"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.
Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman.
"Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya.
"Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya.
"Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat.
"Di sini, Bang." Huri menepuk kursi kosong di sebelahnya. Elang dengan canggung duduk di samping istri mudanya dan pasrah saat diambilkan nasi untuk ditaruh ke dalam piringnya oleh Huri.
"Kamu masuk kerja hari ini? Kenapa tidak cuti? Itu'kan toko kamu, Lang. Harusnya kamu ada waktu berduaan dengan Huri," tanya Bu Latifah lagi. Ada nada tak suka dari ucapannya. Elang sedang memutar otak untuk mencari alasan yang tepat, agar ibunya bisa mengerti.
"Ada televisi yang akan diambil pelanggan hari ini, Bu. Perbaikannya tinggal sedikit lagi. Husni tidak bisa ke toko hari ini karena mau mengurus BPJS-nya. Jadi, terpaksa saya yang ke toko," jawab Elang setengah berbohong. Ia memang berniat melanjutkan perbaikan pada televisi salah satu kustomer, tetapi masih bisa besok. Alasan urgen hari ini, tidak lebih karena Kiya ngotot meminta dirinya datang pagi ini ke kontrakan mereka.
"Tidak apa-apa, Bu, masih ada hari esok. Lagian, siang ini Huri ada ujian di kampus. Jadi gak bisa menemani Bang Elang di rumah. Pernikahan ini terjadi bukan karena kami saling cinta, tetapi karena ada urusan orang tua kami yang menyebabkan kami berdua terlibat di dalamnya. Betul begitu'kan, Bang?" Huri berkata dengan santai. Tidak ada maksud sama sekali untuk menyentil hati dua wanita yang sangat ia hormati. Hanya saja, orang tua mereka juga perlu diingatkan agar jangan berharap lebih di awal pernikahan, mengingat semua terjadi karena keterpaksaan.
Bu Latifah dan Bu Rima bungkam. Keduanya saling pandang, lalu tersenyum tipis pada Huri dan juga Elang. Tidak ada sanggahan apapun, karena keduanya tahu, bahwa yang dikatakan gadis itu ada benarnya.
"Sudah, ayo kita sarapan. Abang harus segera ke toko'kan?" Huri tersenyum pada suaminya. Lalu mulai menikmati sarapan dengan berjuta pikiran di dalam kepala.
Selepas sarapan, Elang masuk ke kamar untuk mengambil tas ranselnya. Huri sedang berganti pakaian. Gadis itu kaget bukan kepalang, saat Elang membeku di depan pintu, melihatnya hanya mengenakan pakaian dalam saja. Cepat Huri berlari ke kamar mandi, sambil menyambar baju yang akan dia pakai.
Elang masih mematung di depan pintu. Kakinya gemetar dan seluruh peluhnya bercucuran. Padahal ia baru saja mandi. Pemandangan yang baru saja ia lihat, mampu membuatnya sesak napas dan tidak mampu berkata-kata. Kakinya bagai terpaku dan tidak bisa digerakkan. Itukah Huri? Jika ia boleh memuji, maka nilai gadis itu adalah sembilan puluh sembilan persen. Mulus dan Elang kembali menelan ludah. Sedetik kemudian menggelengkan kepalanya dengan kuat. Segera ia tersadar, lalu bergegas mengambil ranselnya yang ada di dalam lemari, sembari berharap, Huri tidak cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Ia tidak yakin kesehatan jantungnya jika kembali bertemu dengan Huri.
Elang masih sibuk mencari ransel yang disimpan Huri di dalam lemari, tetapi tidak ketemu.
"Eh ...." saat berbalik badan, di situ pula ada Huri yang sudah rapi dengan kemeja dan juga rok plisket sebetisnya. Modis dan kelihatan energik. Huri menggaruk rambutnya dengan wajah tersipu di depan suaminya.
"Maaf ya, Bang. Huri tidak sengaja. Kirain, Abang masih lama ngobrol sama Mama di bawah. Jangan suudzon ya?" Huri tersenyum sangat manis. Jika ada kerajaan lebah di dalam kamar ini, sudah pasti Huri adalah ratunya.
"I-iya, tidak apa-apa. Saya mencari ransel saya. Kamu simpan di mana?" tanya Elang mencoba bersikap biasa saja. Huri mendongak, memberitahu bahwa ransel Elang ada di atas lemari. Belum sempat Elang bergerak untuk mengambilnya, Huri sudah terlebih dahulu berdiri di kursi rias, untuk mengambilkan ransel suaminya. Jemarinya yang lentik mencoba menggapai bagian paling atas lemari, tetapi tidak bisa tergapai. Huri berjinjit, karena merasa tali tas sudah bisa ia sentuh.
"Biar saya saja yang ...."
Bugh!
"Aww!" pekik Huri kaget saat tubuhnya terhempas ke bawah. Tunggu, kenapa tidak sakit? Huri membuka mata perlahan dan melihat dua bola mata suaminya begitu dekat dengannya. Sepersekian detik, mata pandangan mereka terkunci. Detak jantung keduanya pun dapat dirasakan oleh masing-masing. Jika jantung Huri berdetak terlalu cepat, maka jantung Elang mulai melambat. Lelaki itu merasa benar-benar akan pingsan.
"Maaf, Bang," ujar Huri merasa tidak nyaman. Ia segera meletakkan kedua telapak tangannya di sisi kanan dan kiri tubuh Elang, dengan maksud mendorong tubuhnya agar dapat segera berdiri.
"Eh ...." aksi itu ia hentikan, karena kalung emasnya tersangkut di kancing baju kaus berkerah yang dipakai Elang. Keduanya semakin canggung. Elang tersadar dari rasa terpesonanya. Lelaki itu duduk dengan cepat, lalu membantu Huri untuk melepas kalung yang tersangkut di kancing bajunya.
"Bang ...," panggil Huri dengan suara cenderung berbisik. Elang mengangkat wajahnya, lalu menatap sorot mata malu-malu Huri. Wajah mereka sangat dekat. Embusan napas pun dapat dirasakan oleh keduanya.
"Apa Abang tidak ingin mencium saya?" Elang menelan ludah.
Sementara itu, di rumah kontrakannya, Kiya bolak-balik melihat jam dinding. Elang sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Amarahnya perlahan naik ke kepala. Kiya pergi ke dapur, lalu mengambil parang yang ada di balik lemari. Dengan cekatan ia pun mengambil asahan, lalu mengasah parang itu dengan cepat.
****
Penasaran dengan lanjutannya gak? Kira-kira, Elang akan mencium Huri atau tidak? Parang?? Untuk apa Kiya mengasah parang itu??Duh, ada hal mendebarkan apa lagi di bab 8 ya. Plis, jangan jantungan! He he he ... Komentarnya jangan lupa ya...Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter