Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
“Dia jadi datang kan, nak? Ini udah lama banget loh, kalian gak lagi berantem kan?”Tika—wanita tua berusia 62 tahun—terlihat cemas saat sosok yang sejak tadi mereka tunggu-tunggu tidak hadir juga. Mulai terdengar bisik-bisikan dari arah tamu undangan yang sejak 2 jam lalu menunggu. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menunjukkan sikap kecewa. Meskipun mereka masih bertahan untuk duduk, namun tidak dengan sebagian lagi yang benar-benar sudah keluar dari aula.Hari ini, lebih tepatnya sejak 2 jam lalu, seharusnya acara sudah dimulai. Harusnya sudah terdengar suara teriakan heboh dari para tamu undangan untuk menyerukan mempelai agar berciuman.Sedangkan mempelai pria—Ragata Wijaya—terlihat tenang duduk di jejeran kursi orang tuanya. Seolah dia memang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tenang, namun menggambarkan banyak misteri di dalamnya.“Nak, kamu buat masalah apa sama Melisa? Atau jangan-jangan dia kecelakaan lagi, coba kamu cek dulu nak. Ini sudah 2 jam, aya
“Jadi, dokter Raga memang diselingkuhi?”Begitulah situasi rumah sakit saat ini. Padahal udah 2 bulan sejak kejadian, tetap saja berita itu masih menjadi pembicaraan hots di rumah sakit. Berita itu menyebar kemana-mana, ada yang merasa kesal, namun ada juga yang merasa senang. Terlebih kaum para wanita baik dari dokter, perawat, bahkan dari beberapa pasien ada yang merasa senang karena dokter idaman mereka tidak jadi memiliki pemilik sah.“Padahal, dokter Melisa biasa aja loh tampangnya. Tapi bisa-bisanya dia seperti itu. Dasar wanita tidak tahu diuntung memang, coba kalo aku jadi pacarnya dokter Raga, mana mau diri ini berselingkuh?”“Diam aja deh, itu masalah mereka. Lo kepo banget sih jadi orang?”“Gue bukannya kepo, cuman mengutarakan pemikiran gue aja!”“Sama aja, lo bisa kena masalah kalo masih ngomongin masalah dokter Raga. Dia senior kita, dan sangat banyak fans. Jadi….”“Jadi kenapa?”Mendadak, sosok 2 perawat itu mengatupkan mulutnya. Angga yang baru saja selesai melakukan o
“Gila, lo yakin mau ke sini?”Ragata masih ragu, dari luar saja sudah terdengar suara musik yang sangat-sangat keras. Bukannya tidak pernah mendatangi tempat seperti ini, namun Ragata sedang tidak mood untuk mengulang kembali kebiasaannya waktu masih kuliah dulu.Sebagai seorang lelaki, dia memang pernah mendatangi tempat-tempat seperti itu.“Musiknya doang yang kegedean, Ga. Dalamnya masih gada apa-apa, lo gak usah mikir yang lain-lain deh. Udah masuk aja, daripada lo balik lagi?”“Ya mending gue balik aja daripada harus di sini!”“Goblok!” Angga meletakkan tangannya di pundak Ragata, dan memaksa temannya itu agar memasuki café di depan mereka. Sudah terlanjur juga lagian, nanggung banget, kang parkir yang nanti tersenyum.“Udah, gak usah sok alim lo. Lagian gue heran deh sama lo, kenapa lo gak pernah nyentuh si mantan sih? Kan kalo dia hamil duluan, ya dia gak bakal selingkuh!”“Ck, bisa diam gak sih? Kenapa sih lo masih bawa-bawa nama dia? Udah gue bilang dari dulu, gue gak mau nye
“Yaelah…Rin…Rindu Senja!” teriakan itu memenuhi lorong kampus. Sedangkan yang dipanggil terus berjalan lurus tidak peduli. Gadis itu menjadi pusat perhatian dari beberapa orang yang juga lewat di koridor, atau hanya sekedar duduk di bangku yang memang disediakan di sana.Fakultas kedokteran selalu sunyi, bahkan di koridornya sekalipun. Sudah horor, makin horor ketika para mahasiswa itu duduk di koridor dengan buku yang tidak lepas dari pandangan mereka.“Rindu, lo kenapa sih? Pagi-pagi udah bete aja jadi orang, niat hidup gak sih lo? Udah fakultas kayak kuburan heningnya, lo malah…yaelah, gue ditinggal kan!” Pandu berdecak sebal saat sang sahabat sudah berpindah lebih dulu.Dia berusaha mengejar lagi, namun seseorang lebih dulu mendaratkan tangan di bahunya. Lekas Pandu menoleh dan mendapati si oleh yang sepertinya tidak tahu permasalahanya pagi ini.“Lo kenapa sih pagi-pagi udah berantem sama mahluk satu itu, Ndu?” Miquel menatap Pandu dengan sorot mata bertanya.“Ck. Lo tau gak sih