Share

Bab 8 Bengis

“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.

Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”

“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”

“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.

Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.

“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.

“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”

Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.

“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.

Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya.

Padahal dalam hati, Rania senang karena sepertinya obat itu bekerja dengan baik.

“Tiba-tiba kepalaku sakit sekali,” keluh Tama.

“Lebih baik kamu istirahat dulu,” Rania menuntun langkah Tama berbaring di tempat tidur. “Aku akan panggilkan Arif segera,”

Tama menurut saat Rania membaringkannya. Dan wanita itu berlari kecil keluar dari kamar hotel, untuk menghampiri Arif yang memesan kamar di samping mereka.

Selalu seperti itu. Arif akan mengikuti Tama kemanapun pria itu pergi–kecuali Tama meminta Arif menemani Rania.

“Ran?” Arif keheranan, karena masih terlalu pagi untuk Rania mengetuk pintunya.

Rania mengulaskan senyum sangat samar. “Tama sakit kepala,” ucapnya datar.

Arif tidak langsung menjawab. Dari gelagat Rania yang kelewat tenang itu bisa dia baca dengan jelas.

“Aku harus bagaimana?” tanya Arif.

Rania menggerakkan kepala, mengisyaratkan Arif untuk mengecek kondisi Tama.

Dalam diam mereka berdua pun berjalan ke kamar Tama dan Rania.

“Rif, sepertinya aku akan terlambat,” ujar Tama, masih memegangi kepalanya.

Arif menunduk hormat. “Saya akan menghubungi Dona, Tuan,” Arif mengambil ponsel untuk menghubungi Dona, sekretaris Tama.

“Ran,” Tama memanggil Rania.

Wanita itu mendekat, penuh perhatian. Meski dalam hati dia bersorak mensyukuri penderitaan Tama.

“Apa kamu tidak ingin merawatku disini?”

“Aku harus pergi, Sayang. Aku terlanjur janji akan menggantikan Pak Viktor pagi ini,” tolak Rania halus.

“Tapi aku membutuhkanmu,”

“Aku akan segera kembali, setelah perkuliahan selesai,” janji Rania. “Tidak akan lama, kok,”

Ada raut kecewa di wajah Tama. “Rif, tolong suruh Dona menemaniku disini,” utus Tama pada Arif.

Jantung Rania berdegup kencang dua kali, saat Tama menyebut nama Dona.

Selain menjadi sekretaris, wanita itu juga menjadi pemuas hasrat Tama jika Rania menolak untuk melayani. Dan yang paling sadis, Tama selalu memaksa Rania menonton kemesraan mereka di atas ranjang.

“Jangan lupa pulang cepat,” ujar Tama pada Rania.

“Kenapa? Kamu memintaku menontonmu dengan Dona?” sahut Rania. Ucapan yang keluar spontan, yang kemudian dia sesali.

“Apa?” Tama bangkit, melupakan rasa sakit di kepalanya. “Apa kamu bilang?” Kini dia mencengkeram kedua pipi Rania.

Arif menundukkan kepala, sama sekali tak mau melihat. Dia cukup kaget dengan ucapan Rania, dan cukup takut untuk melihat reaksi Tama.

“Aku sudah membelimu,” tandas Tama bengis. “Kamu tidak boleh mengomentari apapun tindakanku. Yang kamu lakukan hanyalah menurutiku, atau aku akan membuangmu ke jalanan,”

“Lebih baik aku dibuang ke jalanan,” seloroh Rania berani.

Arif sampai menelan ludah, karena Rania kelewat sangat berani.

“Permisi, Tuan?” Terdengar suara Dona yang mengetuk pintu kamar hotel Tama.

Tama memerintahkan Arif untuk membuka pintu. Dan saat Dona sudah masuk, Tama menarik paksa wanita itu.

Dia mendorong tubuh Dona berbaring di atas ranjang.

“Pak Tama? K-kenapa … “

Dona sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Tama sudah melompat naik ke atas tubuhnya dengan beringas.

Arif berjalan cepat keluar dari kamar itu–sebagai respon alaminya. Sementara Rania–meski ingin menyusul Arif tak punya kekuatan.

Dia tak berdaya, menangis sambil melihat suaminya–sekali lagi bermain panas dengan sang sekretaris.

“Bagaimana, Rania? Apa sekarang kamu sudah menyadari posisimu?” tanya Tama dengan wajahnya yang bengis, setelah dia melucuti seluruh pakaian Dona.

Rania gemetaran memeluk tubuhnya. Dia tidak berani membuka mulut.

“Argh!” Dona memekik penuh kenikmatan, saat Tama mulai menelusuri tubuhnya.

‘Monster … kau memang monster,’ umpat Rania dalam hati, ditambah dengan berbagai sumpah serapah yang dia tahu.

Rania tidak cemburu. Dia menangis karena memiliki suami sakit seperti Tama.

Tama tidak pernah menyiksanya secara fisik, tapi mentalnya dihancurkan sedemikian rupa.

“A-aku harus ke kampus,” ucap Rania sangat pelan.

“Siapa bilang kamu boleh pergi?!” sentak Tama. “Tetap disini sampai aku menyelesaikan ini!”

Rania menggigit bibir. Kedua tangannya mengepal erat.

Setelah menggagahi Dona hingga wanita itu lemas, Tama tiba-tiba melompat dan menerjang Rania.

“Kamu boleh pergi ke kampus, tapi dengan pakaian yang kupilihkan,” bisik Tama, tersenyum licik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status