Share

Bab 9 Sering Melakukannya

“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.

Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.

“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.

“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.

“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”

“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?

“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.

Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.

“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat melihat Rania menanggung malu.

Benar saja. Seluruh pasang mata tak berhenti berdecak heran saat melihat pakaian yang dikenakan Rania.

Bagai kawanan lebah yang berdengung nyaring, gerombolan mahasiswa bahkan banyak yang terkikik melecehkan melihat tampilan Rania.

Rasanya Rania ingin berlari. Tapi dia juga tidak sanggup untuk masuk ke ruang dosen dengan pakaian seperti itu.

Sementara mobil Tama masih diam di tempat, seakan menunggu Rania masuk ke dalam gedung fakultasnya.

Rania hanya ingin cepat menghilang. Atau setidaknya bangun dari mimpi. Dipamerkan di depan kolega Tama tidak ada apa-apanya dibanding dipermalukan di depan para mahasiswanya.

Reputasi Rania pasti sudah hancur hari ini. Mungkin Pak Viktor akan menelepon dan memecatnya juga.

Tanpa diduga, Vinko berlari dari dalam gedung dengan dua buah jaket besar di dua tangannya.

Pria muda itu berlari kencang dengan wajah serius, lalu menyambar tubuh Rania. Dia menutupi badan Rania dengan satu jaket, dan jaket lainnya untuk diikatkan di pinggang Rania agar menutupi bagian bawah.

“V-Vinko?” Hanya itu reaksi yang bisa keluar dari bibir Rania.

Vinko tidak menjawab. Dia hanya bergegas membawa Rania pergi dari lingkup gedung itu, menuju tempat yang agak jauh.

Sementara itu, Tama yang terus mengawasi dari dalam mobil tampak sangat terkejut dengan aksi nekad Vinko.

“Siapa anak itu?” tanya Tama pada Arif.

Arif melirik dari spion depan. “Sepertinya mahasiswa Rania. Kemarin mereka juga sempat bertemu,”

“Apa? Jadi Rania sudah mengenalnya?”

“Sepertinya begitu, Tuan,”

Tama menopang dagu, dengan kaki yang terus bergerak-gerak. Dia tampak cemas, namun di satu sisi juga berpikir keras.

“Buntuti mereka,”

Vinko terus berjalan cepat, menggandeng tangan Rania mengarah kepada taman tempat mereka bertemu pertama kali.

Sesampainya disana, Vinko menuntun Rania untuk duduk. Tak disangka dia mengantongi sebotol minuman kecil, yang dia buka dan sigap diberikan pada Rania.

“Minumlah, Bu,” ucap Vinko.

Rania menerima botol minuman itu, namun wajahnya masih keheranan. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya.

“Bu Rania ingin makin dipermalukan?”

“Bukan begitu,” Rania menggeleng cepat. “Tapi bisa saja mereka akan berpikir yang bukan-bukan,”

“Berpikir seperti apa?” sahut Vinko. “Seperti … aku berpacaran dengan Bu Rania?”

“Vin!” sentak Rania. “Ini tidak lucu,” Dia mengusap sisa air matanya.

“Aku juga tidak melucu,” Vinko tenang saja. “Tapi aku hanya menyelamatkan harga diri wanita yang kusukai,” Vinko kelewat jujur. Sangat terbuka hingga membuat bulu kuduk Rania berdiri karena mendengarnya.

“Kenapa Ibu berpakaian seperti ini ke kampus?” tambah Vinko. “Kalau aku sih suka aja, tapi aku nggak suka dilihat banyak orang,”

“Vinko, kumohon, berhentilah bercanda,” Daya Rania untuk mengomeli mahasiswanya itu melemah. Dia memilih untuk bicara lebih pelan–berharap Vinko bisa mengerti.

“Ngomong-ngomong, itu satu jaketnya Bram dan satu lagi jaketnya Aldo,” celetuk Vinko, tidak menanggapi ucapan Rania sebelumnya.

“Vin … “

“Tadi sebelum berlari ke bawah, aku sudah diatas. Dan sudah sempat memukul kepala Bram dan Aldo yang menatap Bu Rania jelalatan. Memang brengsek mereka berdua,” kelakar Vinko.

Rania yang semula diam, perlahan mulai tersenyum. Bahkan dia tertawa pelan, mendengarkan cerita Vinko tentang kelakuan dua temannya itu.

“Rif … “ panggil Tama, setelah diam mengamati gerak-gerik Rania dan Vinko di taman. “Apakah Rania sering melakukan ini dibelakangku?”

“Melakukan apa, Tuan?”

Tama melirik Arif kesal. Harusnya Arif tahu maksud Tama meski tidak dijelaskan. “Apakah aku perlu menjelaskannya?”

Arif buru-buru menunduk. “Sepertinya baru kali ini Rania banyak mengobrol dengan mahasiswanya, Tuan,”

Tama menggigit bibir dengan tangan terkepal, setelah mendengar penjelasan Arif.

“Cari tahu siapa anak itu. Siapa namanya, dimana dia tinggal. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari cara untuk menghabisinya,” perintah Tama. “Malam ini juga,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status