Share

8. Mandiin Burung

"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan.

"Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri.

"Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.

Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang.

"Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pakaian kotor. Ia memasukkan pakaian gantinya yang kotor ke dalam ransel.

"Kenapa dibawa? Bukannya itu kotor? Biar dicuci saja di sini, Bang. Saya yang cuci," tanya Huri dengan heran. Gadis itu asik menatap suaminya, sambil mengikat tinggi rambutnya yang panjang.

"Biar dicuci di sana saja. Lagian, untuk beberapa hari ke depan, saya tidak akan menginap di sini," ujar Elang yang sudah bersiap untuk keluar dari kamar. Huri menahan tangan suaminya. "Tunggu, lebih baik kita duduk terlebih dahulu, membicarakan aturan main kita sebagai suami istri. Huri tahu, Abang pasti lebih paham soal poligami. Jika seorang lelaki mengambil keputusan untuk berpoligami, terlepas dia terpaksa atau tidak, maka kewajibannya atas kedua istrinya pun sama. Betul begitu?" Huri menarik pergelangan tangan Elang untuk mengikutinya duduk di tepi ranjang. Mau tidak mau, Elang menurut. Dengan wajah terlihat sangat tidak nyaman, Elang menunduk menatap lantai yang dilapisi karpet bulu berwarna biru langit. Warna yang sama dengan tembok kamar dan juga beberapa pajangan di kamar istrinya.

"Jadi, Abang akan memberikan jatah Teh Kiya berapa hari?"

"Enam hari."

"Baik, berarti saya hanya kebagian satu hari. Apa menurut Abang itu adil bagi saya?" Elang bungkam. Bibirnya tidak mampu bergerak untuk mengeluarkan suara. Baik meng-iyakan, atau menyanggah sekalian.

"Oke, diamnya Abang saya anggap jawaban iya, atas pertanyaan saya tadi." Huri dengan cepat menyimpulkan.

"Oke, saya terima. Saya hanya minta, jatah malam jum'at Abang di sini. Bagaimana?" Elang yang tadinya sama sekali tidak mau melihat Huri, akhirnya menoleh ke samping. Keningnya berkerut dalam mendengar penawaran yang diberikan oleh istri mudanya.

"K-kenapa harus malam Jum'at? Ada Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu, Minggu, dan kamu memilih Jumat. Ada apa? Apa ini berkaitan dengan karma yang menimpamu? Tolong, jangan libatkan aku terlalu dalam." Ucapan Elang bagaikan belati yang menembus hati Huri. Suaminya mungkin tengah beranggapan menikahi wanita terkutuk, sehingga kalimat yang keluar dari bibirnya begitu tajam. Huri meremas seprei, mencoba menahan sesak di dadanya.

"Dari yang pernah saya baca, hari Jumat adalah hari paling baik di antara semua hari bagi umat Islam. Karena saya hanya kebagian satu hari, maka saya harus mendapatkan hari terbaik, walau belum tentu juga suami saya memperlakukan saya dengan baik. Abang tenang saja, saya tidak akan mendekat, jika Abang tidak ingin, atau mungkin jijik." Kalimat sarkas yang dilontarkan Huri membuat Elang tak bisa menyanggah. Sungguh di dalam hatinya, tidak bermaksud untuk menyentil hati Huri. Namun ia tetap harus menjaga perasaan Kiya;wanita yang sangat ia sayangi.

"Baiklah, kamis sore, sepulang dari toko, saya akan ke sini," jawab Elang akhirnya. Huri beranjak dari ranjang, lalu berjalan ke arah lemari. Ia membuka laci di dalam sana, lalu mengeluarkan kotak beludru merah hati.

"Ini hadiah untuk Kakak madu saya. Jangan tersinggung, ini bukan sogokan. Ini hanya sebagai ucapan terima kasih saya, karena Teh Kiya dengan ikhlas mau mengijinkan Abang menikahi saya. Terimalah!" Huri menyodorkan kotak beludru yang seukuran telapak tangan.

"Apa ini? Tidak usah Huri, Kiya tidak akan menerimanya." Elang mendorong lembut tangan Huri menjauh.

"Abang akan benar-benar menyakiti hati saya, jika Abang tidak mau menerima. Ini hanya hadiah. Jika tidak suka, mau dibuang juga tidak apa-apa. Saya ikhlas. Ini saya beli dengan uang saya saat menang juara utama event lomba busana di sebuah mal, jadi saya harap Abang mau menerimanya." Tanpa menunggu persetujuan dari Elang, Huri sudah masukkan kotak itu ke dalam ransel.

"Sampaikan salam saya ke Teh Kiya. Sekarang masih hari Senin, berarti kita akan bertemu tiga hari lagi. Hati-hati di jalan ya, Bang." Huri mengambil punggung tangan Elang, lalu menciumnya dengan khidmat.

Elang men-stater motor maticnya. Bersiap untuk berangkat ke toko, tetapi ia akan mampir sebentar ke rumahnya. Huri masih menunggui Elang di depan teras, sambil bersandar di tiang rumah.

"Saya berangkat." Elang tersenyum. Huri pun sama. Gadis itu melambaikan tangan pada suaminya, lalu berjalan di belakang untuk menutup kembali pagar rumahnya.

Sepanjang perjalanan, Elang didera rasa bingung dan juga cemas. Istrinya pasti mengamuk, karena dia telat pulang satu jam. Bisa jadi juga, piring, gelas, dan perabotan dapur ikut terbang menyambut kedatangannya. Motornya masuk ke dalam jalan besar menuju kontrakannya. Semakin dekat, malah terasa semakin horor. Berkali-kali Elang menelan ludah dan berkata dalam hati, jika ia siap menerima apapun yang nanti akan dilakukan Kiya padanya.

"Ahay ... Hawa penganten baru, seger banget dah!" seru Pak Onih yang kebetulan sedang memandikan burung Jalak ya di depan kontrakan.

"Burungnya udah berapa kali mandi dalam semalam, Lang? Ha ha ha ...." timpal Bu Kasino dengan celetukan mesumnya. Elang tidak mau berkomentar, ia hanya tersenyum ramah, lalu menekan kenop pintu.

"Assalamualaikum. Kiya," seru Elang sambil menutup pintu rumahnya dengan pelan. Anak kunci ia putar dua kali, agar tidak ada yang mengganggunya dengan Kiya nanti.

Brak!

Brak!

Kiya melemparkan sandal ke arah pintu. Untung saja Elang sempat mengelak, jika tidak, maka sandal tinggi istrinya yang bisa mematikan anak anjing itu, mendarat mulus di kepalanya.

"Eh ... Kenapa?" tanya Elang dengan ekspresi terkejut.

"Abang bohong! Janji pulang jam tujuh, tapi ini sudah jam delapan lebih lima belas menit. Ngapain aja Abang sama cewek kecentilan itu lama-lama? Hah? Burung Abang udah disantet sama si Huri itu ya? Sehingga tidak ingat pulang ke rumah?"

"Astaghfirullah, Kiya!"

Wow ...

Apakah perseteruan ini akan berlanjut??

Ramaikan komentarnya ya gaes. Terima kasih

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lha w pikir si kiya bakalan ke rmh huri sambil bawa parang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status