Rahang Zea mengeras dengan tangan yang terkepal.
"An–""Mommy!" teriak seorang bocah tampan berusia sekitar lima tahun berlari ke arah Zea."Eh!" Zea terkejut ketika bocah itu memeluk pinggangnya."Mommy, ke mana saja? Ar merindukan Mommy," renggeknya seraya menangis sesenggukan.Zea menatap bocah tampan itu dengan senyuman kaku. Dia berjongkok agar menyamakan tingginya dengan sang keponakan. Wajah bocah ini sangat mirip ayahnya, bahkan seperti duplikat Zayyan kecil."Hai, Son. Apa kabarmu? Maafkan Mommy ya. Sini peluk Mommy!""Mommy."Arzanka Kennedy Leigh, anak dari Zayyan dan Zevanya. Dia berusia 5 tahun dan begitu manja dengan sang ibu. Wajahnya tampan, tetapi sudah terlihat arogan. Sepertinya darah sang ayah mengalir dari tubuhnya sehingga membuat sikap bocah kecil itu pun tak jauh beda dari pria yang dijuluki jelmaan iblis itu."Mommy, jangan tinggalkan Ar lagi!" renggeknya."Mommy tidak akan meninggalkanmu, Son."Zea memeluk keponakannya itu seraya mengusap punggung Ar dengan sayang. Zea tak habis pikir, apa yang membuat Zevanya kabur dari rumah meninggalkan suami dan anaknya. Padahal kehidupan mereka sangat sempurna, suaminya kaya raya dan tampan. Anaknya juga lucu dan menggemaskan. Tak ada yang kurang, lantas apa yang membuat kakaknya itu memilih pergi dari rumah?"Kau boleh pergi!" Zayyan mengibaskan tangannya mengusir Miko."Baik, Tuan. Saya permisi." Miko membungkuk hormat.Sekilas Miko melirik ke arah Zea yang masih memeluk Ar. Dia mengangguk sembari tersenyum dan berharap jika Zea bisa melakukan tugas dan tanggungjawabnya."Cup, cup, anak Mommy. Jangan menangis lagi ya, Son. Mommy sudah ada di sini," ujar Zea melepaskan pelukan Ar."Mommy." Air mata pria kecil itu meleleh di pipinya. "Jangan pergi lagi!" mohonnya."Iya, Son. Mommy tidak akan pergi lagi, Mommy akan di sini menjaga Ar," sahut Zea mengusap kepala Ar.Para pelayan terheran-heran melihat sikap Zea. Pasalnya Zevanya tak pernah peduli pada anaknya, mau anaknya itu menangis atau merenggek sekalipun dia tak mau tahu sama sekali. Selagi dirinya memiliki uang dari sang suami, dia bebas melakukan apa saja dan lupa pada tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga."Mommy ayo makan, Ar sudah lapar!" ajak bocah kecil itu menggandeng tangan Zea."Hem, kau melupakan Daddy, Son?" sindir Zayyan yang sedari tadi berdiri menatap kedua orang itu."Daddy, gendong!" Ar mengulurkan tangannya pada Zayyan, agar sang ayah menggendong tubuh kecilnya."Tentu!" Zayyan mengangkat tubuh putranya itu. "Ayo kita makan!"Zea tampak bingung, apa yang harus dia lakukan? Rasanya kaku sekali melihat wajah dingin Zayyan. Dia jarang bertemu kakak iparnya itu karena setelah menikah dia dan Zevanya seperti putus kontak."Mommy, kenapa diam saja?" tanya Ar. "Ayo, gandeng tangan Daddy!" seru Ar."Hah?!" Zea baru tersadar dari lamunannya."Ayo!"Zayyan menggandeng tangan Zea. Sontak saja wanita itu terkejut, dia hendak menolak. Namun, tangan Zayyan mengenggamnya dengan erat. Degup jantung berdebar dan keringat dingin membasahi dahinya. Bukan terbawa perasaan, tetapi dia takut jika lelaki ini menyadari bahwa dirinya bukan Zevanya.Mereka berjalan ke arah meja makan. Ar terus saja berceloteh, sangat jarang kedua orang tuanya bergandengan tangan seperti ini, kecuali ada acara-acara besar.Di meja makan tampak keluarga besar sudah menunggu."Akhirnya kau pulang juga, Zevanya?" sindir ibu tiri Zayyan — Grace."Dia tidak menemukan rumah makanya kembali ke sini," sambung adik tiri Zayyan — Ruth."Ak–""Duduklah!" Zayyan menarik wanita itu agar duduk di kursi sampingnya."Iya.""Mommy, Ar mau disuapin sama Mommy!" pinta Ar menampilkan wajah menggemaskannya."Baiklah, Mommy akan menyuapimu," ujar Zea.Grace dan Ruth saling melihat satu sama lain. Kenapa Zion jadi berubah? Biasanya wanita itu acuh tak acuh pada anaknya. Tadi, ketika Grace dan Ruth menyerang Zevanya dengan berbagai pertanyaan, biasanya wanita itu akan membalas atau merenggek. Namun, kenapa kali ini dia terkesan cuek dan tak mau tahu?Zayyan sekilas melirik ke arah Zea. Pria itu tersenyum tipis sangat tipis sehingga tidak ada yang menyadarinya."Mommy, ayo suapi Daddy juga!" pinta Ar."Hah? Tapi–""Suapi aku," pinta Zayyan."Suapi?" ulang Zea tampak bingung.Tak mau menunggu Zea yang seperti orang bodoh, Zayyan langsung menuntun tangan Zea memasukan makanan ke dalam mulutnya.Hal itu sontak membuat mereka yang ada di meja makan terheran-heran. Terutama Grace dan Ruth, keduanya tampak saling melihat satu sama lain. Zayyan dan Zevanya tak pernah sedekat itu, apalagi Zayyan selalu bersikap kasar pada istrinya. Kadang sama sekali tak peduli walau wanita itu merenggek padanya.Sementara Zavier adik bungsu Zayyan dan sang ayah Leigh di sana, tampak tak peduli sama sekali pada permandangan langka di meja makan."Kau makanlah!" Kali ini giliran Zayyan yang menyuapi Zea.Ruth sampai terbatuk-batuk melihat sikap Zayyan yang manis pada istrinya. Wanita itu meneguk segelas air di atas meja untuk meredakan tenggorokannya yang gatal."Terima kasih, Kak," ucap Zea.Zayyan membalas dengan anggukan. Wanita ini sangat tak pandai berakting, jelas sudah ketahuan jika yang ada di sampingnya ini bukan sang istri. Pasalnya Zevanya tak pernah memanggil dirinya dengan panggilan kakak.Suasana meja makan tiba-tiba canggung. Hanya dentingan sendok dan garpu serta suara Ar yang terdengar berisik. Keluarga kaya itu memang memiliki kebiasaan diam saat makan dan tak ada yang berani bicara.Leigh sang kepala keluarga, seorang pengusaha yang namanya melambung tinggi, tetapi jarang berbicara. Dia tidak suka suasana makan yang ribut dan ramai. Namun, jika Ar yang bersuara dia tak berani berkomentar sebab dia begitu menyayangi cucunya itu."Mommy, lagi!""Sini, Son. Makan yang banyak supaya kau cepat besar!" seru Zea.Zea benar-benar canggung dan terkejut dengan suasana meja makan yang terasa dingin. Orang-orang yang ada di sini seperti kulkas, bahkan Grace dan Ruth menatapnya dengan sinis."Setelah makan bawa Ar ke kamarnya!" perintah Zayyan."Iya, Kak."Zea menyuapi Ar dengan cepat, supaya dia bisa segera pergi dari meja makan. Ah, sungguh rasanya Zea merasa di ujung tanduk. Pantas saja sang kakak kabur dari rumah ternyata kehidupan yang dia kira mewah itu, sungguh menyeramkan."Ayo, Son."Setelah makan Zea berpamitan membawa Ar masuk ke dalam kamar. Gadis itu menghembuskan napasnya lega ketika bisa terbebas dari suasana canggung yang terasa mencekat lehernya."Mommy kenapa?" tanya Ar memeluk leher Zea."Tidak apa-apa, Son. Kau sudah mengantuk?" Zea tersenyum sambil meletakan Ar di atas ranjang."Belum, Mom. Ar mau menonton film kesukaan Ar," ujarnya."Ayo, Mommy temani. Tapi, jangan lama-lama ya. Setelah ini Ar harus istirahat." Zea menarik hidung Ar dengan gemas."Iya, Mommy."Zea menemani putra kakaknya itu menonton film kartun kesukaannya. Sebagai seorang dokter anak yang sudah terbiasa berinteraksi dengan anak-anak, tentu Zea tak susah mengakrabkan diri dengan Ar."Mommy, Ar bahagia sekali karena ini pertama kalinya Mommy mau menemani Ar menonton!"Bersambung ...Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb