Share

Bab 02. Mommy

Rahang Zea mengeras dengan tangan yang terkepal.

"An–"

"Mommy!" teriak seorang bocah tampan berusia sekitar lima tahun berlari ke arah Zea.

"Eh!" Zea terkejut ketika bocah itu memeluk pinggangnya.

"Mommy, ke mana saja? Ar merindukan Mommy," renggeknya seraya menangis sesenggukan.

Zea menatap bocah tampan itu dengan senyuman kaku. Dia berjongkok agar menyamakan tingginya dengan sang keponakan. Wajah bocah ini sangat mirip ayahnya, bahkan seperti duplikat Zayyan kecil.

"Hai, Son. Apa kabarmu? Maafkan Mommy ya. Sini peluk Mommy!"

"Mommy."

Arzanka Kennedy Leigh, anak dari Zayyan dan Zevanya. Dia berusia 5 tahun dan begitu manja dengan sang ibu. Wajahnya tampan, tetapi sudah terlihat arogan. Sepertinya darah sang ayah mengalir dari tubuhnya sehingga membuat sikap bocah kecil itu pun tak jauh beda dari pria yang dijuluki jelmaan iblis itu.

"Mommy, jangan tinggalkan Ar lagi!" renggeknya.

"Mommy tidak akan meninggalkanmu, Son."

Zea memeluk keponakannya itu seraya mengusap punggung Ar dengan sayang. Zea tak habis pikir, apa yang membuat Zevanya kabur dari rumah meninggalkan suami dan anaknya. Padahal kehidupan mereka sangat sempurna, suaminya kaya raya dan tampan. Anaknya juga lucu dan menggemaskan. Tak ada yang kurang, lantas apa yang membuat kakaknya itu memilih pergi dari rumah?

"Kau boleh pergi!" Zayyan mengibaskan tangannya mengusir Miko.

"Baik, Tuan. Saya permisi." Miko membungkuk hormat.

Sekilas Miko melirik ke arah Zea yang masih memeluk Ar. Dia mengangguk sembari tersenyum dan berharap jika Zea bisa melakukan tugas dan tanggungjawabnya.

"Cup, cup, anak Mommy. Jangan menangis lagi ya, Son. Mommy sudah ada di sini," ujar Zea melepaskan pelukan Ar.

"Mommy." Air mata pria kecil itu meleleh di pipinya. "Jangan pergi lagi!" mohonnya.

"Iya, Son. Mommy tidak akan pergi lagi, Mommy akan di sini menjaga Ar," sahut Zea mengusap kepala Ar.

Para pelayan terheran-heran melihat sikap Zea. Pasalnya Zevanya tak pernah peduli pada anaknya, mau anaknya itu menangis atau merenggek sekalipun dia tak mau tahu sama sekali. Selagi dirinya memiliki uang dari sang suami, dia bebas melakukan apa saja dan lupa pada tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga.

"Mommy ayo makan, Ar sudah lapar!" ajak bocah kecil itu menggandeng tangan Zea.

"Hem, kau melupakan Daddy, Son?" sindir Zayyan yang sedari tadi berdiri menatap kedua orang itu.

"Daddy, gendong!" Ar mengulurkan tangannya pada Zayyan, agar sang ayah menggendong tubuh kecilnya.

"Tentu!" Zayyan mengangkat tubuh putranya itu. "Ayo kita makan!"

Zea tampak bingung, apa yang harus dia lakukan? Rasanya kaku sekali melihat wajah dingin Zayyan. Dia jarang bertemu kakak iparnya itu karena setelah menikah dia dan Zevanya seperti putus kontak.

"Mommy, kenapa diam saja?" tanya Ar. "Ayo, gandeng tangan Daddy!" seru Ar.

"Hah?!" Zea baru tersadar dari lamunannya.

"Ayo!"

Zayyan menggandeng tangan Zea. Sontak saja wanita itu terkejut, dia hendak menolak. Namun, tangan Zayyan mengenggamnya dengan erat. Degup jantung berdebar dan keringat dingin membasahi dahinya. Bukan terbawa perasaan, tetapi dia takut jika lelaki ini menyadari bahwa dirinya bukan Zevanya.

Mereka berjalan ke arah meja makan. Ar terus saja berceloteh, sangat jarang kedua orang tuanya bergandengan tangan seperti ini, kecuali ada acara-acara besar.

Di meja makan tampak keluarga besar sudah menunggu.

"Akhirnya kau pulang juga, Zevanya?" sindir ibu tiri Zayyan — Grace.

"Dia tidak menemukan rumah makanya kembali ke sini," sambung adik tiri Zayyan — Ruth.

"Ak–"

"Duduklah!" Zayyan menarik wanita itu agar duduk di kursi sampingnya.

"Iya."

"Mommy, Ar mau disuapin sama Mommy!" pinta Ar menampilkan wajah menggemaskannya.

"Baiklah, Mommy akan menyuapimu," ujar Zea.

Grace dan Ruth saling melihat satu sama lain. Kenapa Zion jadi berubah? Biasanya wanita itu acuh tak acuh pada anaknya. Tadi, ketika Grace dan Ruth menyerang Zevanya dengan berbagai pertanyaan, biasanya wanita itu akan membalas atau merenggek. Namun, kenapa kali ini dia terkesan cuek dan tak mau tahu?

Zayyan sekilas melirik ke arah Zea. Pria itu tersenyum tipis sangat tipis sehingga tidak ada yang menyadarinya.

"Mommy, ayo suapi Daddy juga!" pinta Ar.

"Hah? Tapi–"

"Suapi aku," pinta Zayyan.

"Suapi?" ulang Zea tampak bingung.

Tak mau menunggu Zea yang seperti orang bodoh, Zayyan langsung menuntun tangan Zea memasukan makanan ke dalam mulutnya.

Hal itu sontak membuat mereka yang ada di meja makan terheran-heran. Terutama Grace dan Ruth, keduanya tampak saling melihat satu sama lain. Zayyan dan Zevanya tak pernah sedekat itu, apalagi Zayyan selalu bersikap kasar pada istrinya. Kadang sama sekali tak peduli walau wanita itu merenggek padanya.

Sementara Zavier adik bungsu Zayyan dan sang ayah Leigh di sana, tampak tak peduli sama sekali pada permandangan langka di meja makan.

"Kau makanlah!" Kali ini giliran Zayyan yang menyuapi Zea.

Ruth sampai terbatuk-batuk melihat sikap Zayyan yang manis pada istrinya. Wanita itu meneguk segelas air di atas meja untuk meredakan tenggorokannya yang gatal.

"Terima kasih, Kak," ucap Zea.

Zayyan membalas dengan anggukan. Wanita ini sangat tak pandai berakting, jelas sudah ketahuan jika yang ada di sampingnya ini bukan sang istri. Pasalnya Zevanya tak pernah memanggil dirinya dengan panggilan kakak.

Suasana meja makan tiba-tiba canggung. Hanya dentingan sendok dan garpu serta suara Ar yang terdengar berisik. Keluarga kaya itu memang memiliki kebiasaan diam saat makan dan tak ada yang berani bicara.

Leigh sang kepala keluarga, seorang pengusaha yang namanya melambung tinggi, tetapi jarang berbicara. Dia tidak suka suasana makan yang ribut dan ramai. Namun, jika Ar yang bersuara dia tak berani berkomentar sebab dia begitu menyayangi cucunya itu.

"Mommy, lagi!"

"Sini, Son. Makan yang banyak supaya kau cepat besar!" seru Zea.

Zea benar-benar canggung dan terkejut dengan suasana meja makan yang terasa dingin. Orang-orang yang ada di sini seperti kulkas, bahkan Grace dan Ruth menatapnya dengan sinis.

"Setelah makan bawa Ar ke kamarnya!" perintah Zayyan.

"Iya, Kak."

Zea menyuapi Ar dengan cepat, supaya dia bisa segera pergi dari meja makan. Ah, sungguh rasanya Zea merasa di ujung tanduk. Pantas saja sang kakak kabur dari rumah ternyata kehidupan yang dia kira mewah itu, sungguh menyeramkan.

"Ayo, Son."

Setelah makan Zea berpamitan membawa Ar masuk ke dalam kamar. Gadis itu menghembuskan napasnya lega ketika bisa terbebas dari suasana canggung yang terasa mencekat lehernya.

"Mommy kenapa?" tanya Ar memeluk leher Zea.

"Tidak apa-apa, Son. Kau sudah mengantuk?" Zea tersenyum sambil meletakan Ar di atas ranjang.

"Belum, Mom. Ar mau menonton film kesukaan Ar," ujarnya.

"Ayo, Mommy temani. Tapi, jangan lama-lama ya. Setelah ini Ar harus istirahat." Zea menarik hidung Ar dengan gemas.

"Iya, Mommy."

Zea menemani putra kakaknya itu menonton film kartun kesukaannya. Sebagai seorang dokter anak yang sudah terbiasa berinteraksi dengan anak-anak, tentu Zea tak susah mengakrabkan diri dengan Ar.

"Mommy, Ar bahagia sekali karena ini pertama kalinya Mommy mau menemani Ar menonton!"

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wati Fasia
Next lagi dong Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status