Share

7. Morning Kiss

"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.

Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman.

"Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya.

"Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya.

"Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat.

"Di sini, Bang." Huri menepuk kursi kosong di sebelahnya. Elang dengan canggung duduk di samping istri mudanya dan pasrah saat diambilkan nasi untuk ditaruh ke dalam piringnya oleh Huri.

"Kamu masuk kerja hari ini? Kenapa tidak cuti? Itu'kan toko kamu, Lang. Harusnya kamu ada waktu berduaan dengan Huri," tanya Bu Latifah lagi. Ada nada tak suka dari ucapannya. Elang sedang memutar otak untuk mencari alasan yang tepat, agar ibunya bisa mengerti.

"Ada televisi yang akan diambil pelanggan hari ini, Bu. Perbaikannya tinggal sedikit lagi. Husni tidak bisa ke toko hari ini karena mau mengurus BPJS-nya. Jadi, terpaksa saya yang ke toko," jawab Elang setengah berbohong. Ia memang berniat melanjutkan perbaikan pada televisi salah satu kustomer, tetapi masih bisa besok. Alasan urgen hari ini, tidak lebih karena Kiya ngotot meminta dirinya datang pagi ini ke kontrakan mereka.

"Tidak apa-apa, Bu, masih ada hari esok. Lagian, siang ini Huri ada ujian di kampus. Jadi gak bisa menemani Bang Elang di rumah. Pernikahan ini terjadi bukan karena kami saling cinta, tetapi karena ada urusan orang tua kami yang menyebabkan kami berdua terlibat di dalamnya. Betul begitu'kan, Bang?" Huri berkata dengan santai. Tidak ada maksud sama sekali untuk menyentil hati dua wanita yang sangat ia hormati. Hanya saja, orang tua mereka juga perlu diingatkan agar jangan berharap lebih di awal pernikahan, mengingat semua terjadi karena keterpaksaan.

Bu Latifah dan Bu Rima bungkam. Keduanya saling pandang, lalu tersenyum tipis pada Huri dan juga Elang. Tidak ada sanggahan apapun, karena keduanya tahu, bahwa yang dikatakan gadis itu ada benarnya.

"Sudah, ayo kita sarapan. Abang harus segera ke toko'kan?" Huri tersenyum pada suaminya. Lalu mulai menikmati sarapan dengan berjuta pikiran di dalam kepala.

Selepas sarapan, Elang masuk ke kamar untuk mengambil tas ranselnya. Huri sedang berganti pakaian. Gadis itu kaget bukan kepalang, saat Elang membeku di depan pintu, melihatnya hanya mengenakan pakaian dalam saja. Cepat Huri berlari ke kamar mandi, sambil menyambar baju yang akan dia pakai.

Elang masih mematung di depan pintu. Kakinya gemetar dan seluruh peluhnya bercucuran. Padahal ia baru saja mandi. Pemandangan yang baru saja ia lihat, mampu membuatnya sesak napas dan tidak mampu berkata-kata. Kakinya bagai terpaku dan tidak bisa digerakkan. Itukah Huri? Jika ia boleh memuji, maka nilai gadis itu adalah sembilan puluh sembilan persen. Mulus dan Elang kembali menelan ludah. Sedetik kemudian menggelengkan kepalanya dengan kuat. Segera ia tersadar, lalu bergegas mengambil ranselnya yang ada di dalam lemari, sembari berharap, Huri tidak cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Ia tidak yakin kesehatan jantungnya jika kembali bertemu dengan Huri.

Elang masih sibuk mencari ransel yang disimpan Huri di dalam lemari, tetapi tidak ketemu.

"Eh ...." saat berbalik badan, di situ pula ada Huri yang sudah rapi dengan kemeja dan juga rok plisket sebetisnya. Modis dan kelihatan energik. Huri menggaruk rambutnya dengan wajah tersipu di depan suaminya.

"Maaf ya, Bang. Huri tidak sengaja. Kirain, Abang masih lama ngobrol sama Mama di bawah. Jangan suudzon ya?" Huri tersenyum sangat manis. Jika ada kerajaan lebah di dalam kamar ini, sudah pasti Huri adalah ratunya.

"I-iya, tidak apa-apa. Saya mencari ransel saya. Kamu simpan di mana?" tanya Elang mencoba bersikap biasa saja. Huri mendongak, memberitahu bahwa ransel Elang ada di atas lemari. Belum sempat Elang bergerak untuk mengambilnya, Huri sudah terlebih dahulu berdiri di kursi rias, untuk mengambilkan ransel suaminya. Jemarinya yang lentik mencoba menggapai bagian paling atas lemari, tetapi tidak bisa tergapai. Huri berjinjit, karena merasa tali tas sudah bisa ia sentuh.

"Biar saya saja yang ...."

Bugh!

"Aww!" pekik Huri kaget saat tubuhnya terhempas ke bawah. Tunggu, kenapa tidak sakit? Huri membuka mata perlahan dan melihat dua bola mata suaminya begitu dekat dengannya. Sepersekian detik, mata pandangan mereka terkunci. Detak jantung keduanya pun dapat dirasakan oleh masing-masing. Jika jantung Huri berdetak terlalu cepat, maka jantung Elang mulai melambat. Lelaki itu merasa benar-benar akan pingsan.

"Maaf, Bang," ujar Huri merasa tidak nyaman. Ia segera meletakkan kedua telapak tangannya di sisi kanan dan kiri tubuh Elang, dengan maksud mendorong tubuhnya agar dapat segera berdiri.

"Eh ...." aksi itu ia hentikan, karena kalung emasnya tersangkut di kancing baju kaus berkerah yang dipakai Elang. Keduanya semakin canggung. Elang tersadar dari rasa terpesonanya. Lelaki itu duduk dengan cepat, lalu membantu Huri untuk melepas kalung yang tersangkut di kancing bajunya.

"Bang ...," panggil Huri dengan suara cenderung berbisik. Elang mengangkat wajahnya, lalu menatap sorot mata malu-malu Huri. Wajah mereka sangat dekat. Embusan napas pun dapat dirasakan oleh keduanya.

"Apa Abang tidak ingin mencium saya?" Elang menelan ludah.

Sementara itu, di rumah kontrakannya, Kiya bolak-balik melihat jam dinding. Elang sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Amarahnya perlahan naik ke kepala. Kiya pergi ke dapur, lalu mengambil parang yang ada di balik lemari. Dengan cekatan ia pun mengambil asahan, lalu mengasah parang itu dengan cepat.

****

Penasaran dengan lanjutannya gak? Kira-kira, Elang akan mencium Huri atau tidak? Parang?? Untuk apa Kiya mengasah parang itu??

Duh, ada hal mendebarkan apa lagi di bab 8 ya. Plis, jangan jantungan! He he he ... Komentarnya jangan lupa ya...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida
Elang adlh pria tangguh spti burung elang Dia tangguh dg janjinya pda kiya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status