Share

4

Author: Kuldesak
last update Last Updated: 2025-04-18 14:24:52

"Mathilda?!"

Kengerian baru mencengkeram Lyra bahkan saat bibir dingin dan kasar itu menyambar bibirnya tanpa peringatan.

Nama asing yang dilirihkan Leonhard sesaat sebelum menerjang Lyra terasa lebih menakutkan daripada tatapan dingin pria itu di altar.

Leonard tidak hanya membenci Lyra, tapi ia bahkan tidak melihat dirinya.

Dengan sisa tenaga, Lyra mendorong dada keras Leonhard. "Tu-Tunggu! Yang Mulia! Anda salah—"

Leonhard menggeram, cengkeramannya menguat. Sang Grand Duke melepaskan ciumannya sesaat.

"Ya, aku yang salah. Karena memang itu yang selalu terlihat," ujar Leonhard, suaranya terdengar lirih.

Leonhard kembali melumat bibir Lyra, kasar, menuntut. Lyra meronta, memalingkan wajahnya dengan susah payah.

"Yang Mulia, tolong ... Hentikan! Saya bukan dia! Saya bukan Mathilda!" teriak Lyra, suara parau menembus paksaan itu, berharap menyadarkan pria yang mencumbuinya.

Leonard melepaskan ciumannya lagi, tertawa serak, getir. Lalu berdesis di depan wajah Lyra.

"Kau memang bukan adikku Mathilda. Mathilda tidak serendah dan sehina Putri dari wilayah d’Argelline! Kau itu hanya wanita munafik yang ingin naik takhta dengan cara menjadi pengantinku!" hina Leonhard.

Lyra menggeleng pelan, wajahnya pucat pasi. "Yang Mulia... Saya... Akhh!"

Leonard menarik rambut Lyra, memaksa Lyra menatap matanya yang sedikit tidak fokus.

"Yang Mulia... Saya bukan..."

"DIAM!" bentak Leonhard, mendorong Lyra hingga punggung wanita itu membentur pilar ranjang. "Kau pikir aku akan tertipu?! Kau bersekongkol dengan Kaisar! Kau itu sama busuknya dengan mereka!"

Semua rumor busuk tentang Lavinia, semua kebencian Leonhard pada intrik istana, semua ditumpahkan pada Lyra.

Leonard tidak tahu. Ia buta. Ia marah. Ia kecewa karena mengira jika Lyra atau yang dikenal sebagai Lavinia meminta Kaisar melakukan pernikahan ini dengan memberikan wilayah miskin di tempatnya tinggal sebagai tawaran.

"Aku sudah cukup tahu semuanya!" sungut Leonhard, tangannya menarik gaun pengantin Lyra dengan gerakan cepat.

KRAAKK!

Suara kain sutra dan renda yang terkoyak terdengar memekakkan.

"Aaaa..!" Lyra menjerit.

Udara dingin langsung menggigit kulit bahu Lyra yang terbuka. Kehancurannya dimulai dengan suara itu.

"Yang Mulia, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan."

Mengabaikan, Leonhard mendorong Lyra ke atas ranjang mewah itu. Ranjang berkanopi empat tiang itu terasa seperti altar persembahan.

"Menjelaskan apa? Kau berada di sini sudah menjelaskan semuanya," ucap Leonhard sambil melepaskan jubah kebesarannya dengan perlahan.

Suara gesekan kain terdengar seperti penanda dimulainya eksekusi, bukan malam pernikahan.

Lapisan demi lapisan pakaian kebesaran itu jatuh ke lantai, tak ubahnya atribut kemuliaan yang dicampakkan demi satu hal: pelampiasan.

Dengan mata membara, Leonhard menunduk ke arah tubuh Lyra yang terjerembap di ranjang.

Tubuh itu besar, kokoh, terpahat seperti tubuh tersebut memang diasah untuk medan perang. Lyra tak bisa bergerak di bawah kendali sang Grand Duke.

“Ini yang kau inginkan, bukan?” gumamnya lirih, tajam seperti sembilu. “Naik kasta. Menyusup ke dalam keturunan bangsawan. Maka aku akan berikan...”

Jemarinya menyusup ke balik sisa kain yang masih menggantung di tubuh Lyra, menyibak tirai terakhir seolah membuka pintu menuju panggung kebohongan.

Lyra ingin mengatakan kebenarannya, namun melihat keadaan Grand Duke seperti ini, keberaniannya seketika menciut.

Gaun pengantin itu akhirnya jatuh sempurna, mengalir seperti air dari tubuh Lyra yang kini gemetar.

Mata Leonhard menelusuri lekuk tubuh Lyra—bukan dengan kagum, tapi dengan benci.

“Gerbang surgawi palsu,” desisnya. “Kau merawat tempat ini hanya untuk menjebakku, ya?”

Lyra menahan napas. Kali ini ia tidak bisa lagi menyembunyikan ketakutan dalam dirinya.

“Yang Mulia... ini salah. Tolong... jangan lakukan...” pinta Lyra pelan saat Leonhard memaksa membuka kedua kakinya.

Namun permintaan Lyra tak digubris.

“Kau hanya cukup menikmati dan kau akan mendapatkan keturunan dari bangsawan terhormat sesuai dengan apa yang kalian rencanakan."

Leonard menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Lyra yang basah oleh air mata.

“Lady Lavinia,” gumam Leonhard. “kau wanita penuh tipu daya. Maka aku akan membuat malam ini berkesan... karena keluargamu dengan bangga menerima perjodohan ini dari Kaisar.”

Tombak kebanggaan Leonhard—panas, berat, dan menegang karena amarah yang lama terpendam—mengarah ke pusat portal surgawi Lyra.

Lyra menahan dada Leonhard dengan panik, mencoba agar tombak daging itu tidak menerjang dirinya.

"Yang Mulia, jika Anda melakukan ini, Anda akan menyesalinya karena aku bukan Lady Mathilda maupun Putri Silva----Akkh...!" suara Lyra berubah rintihan.

Dengan gerakan brutal, Leonhard menyodok tombak kesaktiannya masuk, merobek keheningan dengan kekuatan yang mengguncang ranjang.

“AAAKH!”

Jeritan Lyra menggema, tajam dan melengking. Tubuhnya melengkung, tangan mencengkeram seprai hingga kukunya patah.

Portal surgawi Lyra—yang tak pernah dibuka oleh cinta—dijebol oleh kemarahan yang menyamar sebagai hak.

“Ugh ... Begitu sempit...” desah Leonhard, bukan karena kagum, tapi curiga. “Kau sengaja menyimpannya baik-baik untuk malam ini? Strategi yang rapi."

Leonhard mendorong lebih dalam, tubuhnya menegang, dan tangannya menekan kedua pergelangan tangan Lyra ke atas kepala—mengekangnya seperti tawanan di ranjang penghakiman.

"Berhenti… aah… tolong…" rintih Lyra dengan napas terputus-putus, namun jeritannya terhenti oleh gerakan Leonhard yang semakin liar.

Setiap gerakan lelaki itu membawa rasa terbakar, dan bukan hanya karena daging yang menyatu—tetapi karena rasa dirampas, diinjak, dan dihakimi tanpa ampun.

“Kau menggelinjang seperti wanita suci,” Leonhard mencibir di sela desahannya, “tapi di dalam... kau sama licinnya dengan lidah para pembual istana!”

“Uuh… aah… i-it—hhnngh!”

Gempuran demi gempuran mengguncang tubuh Lyra. Setiap dorongan menusuk bukan hanya ke dasar tubuh, tapi menancap seperti paku di makam harga dirinya.

Mata Lyra membelalak. Tubuhnya terasa patah. Tapi ia tidak mati. Ia masih hidup. Dan itu menyakitkan.

“Rasakan ini! Ini yang kalian incar, kan?"

“Ugh! T-Tidak! Saya … Saya tidak seperti yang Mulia pikirkan!” pekik Lyra, suaranya pecah, putus asa.

Tangan Leonhard kini mencengkeram panggul Lyra, mengangkatnya lebih tinggi agar bisa menghantam lebih dalam. Posisi mereka seperti pembantaian yang direstui oleh sunyi malam.

Tubuh Lyra membentur sandaran ranjang setiap kali Leonhard menghempas ke arahnya.

“Berapa banyak pria yang kau khayalkan akan menidurimu? Atau cukup satu, asal membawa gelar?!”

Desahan kasar, nafas tajam, dan lenguhan penuh amarah menggema.

Lyra tak lagi bersuara. Mulutnya terbuka, megap-megap seperti ikan di daratan—mencari oksigen yang tidak tersedia dalam kamar penuh dosa itu.

Mata Lyra menatap langit-langit, air mata mengalir tanpa henti. Tubuhnya menyerah, tetapi pikirannya menolak mati.

“Cukup… tolong hentikan. Ini menyakitkan...” bisik Lyra dalam hati.

Leonhard menghentak satu kali lagi. Yang terakhir. "Aaaa..!" Tubuh Grand Duke itu menegang, bibirnya mengerang—sebuah suara yang bukan kepuasan, tapi tumpahan luka batin yang lama membusuk.

Dan dalam keheningan yang tiba-tiba... ia jatuh menindih Lyra, napasnya berat, gemetar, perlahan mulai tenang.

Lyra tidak menyentuhnya. Tidak mendorongnya. Ia hanya berbaring dengan mata terbuka, memandang nanar ke langit-langit kastil yang dingin.

"Aku tidak menyangka, aku berakhir seperti ini," batin Lyra.

___

Cahaya pagi menerobos masuk dari sela tirai, menyapu lantai kamar dengan sembarut warna pucat. Sinar itu tak pernah terasa dingin seperti pagi ini.

Di ranjang yang semalam menjadi saksi penghinaan, Lyra duduk memeluk lututnya, tubuhnya diselimuti kain seadanya. Sejak Lyra terbangun, sudah tak ada Grand Duke di dalam kamar itu.

Lyra terbangun sendirian, tubuhnya sakit. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.

“Aku tidak bisa membela diriku sendiri. Aku... bahkan tidak sempat mengucapkan siapa diriku sebenarnya…”

Tatapan Lyra kosong, menatap bekas noda merah di seprai yang sudah mengering.

“Aku tidak pernah meminta ini. Tidak meminta gelar. Tidak meminta gaun pengantin. Tidak meminta seorang pria yang bahkan tak tahu siapa aku...”

Kepala Lyra tertunduk.

“Dan tetap saja... takdir memaksaku berjalan di jalur ini. Jalur yang digariskan oleh mereka yang tak peduli apakah aku akan hancur atau tidak.” Lyra menghela napas panjang, lalu berbisik pelan.

Tok, tok!

Suara ketukan pelan memecah keheningan. Lyra mendongak.

Bukan suara pelayan.

Bukan suara langkah berat Leonhard.

“Masuk...” ucap Lyra pelan, ragu.

Kreik!

Pintu terbuka perlahan.

Dan muncul seorang wanita cantik, anggun, dan sangat berkelas.

"Kakak Ipar, apakah aku mengganggumu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Palsu Grand Duke    115

    Setelah percekcokan dengan Leonhard, Darren duduk di dalam kerangkeng, gemetar karena amarah dan merasa dipermalukan.'Dia ibumu!'Raungan Leonhard terus terngiang di telinga Darren. Kebenciannya pada Leonhard sangat besar. Tapi ketakutannya kehilangan ibunya—satu-satunya orang di dunia ini yang ia yakini benar-benar mencintainya—ternyata lebih besar.Ketika Jenderal Abraham datang untuk membawanya dan tahanan lain ke tempat yang lebih aman, Darren membuat keputusan."Lepaskan aku," kata Darren pada Abraham."Jangan bercanda, Pangeran.""AKU TAHU JALAN KE PENJARA BAWAH TANAH!" teriak Darren, suaranya putus asa. "Aku tahu jalan pintas yang tidak diketahui para penjaga. Ayah sering membawaku ke sana untuk 'menunjukkan' bagaimana pengkhianat diperlakukan. Aku harus menyelamatkan Ibuku!"Abraham menatap mata Pangeran yang gila itu, melihat campuran antara kebencian dan ketulusan yang aneh."Haaah!" Abraham membuang

  • Istri Palsu Grand Duke    114

    Kehadiran Leonhard Vordane membekukan pelataran istana selama sepersekian detik. Waktu seakan berhenti. Kemudian, kenyataan kembali menghantam.Bagi Theo, siulan panah itu adalah lonceng kebebasan. Saat dua prajurit yang memegangi Theo mendongak ke arah Leonhard dengan ngeri, cengkeraman mereka mengendur sepersekian detik. Itu sudah lebih dari cukup bagi Theo. "Kesempatan," gumam Theo.Bugh!Theo menyentakkan sikunya ke belakang, menghantam ulu hati prajurit di sebelah kirinya.UGH!Prajurit itu terbatuk, melepaskan Theo. Tanpa jeda, Theo memutar tubuhnya, menggunakan kesempatan itu untuk menghantamkan kepalanya sendiri ke hidung prajurit di sebelah kanannya.Bugh!"VANIA!"Jeritan Theo tidak lagi histeris; itu adalah raungan seorang pria yang telah didorong melewati batasnya. Ia berlari, menerobos sisa-sisa pertempuran, dan meluncur berlutut di samping istrinya."Vania, Sayang!" Tangan Theo yang gemetar buru-buru memeriksa pedang yang masih menancap di bahu Vania. "Apa kau bodoh?!

  • Istri Palsu Grand Duke    113

    Pelataran utama Istana Kekaisaran bukan lagi sebuah karya arsitektur yang agung. Itu telah berubah menjadi rumah jagal berlumpur.Selama tiga hari tiga malam, pertempuran berkobar tanpa henti. Asap hitam tebal dari bangunan-bangunan yang terbakar di sayap barat telah menutupi matahari, menjerumuskan istana ke dalam senja abadi yang hanya diterangi oleh api dan kilatan baja. Paving batu marmer yang dulu putih kini licin oleh campuran darah, lumpur, dan minyak. Bangkai kuda dan tumpukan mayat—baik dari pasukan Utara maupun Kekaisaran—digunakan sebagai barikade darurat.Para warga sipil di dalam dinding istana telah dievakuasi ke ruang-ruang bawah tanah, meninggalkan dunia atas untuk para prajurit.Di balik tumpukan perisai yang hancur, Vania, Geon, dan Theo terengah-engah. Mereka adalah episentrum dari pertahanan yang mustahil ini."Air... Sialan, aku butuh air," desis Geon, suaranya serak. Tawa Geon yang menggema sudah lama hilang, kini terganti oleh geraman lelah. Kapak besar Geon

  • Istri Palsu Grand Duke    112

    Jauh dari kebisingan perang di Ibukota, Menara Utara Vordane terasa sunyi mematikan. Di dalam selnya yang mewah nun dingin, Mathilda mondar-mandir seperti binatang yang terkurung. Gaun sutranya sudah kusut, dan wajah cantiknya pucat pasi.Huek!Untuk ketiga kalinya pagi itu, ia membungkuk di atas baskom cuci perak dan muntah hebat. Cairan asam membakar tenggorokannya. Mathilda menyeka mulutnya dengan punggung tangan yang gemetar."Sialan," desis Mathilda, tubuhnya bersandar lemah ke dinding batu yang dingin.Sudah tiga hari ini tubuhnya terasa aneh. Mual di pagi hari, pusing, dan kelelahan yang luar biasa. Awalnya ia mengira ini karena stres dikurung, atau makanan penjara.Tapi hari ini, saat ia menghitung siklus bulan di kepalanya, sebuah kenyataan yang mengerikan sekaligus penuh kekuatan menghantamnya.'Tidak. Tidak mungkin...' Tangan Mathilda tanpa sadar turun ke perutnya yang rata. Ingatan Mathilda tidak melayang pada Darren. Pikiran Mathilda terlempar kembali ke malam di Ibuko

  • Istri Palsu Grand Duke    111

    SYUT! SYUT! SYUT!Hujan panah api menghujani pelataran istana. Para prajurit Utara yang telah menyusup ke dinding istana mengubah benteng pertahanan itu menjadi sangkar kematian. Kuda-kuda meringkik panik, formasi elit Legiun Pertama dan Ketujuh pecah seketika."PENGKHIANAT!" raung Kaisar Edmure, wajahnya merah padam lantaran amarah dan penghinaan. Ini adalah penghinaan tertinggi—diserang di dalam rumahnya sendiri. Sring!Kaisar Edmure mencabut pedang pusakanya, 'Black Talon', yang berdengung dengan aura gelap."ALBRECHT, APA YANG KAU TUNGGU?! PASUKANMU MASIH DI SINI! HABISI MEREKA! HABISI TIKUS-TIKUS INI!"Count Albrecht, yang masih terpaku menatap kepala dua jenderalnya, tersentak sadar. Ini adalah akhir. Tidak ada jalan kembali. Dengan raungan putus asa, Albercht mengangkat pedangnya. "LEGIUN PERTAMA! FORMASI PERISAI! BENTUK DINDING! TEBAS SEMUA PEMBERONTAK!"Pertempuran pun pecah di pelataran istana. Baja beradu dengan baja.Vania dan Geon memimpin serangan. Mereka adalah ujun

  • Istri Palsu Grand Duke    110

    Fajar baru saja menyingsing di atas Ibukota, mengirimkan cahaya kelabu yang pucat ke pelataran utama Istana Kekaisaran. Udara pagi terasa beku, menggigit kulit, dan membawa serta aroma logam dingin, keringat kuda, dan kulit yang baru dipoles. Ribuan prajurit Legiun Pertama dan Ketujuh—pasukan paling elit Kekaisaran—berdiri dalam formasi yang sempurna. Kaki mereka yang dibalut sepatu bot baja menghentak-hentak pelan di atas paving batu di pelataran, menciptakan gemuruh rendah seperti badai yang tertahan.Di atas mereka, panji-panji perang bergambar elang emas berkibar angkuh, siap untuk terbang dan mencabik-cabik mangsanya.Di barisan terdepan, Kaisar Edmure duduk tegak di atas kuda perang hitamnya yang raksasa, 'Nightfall'. Zirah hitam legamnya yang dihiasi ukiran emas membuatnya tampak seperti dewa kematian yang turun dari singgasananya. Di samping Edmure, Count Albrecht Vordane duduk kaku di atas kudanya, wajahnya sekeras batu, matanya menatap lurus ke depan, berusaha menyembunyik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status