Share

Salat Malam

Qiana tak bisa tidur, menatap secarik kertas yang berada di atas amplop biru. Di sebelahnya ada kotak warna biru tua, Qiana sempat membukanya tadi karena penasaran dengan apa isi di dalam kotak itu.

“Abi menemukanmu di depan pintu pesantren. Saat itu Abi bertugas untuk mengisi ceramah bulan ramadhan. Wajah polosmu itu tak bisa membuat kami untuk menitipkan bayi mungil itu di panti asuhan. Abi memilih untuk merawat kamu karena sudah lama kami menantikan kehadiran seorang bayi. Mungkin itu cara Allah memberikan kami keturunan, dengan merawatmu seperti anak kami sendiri.”

Kalimat yang diucapkan umi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Qiana. Betapa tidak bersyukurnya ia karena telah dibesarkan oleh keluarga yang taat pada agama. Memberikannya banyak cinta dan kasih sayang layaknya seorang anak kandung. Tapi, ia malah membuat mereka kecewa dengan segala tindakan dan tingkah lakunya yang tidak pantas mencerminkan seorang anak.

“Apa yang telah aku lakukan selama ini? Kenapa tidak bisa menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua? Aku benar-benar tidak pantas dibesarkan oleh keluarga ini. Anak yang tidak tahu akan terima kasih. Maafin Qiana, Abi. Qiana tidak pernah memikirkan perasaan Abi selama ini. Yang Qiana pikirkan hanyalah kesenangan semata tanpa mau mendengar perkataan Abi dan Umi.” Ia sangat menyesali perbuatannya. Jika ia bisa meminta, Qiana ingin terlahir kembali menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Tidak memikirkan perasaan sendiri dan lebih mementingkan perasaan orang-orang yang menyayanginya.

“Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin menjadi seperti sekarang ini, Abi. Qiana benar-benar menyesal.”

Dulu Qiana tidak berkeinginan untuk menginjakkan kakinya di pesantren. Bukan karena dia benci atau pun tidak suka, hanya saja Qiana belum yakin dirinya pantas untuk menjadi salah satu murid di pesantren itu.

“Umi sama sekali tidak marah atau pun membenci dirimu, Nak. Diamnya Umi bukan berarti Umi menyesal karena telah membesarkan dirimu. Hanya saja Umi bingung harus mengatakan apa tentang orang tua kandungmu. Kamu berhak tahu siapa mereka dan bertemu dengan kedua orang tuamu. Abi juga menginginkan hal itu, jangan sesekali kamu benci pada orang yang telah melahirkan kamu ke dunia ini. Kamu harus paham dan mengerti alasan mereka belum siap untuk membesarkan anak dalam keadaan seperti itu.”

Awalnya Qiana benar-benar marah dan tidak ingin bertemu dengan orang tua kandungnya. Dia belum siap untuk melihat mereka. Tapi, Abi dan Umi ingin Qiana tahu bagaimana keadaan orang tua kandungnya saat ini.

“Apa aku siap untuk bertemu dengan mereka? Sementara aku belum pernah bertemu dengan orang tua kandungku selama ini. Apa yang harus aku lakukan agar Umi tidak tersinggung? Aku tidak ingin membangkang lagi dan membuat Umi semakin sedih,” batin Qiana. Dia sangat frustasi memikirkan hari esok. Langkah apa yang harus dia ambil agar tidak menjadi anak yang durhaka.

“Kenapa kamu belum tidur? Apa yang sudah mengganggu pikiranmu saat ini?”

Qiana terkejut, Ates tiba-tiba bangun dan menghampirinya di balkon. “Mas Ates kenapa bangun? Apa udaranya terasa dingin karena Qiana membuka sedikit jendela?” tanya Qiana ragu-ragu.

Ates menggeleng pelan. “Bukan karena itu. Sedari tadi Mas perhatikan kamu sangat gelisah. Seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Apa yang kamu pikirkan saat ini? Apa perkataan Umi tentang orang tua kandungmu yang menyebabkan kamu tidak bisa tidur?” tebak Ates.

Qiana diam, dia hanya mampu menganggukkan kepalanya sebentar. “Iya, Mas,” ujarnya pelan.

“Kenapa? Kalau kamu belum siap untuk bertemu mereka, sebaiknya jangan dipaksakan dulu dari pada nanti tidak ada kenyamanan yang muncul di antara kalian.”

“Tapi, Qiana sudah berjanji pada Umi akan menemui mereka besok. Qiana nggak mau melanggar janji itu lagi, Mas,” ujar Qiana.

“Ya sudah, sebaiknya sekarang kamu ambil wudhu dan kita salat malam. Minta petunjuk kepada-Nya agar diberikan jalan untuk masalah ini.”

Qiana menurut, ia langsung melangkah meninggalkan Ates dan menuju kamar mandi. Malam ini ia akan melaksanakan salat jamaah bersama sang suami untuk pertama kalinya. Qiana tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu karena hati Qiana mulai terbuka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang wanita muslim.

***

Dalam sujud panjang, Qiana menangisi apa yang telah terjadi kepadanya. Mungkinkah yang terjadi kepadanya saat ini juga dialami oleh ibu kandungnya dulu? Sehingga tidak memiliki pilihan lain selain menitipkannya di pesantren. Apakah ia akan kehilangan calon anaknya jika Ates menolak untuk menikah dengannya?

Ia telah melabuhkan hati pada Ates karena percaya bahwa sang suami dapat menjaga hatinya dan perlahan bisa mencintai dirinya dengan tulus. Meski Qiana tidak tahu bagaimana perasaan Ates saat ini, tapi dia yakin sang suami mencintai dirinya ketika melihat cara Ates membimbingnya ke jalan yang benar.

“Ya Allah, aku bukanlah manusia suci yang tidak tahu malu mengharapkan ampunan dari-Mu. Aku manusia biasa yang banyak salah dan juga dosa. Selama ini aku telah melangkah di jalan yang tidak Engkau ridhoi, aku tersesat untuk sementara waktu. Terlena akan kemaksiatan yang menghancurkan semua harapan dan juga impian. Aku sadar bahwa hal yang aku inginkan tidak akan Engkau berikan jika aku mendapatkan dengan cara yang salah. Untuk itu mohon ampuni semua kekhilafanku Ya Allah. Aku bersujud memohon pengampunan dari-Mu. Berikan aku petunjuk agar bisa mengambil keputusan yang tepat. Abi ingin aku menemui orang tua kandungku, tapi rasanya sangat mustahil bagiku. Tolong beri aku petunjuk Ya Allah.”

“Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar semua doa-doa dari umat-Mu. Aku mohon, tolong berikan petunjuk pada istriku, untuk memutuskan langkah apa yang akan dia pilih. Hanya Engkau yang bisa membolak-balikkan hati seseorang, untuk itu aku bersujud meminta petunjuk darimu. Kabulkanlah doa kami Ya Allah. Amiin.”

Setelah selesai berdoa, Qiana meraih tangan Ates dan mencium punggung tangan suaminya itu. Untuk beberapa saat Ates merasa bahwa Qiana adalah wanita yang dikirim Allah untuk dia bimbing ke arah yang lebih baik. Hati pria itu bergetar, merasakan ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam sana.

Ates segera memalingkan muka, tak ingin jika Qiana melihat wajahnya yang mulai memerah saat ini.

“Terima kasih, Mas,” ujar Qiana.

Ates kembali melihat istrinya itu. “Untuk apa?” tanyanya penasaran.

“Berkat saran Mas untuk melakukan salat malam, Qiana merasa lega dan sudah tahu apa yang harus Qiana lakukan besok,” ujarnya.

“Benarkah? Syukurlah kalau begitu, Mas juga ikut senang mendengarnya.”

“Mas,” panggil Qiana lembut.

“Iya, ada apa? Apa masih ada yang kamu pikirkan?”

Qiana menatap wajah suaminya lama. Entah kenapa Qiana merasa pernah bertemu dengan Ates sebelumnya. Padahal baru bertemu dan Ates resmi menjadi suaminya belum cukup satu hari. Namun, Qiana merasakan sesuatu di dalam dirinya, entah itu perasaan cinta atau ada hal yang ingin Qiana tahu tentang sang suami.

“Boleh Qiana tanya sesuatu?”

“Boleh, memangnya kamu mau tanya apa?”

“Jawab yang jujur ya.”

Ates mengangguk. “Iya, Mas akan menjawab dengan jujur. Karena Allah sangat membenci umat-Nya yang suka berbohong.”

Qiana menarik napas panjang sebelum mengatakan sesuatu. “Apa Mas bahagia menikah denganku?”

Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Ates memudar. “Tentu Mas bahagia, meski belum ada rasa cinta di antara kita. Mas juga tahu kamu masih sangat mencintai pria itu, makanya Mas tidak ingin memaksakan hatimu hanya untuk Mas.”

“Apa Mas menyukaiku?”

“Maksudnya?” Ates jadi gugup, dia bingung kenapa Qiana tiba-tiba bertanya hal itu padanya.

“Qiana hanya penasaran karena Mas mau menikah dengan Qiana padahal tahu bagaimana keadaan Qiana saat ini.”

“Apa Mas harus menjawabnya?”

Qiana mengangguk cepat. “Tentu. Qiana ingin tahu bagaimana perasaan Mas saat ini,” ujarnya.

“Sebaiknya kita tidur saja, karena jawaban Mas akan membuatmu tidak nyaman nantinya,” ucap Ates.

“Kenapa?”

“Besok akan Mas katakan sesuatu yang belum kamu ketahui saat ini. Sebaiknya sekarang kamu tidur dan besok kita akan bicara lagi.”

Ates lalu berlalu meninggalkan Qiana dan menuju tempat tidur. Sementara Qiana hanya terdiam, penasaran dengan masa lalu Ates.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status