Syukurlah, setelah mendengar ucapan Ken. Pria itu, aka Tuan Sean Abdilla akhirnya mau pergi meninggalkan Rumah sakit.
Tidak, sebenarnya awalnya dia masih tetap ngotot dan tak ingin pergi demi ikut menunggui Kean. Membuat Ken mulai terbawa emosi dan menariknya menjauh dari tempatku untuk bicara berdua.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun dari tempatku, aku melihat, sepertinya mereka berdebat hebat. Aku bahkan sampai melihat Ken ditunjuk-tunjuk oleh pria galak itu. Namun Ken menanggapinya dengan tenang, meski dari tatapan matanya tak setenang yang terlihat.
Walau keseharian Ken itu selalu riang dan ramah seperti sifatnya Bunda Karina, tapi ada saat-saat tertentu di mana dia akan menunjukan kemiripannya dengan Pak Arjuna, Daddy
Permintaanku disambut suka cita oleh Ken. Pria itu bahkan melompat dengan riang sambil berseru ‘yes!’ dengan lantang sekali, saat aku memberi anggukan untuk meyakinkannya sekali lagi.Setelah itu, Ken menggendongku seenaknya dan mengajakku berputar-putar sambil tertawa riang, membuat kami langsung jadi pusat perhatian semua orang.Aku malu sekali, sungguh!! Tapi aku juga bahagia. Karena sikap Ken membuat aku terharu, dan merasa diinginkan. Aku merasa spesial setiap kali bersamanya. Ken memang selalu luar biasa dalam memperlakukan wanita. Semoga kali ini aku tak salah pilih!Bukan hanya itu saja, kebahagiaanmu rasanya terasa makin sempurna dengan kabar jika ternyata kondisi Kean dinyatakan stabil tak lama setelahnya, da
“Mau aku temani?” Ken memberi penawaran, saat melihat aku masih ragu untuk membuka pintu di hadapanku, yang sebenarnya sudah beberapa menit hanya aku pandangi.Meski sebenarnya ide Ken itu sangat menggiurkan, tapi kurasa, tidak. Aku tak ingin membuat Ken tak nyaman dengan obrolanku dan Mama Sulis nanti.Benar, setelah perdebatan cukup alot di apartemenku tadi, antara Kak Sean dan Ken. Akhirnya, Ken pun meluluskan permintaan Kak Sean, agar bisa membawaku menemui Mama Sulis.Tentu saja, Ken itu punya hati yang lembut dan mendengar kondisi Mama Sulis serta keinginannya, Ken pun luluh, lalu akhirnya malah ikut membantu Kak Sean dalam membujukku.Meski dia tidak tahu apa yang akan Mama Sulis bicarakan padaku, atau lebih tepatnya apa yang akan Mama Sulis minta dari
“Mah, sebenarnya apa yang terjadi.”Aku pun akhirnya mulai menuntut, saat Mama Sulis malah terdiam lama, setelah tadi sudah seenaknya membuatku penasaran. Sungguh, aku sudah tak sabar ingin mengetahui semua kenyataan yang mereka sembunyikan di belakangku. Mama Sulis terlihat menghirup napas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya secara perlahan.“Kami berzina, Ra.”Apa?!“Maksudnya?” Aku bertanya tak mengerti.“Mama dan ... papimu sempat berzina, Ra.”Deg!Apa? Apa katanya barusan? Mama dan Papi pernah ...
Tidak seperti biasanya. Hari itu, mobil yang melaju dengan kecepatan sedang di jalan yang lumayan lengang itu, terasa sepi sekali. Tanpa adanya obrolan, banyolan ataupun suara radio yang menemani perjalanan.Benar-benar membosankan sekali. Padahal biasanya, ada saja kelakar pria di sampingku ini untuk meramaikan suasana. Tahu sendiri ‘kan bagaimana dia? Namun, mau bagaimana lagi? Suasana hatiku juga terlalu buruk saat ini, hingga untuk memulai sebuah obrolan pun, aku malas sekali.Ya, suasana hatiku memang terasa kacau paska mendengar cerita Mama Sulis. Membuatku memilih bungkam setelahnya, karena masih bingung mencerna semua kenyataan ini. Tak ayal, ke bungkamanku membuat Ken turut bungkam, karena menghargai privasiku. Dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja saat ini, dan memberi waktu padaku untuk menenangkan diri.
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu