Share

Bab 10

*Happy reading*

"Baiklah, Rara pulang sekarang."

Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.

Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.

Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean. 

Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku. 

Jangan sampai!

"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?" 

Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.

Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap bertahan di sini.

Suamiku menungguku untuk diberi makan. Jadi sebelum dia mengeluarkan sumpah serapahnya, mulutnya harus aku sumpel segera.

"Sorry. Aku lupa ada keperluan yang harus segera aku lakukan (memberi makan suamiku). Jadi, kita lanjut malam, ya? By meeting Zoom, okeh!" 

Walau begitu, aku tak memberitahukan alasan sebenarnya, karena aku takut mereka shock berjamaah. 

Ya! Di sini, memang tidak ada tahu kalau aku sudah menikah. Karena pernikahanku memang terlalu antimainstream untuk di akui.

Pernikahan ini memang sah di mata agama dan hukum. Tapi statusku yang hanya istri kedua ....

Tidak! Aku tak sanggup memberitahukan hal itu pada khalayak publik.

Karena image istri kedua selalu buruk, dan terlalu empuk untuk di jadikan bahan ghibahan. Tak perduli bagaimana pun true storynya dan alasan di balik pernikahan itu. Istri kedua selalu di pandang negatif oleh publik. 

Maka dari itu. Status ini, biar aku saja yang tahu. Karena toh, ini gak akan bertahan lama. Hanya menunggu sampai aku lulus saja, dan itu kurang dari satu tahun lagi.

Aku rasa, aku masih bisa bertahan sampai waktu itu tiba.

Akhirnya, setelah berpamitan dan menentukan jam meeting nanti malam, aku pun segera pergi dari sana, dan berlari secepat yang aku bisa menuju loft.

Semoga aku bisa menyelesaikan masakanku sebelum Kak Sean pulang.

***

Ceklek!

Aku langsung menoleh cepat, saat mendengar suara pintu di buka. 

Seperti dugaan, itu adalah Kak Sean, yang datang setelah hampir 30 menit aku bergulat dengan alat dapurku.

Syukurlah, dengan begitu aku tidak terlambat menyiapkan makanan untuknya.

"Kakak udah pulang? Tunggu sebentar lagi, ya? Tinggal dikit lagi udah rampung semua," ucapku, seraya meliriknya, yang masih belum mengeluarkan suara sedikitpun sejak datang tadi.

Bahkan mengucap salam pun, tidak sama sekali. Yang dia lakukan hanya menatapku lekat, dengan tatapan elang yang selalu membuat aku kikuk.

Entah kenapa, aku selalu merasa ada yang salah dengan diriku, setiap kali di tatapan seperti itu olehnya. 

Rasanya seperti dikuliti habis-habisan. Padahal, perasaan aku tidak sedang melakukan apapun. Hanya saja, tatapan Kak Sean itu memang selalu berhasil membuat aku seperti terdakwa di suatu persidangan. 

Tajam dan penuh selidik.

Hingga kadang, aku langsung menelan salivaku kelat, setiap kali bersirobok dengan tatapan tajamnya itu. 

Apalagi, dia menatapku tanpa senyum sedikit pun. Membuat aku gusar, tanpa sebab yang pasti.

Pokoknya, tatapan Kak Sean itu, seperti vonis mati untukku.

Seperti saat ini. Sekalipun dia dari tadi hanya menatapku dalam diam. Tapi aku merasa kepalaku sebentar lagi akan bolong, hanya karena tatapannya itu.

Aku salah apa lagi kali ini?

"Kakak gak mau ganti baju dulu? Biar enak nanti makannya." Aku berusaha menegurnya sesantai mungkin. Berbading terbalik dengan degup jantung yang mulai tak terkontrol di dalam dadaku.

"Saya masih harus balik ke kantor."

Owh, okeh! Jadi, dia pulang hanya untuk makan siang? 

Kok, so sweet ya, kedengarannya?

Eh, tapi kamu gak boleh baper, Ra. Karena siapa tau, itu hanya sekedar kebiasaannya sama Kak Audy di Indonesia, dan terbawa hingga ke sini. 

Jadi intinya, itu hanya sekedar kebiasaan. Bukan semata-mata hal spesial yang sengaja di lakukan untukku. 

Jadi, dilarang baper!

"Oh, gitu. Ya, udah. Duduk dulu, Kak. Ini udah selesai, Kok," sahutku sesantai mungkin, sambil memindahkan ayam asam manis yang ku buat, ke dalam piring.

Setelah itu, aku langsung menyajikannya ke atas meja, menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu mejeng di sana.

Namun Kak Sean masih tak mau duduk, dan malah memantau gerak gerikku yang berusaha mengabaikannya.

Ini kenapa, sih? Kenapa aku di pantau seperti seorang pencuri di dalam rumahku sendiri? Masalah dia apa?

"Kak, ini makan siangnya udah siap. Kakak mau makan sekarang, atau--"

"Kamu masak sendiri?" tanyanya tiba-tiba. Membuat aku langsung terdiam, dan mengerjap dua kali.

Maksud pertanyaannya apa? 

Dia gak percaya aku bisa masak? Atau gimana, sih? Kok, nanyanya gitu banget?

"Iya, kak. Kenapa? Kak Sean gak suka masakan rumahan, ya? Mau aku pesenin di restauran bawah?" tanya balikku kemudian, yang sayangnya tak mendapat jawaban apapun darinya, selain tatapan datar saja.

Tuhan, aku bisa gila jika ditatap seperti itu terus! Karena tatapannya benar-benar membuat aku nethink pada diriku sendiri.

"Gak usah, ini aja."

Aku pun diam-diam menghela napas lega, saat akhirnya Kak Sean memutuskan tatapannya, dan kini manarik kursinya sendiri.

Aku pun segera meraih piringnya, dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang tersedia, sebelum dia mulai membaca dalil lagi akan kewajiban seorang istri dalam melayani suami.

Tidak! Kali ini tidak akan aku biarkan dia mengkritik ku lagi. Karena aku memang tak seburuk dugaannya.

"Saya kira kamu sudah lupa sama nasi dan tempe."

Itu sindiran, jelas! Dia tau aku lama di LN, dan pasti masih mengira aku semanja dugaannya selama ini. Bahkan, aku tahu dia selama ini menganggap aku sombong, karena tak pernah pulang ke Tanah air.

"Aku memang lama di sini, Kak. Tapi lidah dan perutku sudah Indonesia sekali. Makanya, aku selalu merasa belum betul-betul kenyang, sebelum makan nasi dalam satu hari," jelasku lugas. Tanpa niat membantahnya sama sekali.

Kak Sean pun tak bersuara lagi, dan bersiap makan dengan santainya. Membuat aku malah harap-harap cemas menunggu reaksinya, karena takut apa yang kumasak, ternyata tak sesuai harapannya.

Aku bahkan tanpa sadar sudah menahan napas, saat dia mulai menyuapkan makanannya, dan mengunyahnya pelan sekali.

Lalu saat dia terdiam beberapa saat setelah makanan itu masuk, rasanya jantungku pun ikut terhenti, bersiap menerima semburan kata-kata pedasnya tentang makananku.

Glek!

Tanpa sadar aku menelan Saliva, saat dia melirikku dengan tajam. 

Baiklah! Aku memang tak pandai masak. Jadi--

"Lain kali kalau masak. Tambahkan cabai di dalamnya, saya suka masakan pedas."

Eh? Apa? Maksudnya?

Setelah itu, Kak Sean pun meneruskan makannya dengan santai, tanpa berkomentar apapun lagi. Membuat aku tersenyum diam-diam, karena ternyata ....

Dia menyukai masakanku!

Ugh ... begini aja aku udah seneng banget! 

Rasanya seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah, sebagai kerja kerasnya.

Sayangnya, kebahagiaanku pun harus berakhir, saat getar panjang dari ponsel Kak Sean terdengar. Karena setelah melirik siapa penelponnya, Kak sean pun langsung menghentikan makannya, dan pergi begitu saja meninggalkanku.

Walau begitu, tanpa diberitahu pun, aku tahu pasti siapa yang menelpon Kak Sean tadi? Karena dari sapaannya yang tak sengaja terdengar, aku yakin pasti kalau itu dari ....

"Ya, Sayang?"

Kak audy. Iya, kan? 

Tidak ada wanita lain yang akan di panggilnya semanis itu oleh Kak Sean, selain Kak Audy. Karena baginya, hanya Kak Audy yang pantas diperlakukan semanis itu.

Aku?

Lupakan saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status