Zea menepuk-nepuk punggung Ar yang sudah terlelap sambil memeluk bantal guling kesayangannya. Dia tersenyum hangat melihat wajah menggemaskan bocah tampan itu.
"Betapa bodohnya kau, Kak. Meninggalkan pria setampan ini hanya demi kebebasanmu." Zea geleng-geleng kepala.Zea mengusap kepala Ar. Dia sedih mendengar curahan hati keponakannya itu, ternyata selama ini Ar kecil sudah kekurangan kasih sayang seorang ibu."Son, walaupun Mommy bukan ibu kandungmu. Tapi, Mommy berjanji akan menjaga dan memastikan kau tidak akan kekurangan kasih sayang." Zea mengecup kening bocah tampan itu.Zea turun dari ranjang. Dia menghela napas panjang."Kamarku di mana?" Dia bingung sendiri. "Harusnya tadi aku tidak perlu mendengar kata-kata ayah untuk meninggalkan koperku. Sekarang, aku harus pakai apa?"Zea keluar dari kamar Ar. Wanita itu berjalan pelan dengan mengendap-endap. Rumah sebesar dan semewah ini membuatnya bingung di mana kamar Zevanya dan sang suaminya?"Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan yang kebetulan lewat."Hem, kamar tuan Zayyan di mana ya?" tanya Zea setengah berbisik.Kening pelayan itu mengerut. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Zea membuatnya bingung. Bagaimana bisa wanita ini bertanya di mana kamar suaminya?"Itu kamar tuan, Nona," jawab sang pelayan seraya menunjuk ke arah pintu sebelah kamar Ar."Oh iya, terima kasih, Bi." Zea tersenyum malu."Sama-sama, Nona. Jika butuh sesuatu jangan sungkan," ucapnya sopan."Iya, Bi."Zea menghela napas panjang. Lalu dia berjalan pelan ke arah kamar Zayyan. Jantung wanita itu berdebar-debar, ah dia malu sekali. Bagaimana bisa dia satu kamar dengan suami kakaknya? Namun, bagaimana lagi dia tidak punya pilihan.Zea memegang handle pintu lalu memutarnya perlahan."Tidak dikunci," gumamnya.Wanita itu masuk ke dalam sana. Andai saja dia tidak risih jika tidak mandi, sudah pasti dia akan memilih tidur di kamar Ar saja."Hem.""Astaga!" Gadis itu terkejut sambil mengusap dadanya.Tampak Zayyan yang sudah memasang wajah dinginnya dengan tangan yang terlipat di dada. Dia menatap gadis itu dari ujung kaki sampai ujung rambut."Eh selamat malam, Kak," sapa Zea memasang wajah ramahnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Zayyan penuh selidik."Kenapa Kakak bertanya begitu? Jelas aku mau tidur," jawab Zea berusaha menetralisir degup jantungnya. Ah, tatapan kakak iparnya itu sungguh mematikan."Benarkah?"Zayyan berjalan maju ke arah gadis itu. Sementara Zea mundur karena takut."Kakak mau apa?" Tubuhnya panas dingin, mau apa kira-kira laki-laki itu. Jangan sampai melakukan sesuatu yang di luar pemikiran Zea.Kepala Zea hampir saja terbentur di tembok kalau tangan Zayyan tidak melindunginya."Kau lupa, sejak kau melahirkan kita tidak pernah tidur sekamar?"Zea terkejut mendengar pernyataan dari suami kakaknya itu. Benarkah selama ini Zayyan dan Zevanya tidak pernah tidur sekamar?"Itu anu..." Zea menggaruk kepalanya. "Terlalu lama tidak pulang, aku sampai lupa," jelasnya cengengesan. Zea mengumpat kasar dalam hati, harusnya dia bertanya pada sang ayah apa sebenarnya yang terjadi di rumah tangga kakaknya."Tapi, tidak masalah jika kau ingin sekamar denganku," goda Zayyan sembari mengelus wajah mulus Zea.Bulu kuduk Zea berdiri ketika kulihat Zayyan menyentuh wajahnya. Seumur hidup dia tak pernah sedekat ini dengan lawan jenisnya. Sebab, selama ini Zea hanya sibuk meniti karier dan masa depan."Tidak, Kak. Aku akan kembali ke kamarku," tolak Zea.Raut wajah Zayyan langsung masam. Selama ini tak ada yang pernah menolaknya termasuk Zevanya. Bahkan istrinya itu merenggek ingin satu kamar, tetapi Zayyan menolak karena dia memang tidak pernah mencintai Zevanya. Dia menikahi wanita itu hanya demi memiliki anak agar menjadi pewaris tunggal harta kekayaannya."Kau menolakku?" Zayyan mengukung tubuh Zea."Hem, tidak, Kak. Maksudku, aku ingin tidur di kamarku," kilah Zea. Dia ketakutan bukan main, apalagi melihat wajah Zayyan yang merah.Zayyan mengangkat dagu gadis itu dengan jari tangannya. Seketika dia terpesona dengan tatapan mata teduh Zea. Wanita ini memiliki bola mata biru yang indah. Sudut bibir pria itu terangkat, ternyata Miko mau bermain-main dengannya.Zayyan mendekati wajah Zea. Sontak Zea memejamkan matanya dengan tangan yang seperti meremas dinding. Sumpah demi apapun, dia benar-benar takut. Rasanya ingin kabur dan pulang ke rumah."Tidur denganku malam ini. Aku merindukan kehangatan tubuhmu, Sayang," bisik Zayyan sembari meniup telinga gadis itu."Tidak!" Zea langsung mendorong tubuh Zayyan."Kau berani mendorongku?!" hardik Zayyan."Tidak, tidak! Tidak sengaja, Kak." Zea menampilkan rentetan gigi putihnya dan mengangkat jari berbentuk v."Kau–""Kak, aku izin ke kamar mandi. Mau buang air kecil."Saking gugupnya wanita itu sampai tak mampu menahan sesuatu yang serasa ingin keluar dari sana. Zea berhambur ke arah kamar mandi dan menghindari Zayyan.Bukannya marah, Zayyan malah terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya."Imutnya," celetuk pria itu. "Miko, Miko! Kau berusaha menipuku dengan mengirimkan istri palsu." Dia menggelengkan kepala salut.Zayyan duduk di sofa sambil menunggu Zea keluar dari kamar. Malam ini dia tidak akan melepaskan gadis polos itu. Apalagi Zea sudah masuk ke dalam perangkapnya.Zayyan memerintahkan pelayan untuk membawa pakaian Zevanya ke kamarnya. Mulai sekarang, istri palsunya itu harus tidur dengannya. Dia tidak peduli jika Zea akan menolak.Tidak lama kemudian Zea keluar dari kamar mandi. Wanita itu cengengesan sambil menampilkan rentetan gigi putihnya."Aku permisi kembali ke kamarku, Kak," pamit Zea sopan."Mulai malam ini kau tidur di kamarku!"Seketika langkah Zea terhenti. Wanita itu menelan salivanya sudah payah, sebelum membalikan badannya."Kenapa?" Zayyan menyeringai licik. Dia bisa melihat wajah Zea yang tampak ketakutan."Aku tidur di kamarku saja, Kak. Aku suka mendengkur takut menganggu Kakak," ucap Zea beralasan."Aku tidak terganggu. Sekarang mandilah, di lemari itu semua pakaianmu. Aku tunggu di ranjang!" Zayyan tersenyum licik."Hah? Tunggu di ranjang?" Zea sudah ketar-ketir, apa yang harus dia lakukan. Laki-laki dan wanita tidur dalam satu ranjang, bukankah mereka akan melakukan...?"Apa kau akan terus berdiri di situ? Cepat mandi!" titah Zayyan mulai kesal melihat Zea yang masih berdiri bingung."Eh iya, Kak."Zayyan menatap punggung Zea yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Dalam hati dia sudah tertawa puas melihat wajah ketakutan wanita itu. Mau bermain-main dengannya? Oh, jelas saja dia akan meladeni. Bukankah Zayyan lebih bisa berakting dan membuat jebakan? Kesempatan ini akan dia gunakan sebaik mungkin untuk menjerat Zea dalam perangkap hatinya.Zayyan meronggoh ponselnya lalu tampak memanggil seseorang di seberang sana."Cari informasi tentang istri palsuku. Jangan terlewatkan satu hal pun tentangnya. Aku mau malam ini identitasnya sudah ada di tanganku!"Bersambung ...Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb