Share

Jawaban Yang Tak Seharusnya Didengar

Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.

Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.

Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.

“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.

“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun juga, pernikahan kita harus mendapat restu dari beliau,” jawab Qiana.

Ates mengangguk setuju. Sebenarnya Qiana belum siap untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Jelas terlihat dari cara Qiana yang berusaha untuk mengatur hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Mas menuruti saja keinginanmu. Tapi, sepertinya nanti siang Mas nggak bisa menemanimu ke sana, karena Mas harus mengajar untuk menggantikan Ustad Risman.”

“Aku mengerti, Mas. Biar aku pergi sendiri.”

“Nggak apa-apa kamu bertemu mereka sendiri saja? Sebaiknya besok kita ke sana, jadwal mengajar Mas besok kosong.”

“Nggak apa-apa, aku bisa sendiri kok.”

Qiana Bersikukuh, dia tidak mau Ates melihatnya bersikap dingin nanti kepada orang tua kandungnya. Ia bukannya marah atau apa pun, hanya saja Qiana masih belum siap mental untuk bertemu dengan mereka. Demi Abi, ia mau mengesampingkan ego dan mengalah agar keinginan Abi bisa terwujud.

“Kita sudah sampai, turunlah. Umi dan Abi mungkin sudah menunggu kita di dalam.” Ates membuka seat belt nya setelah memarkirkan mobil di halaman rumah.

Sebelum turun, Qiana menarik napas panjang. Ia khawatir jika umi Ates akan menolaknya nanti. Ketakutan itu bisa dirasakan oleh Ates yang masih berada di dalam mobil itu.

“Jangan khawatir, umi orang yang baik kok. Beliau sangat senang ketika mendengar pernikahan kita. Mas yakin kamu akan diterima dengan baik di keluarga kami,” ujar Ates menggenggam erat tangan Qiana.

“Tapi, ceritaku berbeda, Mas. Apa Umi akan tetap menerimaku sebagai menantu jika tahu apa yang terjadi kepadaku saat ini? Aku takut umi kecewa nantinya.”

“Nggak perlu khawatir, Abi pasti sudah cerita yang sebenarnya. Jadi, sebaiknya sekarang kita turun dan temui umi di dalam.” Ates lantas keluar dari mobil terlebih dahulu. Dia lalu berjalan ke samping untuk membukakan pintu mobil.

Qiana tertegun sejenak, menatap rumah kedua orang tua Ates yang tampak biasa saja, namun terlihat sangat sejuk dan tenang. Qiana sangat menyukai rumah itu. Selain dekat pesantren tempat Ates mengajar, dekat juga dengan masjid yang masih berada satu kompleks dengan pesantren itu. Qiana tidak bisa melihat santriwan dan santriwati di sana karena antara pesantren dan rumah itu terhalang oleh pagar yang tinggi. Tujuannya agar para santriwan dan santriwati tidak bisa keluar tanpa izin dari ustad atau ustazahnya.

“Bagaimana? Kamu suka dengan rumah ini?” tanya Ates saat melihat ekspresi senang Qiana.

Qiana mengangguk cepat. “Sangat suka, Mas. Terlihat asri dan juga tenang, Qiana pasti akan betah tinggal di sini.”

Ates tersenyum. “Syukurlah kamu senang, Mas bisa tenang meninggalkanmu ketika sedang mengajar. Nanti setelah kita pindah rumah, kamu juga bisa melanjutkan ujian untuk mendapatkan ijazah paket. Nanti aku akan membantumu melanjutkan pelajaran yang tertinggal itu.”

“Beneran, Mas? Qiana bisa melanjutkan pendidikan dengan ijazah itu?”

Ates mengangguk cepat. “Bisa dong.”

Qiana berkali-kali mengucapkan rasa syukur di dalam hatinya. Di balik musibah yang ia alami, Allah memberinya seribu kebahagiaan yang selama ini tidak pernah Qiana pikirkan. Ternyata benar apa yang abinya katakan dulu, bahwa sikap dan perilaku akan menentukan bagaimana masa depan kita nantinya. Dan Qiana baru menyadari hal itu.

Seandainya dari dulu ia sadar dan menuruti semua perkataan Abi, pasti saat ini kehidupan Qiana jauh lebih baik. Tidak menikah muda dan mengorbankan pendidikannya karena dosa. Kini, semua penyesalan itu masih tersisa di dalam diri Qiana. Ia pun belum bisa sepenuhnya menghapus kejadian itu meski sudah berstatus sebagai istrinya Ates.

“Kalian sudah datang, kenapa tidak masuk ke dalam?”

Qiana terperanjat ketika umi Ates keluar dan menghampiri mereka yang masih saja terpeku di sana. Umi segera memeluk Qiana dengan sangat erat dan penuh kasih sayang. “Selamat datang, Nak. Umi sudah menanti kedatangan kalian dari tadi,” ujar beliau melepaskan pelukan dan menatap Qiana yang tatapannya masih belum berhenti menatap umi mertuanya itu.

“Ada apa, Nak? Kenapa kamu melihat Umi seperti itu?”

Qiana segera sadar dan meraih tangan umi mertua dan mencium punggung tangan yang mulai keriput itu. “Assalamualaikum, Umi. Maaf Qiana tertegun karena baru pertama kali bertemu dengan Umi,” ujarnya.

“Nggak apa-apa, Umi senang karena akhirnya kamu menjadi menantu Umi.”

Ternyata apa yang Qiana takutkan itu tidak benar. Malah sepertinya umi Ates sangat menyukai dirinya dan menginginkan Qiana untuk menjadi menantu mereka.

“Menantu datang kok nggak diajak masuk, Umi.” Ustad Hanan baru keluar dari pesantren, beliau langsung bergabung dengan mereka di sana.

“Ini mau Umi ajak masuk, Bi,” jawab umi.

“Assalamualaikum, Ustad.” Qiana mencium punggung tangan ustad Hanan dan disambut dengan senyum bahagia dari beliau.

“Sebaiknya kita masuk sekarang, Umi mungkin sudah membuatkan sarapan yang enak untuk kita semua.”

“Baik, Ustad.”

“Paman Ates sudah pulang!” seru Fatimah yang tiba-tiba muncul ketika mereka baru saja masuk ke dalam rumah.

Fatimah berlari dengan sangat kencang hingga menubruk Qiana yang berjalan di depan Ates. Hal itu membuat tubuh Qiana limbung ke samping. Ates sudah hendak meraih tangan Qiana agar tidak terjatuh ke lantai, tetapi dia tidak sempat meraihnya. Qiana sudah terlebih dahulu jatuh di lantai yang dingin bersama Fatimah yang ikut jatuh di atas tubuh Qiana.

“Aaghh.” Qiana mengerang kesakitan. Tangan kecil Fatimah tak sengaja menekan perut Qiana ketika gadis kecil itu hendak berdiri.

“Qiana, kamu nggak apa-apa?” tanya Ates panik. Dia takut jika terjadi sesuatu kepada calon anaknya itu.

“Bukan ditanya baik atau nggak nya, Nak. Sebaiknya sekarang kamu angkat Qiana dan bawa ke rumah sakit. Umi khawatir terjadi sesuatu kepada calon bayinya,” ujar Umi memukul pelan punggung Ates.

“Iya, Ates. Segera bawa istrimu ke rumah sakit.” Ustad Hanan menimpali.

Ates setuju dengan pendapat kedua orang tuanya, dia segera mengangkat tubuh Qiana. Namun, Qiana menolak untuk dibawa ke sana.

“Nggak usah, Mas. Aku baik-baik saja,” tolak Qiana.

“Kita harus ke rumah sakit dulu, memeriksakan kondisi calon anak kita. Aku nggak mau sesuatu terjadi kepadanya,” ujar Ates.

“Tapi, aku beneran nggak apa-apa. Hanya sedikit nyeri saja ketika tangan kecilnya menekan perutku.”

“Tapi...”

“Mas, aku baik-baik saja kok”

“Kamu beneran nggak apa-apa, Nak? Umi khawatir sama kalian berdua.” Umi masih terlihat panik, takut jika Qiana dan calon anaknya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Qiana mengangguk cepat. “Iya, Umi. Qiana baik-baik saja kok.”

Ustad Hanan, Umi dan Ates tampak lega. Setidaknya Qiana bisa meyakinkan mereka bahwa saat ini dia dalam keadaan baik dan tidak perlu dikhawatirkan. Namun, Fatimah menatap jengkel kepadanya, seperti tidak suka melihat Qiana berada di sana.

“Paman Ates, dia siapa?” tanya Fatimah yang masih berusia delapan tahun itu.

“Ini istri Paman, Fatimah. Panggil dia Bibi Qiana. Mulai saat ini Paman dan Bibi akan tinggal di sini bersama Fatimah serta kakek dan nenek. Fatimah senang?”

Fatimah menggeleng cepat. “Tidak, Fatimah tidak menyukainya, Paman,” jawab Fatimah.

“Sayang nggak boleh begitu, nggak baik berkata kasar kepada orang yang lebih tua dari kita.” Umi segera menghampiri Fatimah dan membuatnya mengerti agar tidak membenci Qiana nantinya.

“Tapi, Nek. Dia sepertinya seumuran dengan Bibi Zulaikha. Fatimah ingin Ustazah Naima yang menjadi bibi Fatimah. Bukankah Paman pernah mengatakan hal itu dulu pada Fatimah?”

Qiana terkejut mendengar perkataan Fatimah. Bagaimana mungkin gadis sekecil itu mengatakan apa yang seharusnya orang dewasa katakan. Mungkinkah ini jawaban dari pertanyaan yang tadi malam Qiana ajukan pada Ates?

“Mas apa ini jawabannya?” tanya Qiana, Ates hanya diam saja tanpa bisa menjawabnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status