"Cepat jalan!" bentak seorang pengawal kekaisaran, mendorong punggung Theo dengan kasar.Lyra, Theo, dan Geon digiring seperti binatang ternak melewati koridor utama Istana Kekaisaran yang megah. Lantai pualam yang mengkilap memantul bayangan ketiga tawanan itu yang tampak kotor, penuh luka, dan menyedihkan. Di belakang mereka, Darren Vordane berjalan dengan langkah angkuh.Para pelayan dan bangsawan rendahan yang berseliweran sontak berhenti, menatap pemandangan itu dengan napas tertahan. Bisik-bisik langsung menyebar seperti api."Lihat... itu Ratu dari Utara?""Ya Dewa, apa yang terjadi? Kenapa dia diperlakukan seperti penjahat?""Kudengar Raja Leonhard memberontak...""Menyedihkan sekali, padahal dia begitu cantik..."Lyra mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, mengabaikan setiap bisikan dan tatapan kasihan disertai cemoohan itu. Lyra teringat janjinya pada Theo dan Gion. 'Jangan tunjukkan wajah menyedihkanmu, Lyra. Jadilah tawanan yang bermartabat dan mahal.' Lyra berjalan dengan
Di dalam kereta kuda yang melaju kembali ke Ibukota, Daren, Ilmae, dan Thalor bersulang dengan anggur mahal saat duduk berhadapan.Di kereta lain di belakang mereka, Lyra, Theo, dan Geon menjadi tawanan.Ilmae terkekeh. "Rencana kita berhasil sempurna, Pangeran Darren! Aku tidak pernah seyakin ini seumur hidupku bisa bekerjasama dengan orang sepenting Anda, Pangeran," ujar Ilmae dengan sanjungan palsu. Thalor mendengus, mengangkat cawannya. "Tentu saja berhasil. Menawarkan informasi tentang lokasi pelarian Leonhard dan istri palsunya pada Pangeran adalah langkah paling cerdas yang pernah kita lakukan," ujarnya sombong, seakan itu idenya sendiri.Darren menyesap anggurnya dengan elegan, menatap keduanya dengan tatapan picik yang tersembunyi. "Informasimu memang berguna, Baron. Harus kuakui, aku tidak menyangka kau dan istrimu bisa secepat itu menemukan jejak mereka dan menghubungiku."Ilmae menyeringai. "Tentu saja, Pangeran. Begitu kami tiba di Ibukota, kami langsung menyebar mata-ma
"Apa belum ada informasi dari para prajurit?" tanya Kaisar Edmure pada salah satu penasihat setianya, Silas.Kaisar Edmure duduk di singgasananya yang megah, wajahnya tampak lelah namun matanya yang biru berkilat waspada. Ia menunggu laporan akhir dengan tidak sabar.Silas membungkuk hormat. "Belum ada laporan resmi dari Sir Gideon, Yang Mulia. Sepertinya, kemenangan ada di tangan Kekaisaran. Mengingat pasukan Raja Leonhard yang tidak seberapa," jawab Silas. Kaisar Edmure mengangguk, meski dia mengutus puluhan pasukan terbaik, Edmure belum bisa bernapas lega jika ia tidak melihat mayat Leonhard dengan mata kepalanya sendiri. 'Mengundang Leonhard ke Ibukota dengan dalih penobatan adalah jebakan yang tepat,' pikir Kaisar Edmure, senyum tipis terukir di bibirnya. 'Dia terlalu sombong untuk menolak, dan terlalu lurus untuk mencium pengkhianatan dari keluarganya sendiri.'Rencananya semula begitu rapi dan politis. Edmure ingin membuat kesepakatan dengan Leonhard. Memberikan wilayah denga
"Lihatlah anjing-anjing peliharaan adikku ini. Begitu setia dan ... begitu menyedihkan."Di tengah jalan yang berdebu, diapit pepohonan ek menjulang, Darren duduk di atas kuda hitam, zirah ringan berkilau di tubuhnya, jubah marun terjulur, dan senyum miring menusuk seperti belati.Mengetahui siapa yang menghadang mereka, Theo dan Geon meloncat turun dari kuda.Keduanya memasang kuda-kuda, dan suara logam beradu terdengar saat mereka menghunus pedang bersamaan."Pangeran Darren. Menyingkirlah dari jalan kami. Kami sedang dalam tugas penting dari Raja Leonhard.""Hahahaha!" Darren tertawa lebih keras. "Raja? Raja yang mana? Raja yang sudah menjadi santapan serigala di belakang sana?" Darren memiringkan kepalanya. "Aku adalah pewaris sah Vordane. Perintahku adalah hukum rimba di sini. Sekarang, serahkan wanita itu padaku, dan mungkin kalian akan kubiarkan hidup." hardik Darren. Di dalam kereta, Lyra yang masih bersedih dan juga terkejut atas kereta yang tiba-tiba berhenti mendadak pun
Suara roda kereta yang menjauh kini tak lagi terdengar, ditelan oleh gemuruh derap puluhan kuda dan teriakan perang yang mendekat. Leonhard Vordane berdiri sendirian. Bahunya sobek, seragam hitamnya basah oleh darah dari luka di bahu yang terus menetes ke tanah.Pedang di tangan kanan Leonhard bergetar pelan, bukan karena takut, tapi karena menahan rasa sakit dan beban kelelahan.'Pergilah, Lyra,' batin Leonhard, menatap ke arah perginya kereta itu. 'Pergilah sejauh mungkin dan temukan ibumu. Aku harap, kau tidak pernah tahu betapa aku takut kehilanganmu saat ini.'Langkah-langkah musuh mulai merapat, mengepungnya dari segala arah. Puluhan pasukan elit kekaisaran, dengan zirah hitam mengkilat yang basah oleh hujan, membentuk setengah lingkaran yang rapat."Itu dia! Sang Pengkhianat!" seru komandan mereka, Sir Gideon, menatap Leonhard dengan wajah bengis meremehkan. "Bunuh jika Raja Utara itu berani mengayunkan pedangnya! Bawa mayatnya ke hadapan Kaisar!"Leonhard hanya diam, sorot ma
"SERANGAN DATANG DARI KANAN!" teriak kusir dari luar. Leonhard bereaksi dalam sepersekian detik. "Lyra, menunduk!" teriak Leonhard. "Akhhh!" Lyra menjerit, jantungnya berpacu. Tanpa berpikir, Leonhard langsung memutar tubuhnya, menggunakan punggungnya sendiri sebagai perisai untuk melindungi Lyra, mendekap kepala wanita itu ke dadanya yang bidang. SYUUT! JLEB! Satu anak panah menembus kaca jendela yang pecah, menancap dalam di bahu Leonhard. "AKHH!" Leonhard mengerang kesakitan. Rasa panas terasa membakar dan menjalar di bahu Leonhard, tapi pelukannya pada Lyra tidak mengendur sedikit pun. Leonhard hanya mendesis menahan sakit. "Aku tidak apa-apa... jangan bergerak!" "Leon ... Kau melindungiku?" ucap Lyra panik. Ia bisa merasakan otot-otot di punggung Leonhard menegang kesakitan. "Sudah tanggung jawabku. Tetap diam." Di dalam dekapan sang Raja, Lyra mencium aroma amis darah. Tubuh Lyra seketika bergetar. "Leon ... Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Lyra deng