Tuan,”Tama menopang dagu, dengan kaki yang terus bergerak-gerak. Dia tampak cemas, namun di satu sisi juga berpikir keras.“Buntuti mereka,”Vinko terus berjalan cepat, menggandeng tangan Rania mengarah kepada taman tempat mereka bertemu pertama kali.Sesampainya disana, Vinko menuntun Rania untuk duduk. Tak disangka dia mengantongi sebotol minuman kecil, yang dia buka dan sigap diberikan pada Rania.“Minumlah, Bu,” ucap Vinko.Rania menerima botol minuman itu, namun wajahnya masih keheranan. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya.“Bu Rania ingin makin dipermalukan?”“Bukan begitu,” Rania menggeleng cepat. “Tapi bisa saja mereka akan berpikir yang bukan-bukan,”“Berpikir seperti apa?” sahut Vinko. “Seperti … aku berpacaran dengan Bu Rania?”“Vin!” sentak Rania. “Ini tidak lucu,” Dia mengusap sisa air matanya.“Aku juga tidak melucu,” Vinko tenang saja. “Tapi aku hanya menyelamatkan harga diri wanita yang kusukai,” Vinko kelewat jujur. Sangat terbuka hingga membuat bulu kuduk Rania berdiri karena mendengarnya.“Kenapa Ibu berpakaian seperti ini ke kampus?” tambah Vinko. “Kalau aku sih suka aja, tapi aku nggak suka dilihat banyak orang,”“Vinko, kumohon, berhentilah bercanda,” Daya Rania untuk mengomeli mahasiswanya itu melemah. Dia memilih untuk bicara lebih pelan–berharap Vinko bisa mengerti.“Ngomong-ngomong, itu satu jaketnya Bram dan satu lagi jaketnya Aldo,” celetuk Vinko, tidak menanggapi ucapan Rania sebelumnya.“Vin … ““Tadi sebelum berlari ke bawah, aku sudah diatas. Dan sudah sempat memukul kepala Bram dan Aldo yang menatap Bu Rania jelalatan. Memang brengsek mereka berdua,” kelakar Vinko.Rania yang semula diam, perlahan mulai tersenyum. Bahkan dia tertawa pelan, mendengarkan cerita Vinko tentang kelakuan dua temannya itu.“Rif … “ panggil Tama, setelah diam mengamati gerak-gerik Rania dan Vinko di taman. “Apakah Rania sering melakukan ini dibelakangku?”“Melakukan apa, Tuan?”Tama melirik Arif kesal. Harusnya Arif tahu maksud Tama meski tidak dijelaskan. “Apakah aku perlu menjelaskannya?”Arif buru-buru menunduk. “Sepertinya baru kali ini Rania banyak mengobrol dengan mahasiswanya, Tuan,”Tama menggigit bibir dengan tangan terkepal, setelah mendengar penjelasan Arif.“Cari tahu siapa anak itu. Siapa namanya, dimana dia tinggal. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari cara untuk menghabisinya,” perintah Tama. “Malam ini juga,”Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra