Syera bertingkat kaget mendengar pintu yang tertutup dengan suara nyaring. Setelah memastikan jika Tama telah pergi, ia baru berani mengubah posisinya. Pelan-pelan wanita itu bangkit dengan bibir meringis karena tubuhnya terasa remuk redam. Alih-alih langsung beranjak dari ranjang, Syera malah sengaja mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Manik matanya kembali berkaca-kaca karena tak sengaja melirik bercak darahnya yang mengotori seprei. Netranya bergulir menatap pakaiannya yang berceceran di mana-mana dengan kondisi terkoyak. Syera memejamkan matanya sembari menghela napas berat. Setetes cairan bening kembali lolos dari matanya yang membengkak. Ia membiarkan air matanya kembali mengalir dan membasahi wajahnya. Hidupnya yang telah lama hancur semakin hancur karena peristiwa semalam. “Sampai kapan kamu akan menangis di sini? Berharap ada orang yang ada dan mengasihani dirimu?” sindir Tama yang kembali datang dengan sebuah paper bag di tangannya. “Cepat pakai itu dan buang b
Syera tak sempat menarik tangannya ketika Viandra sengaja melukai lengannya sendiri menggunakan pecahan cangkir itu. Darah segar sudah mengalir dari tangan wanita itu yang tersayat cukup dalam saat orang-orang mulai berdatangan. Viandra sengaja menjatuhkan lututnya di lantai sembari menjerit kesakitan. Syera menatap Viandra dengan sorot tak percaya, tidak menyangka wanita itu akan memfitnah dirinya dengan drama menjijikkan. Wajahnya berubah merah padam, menahan amarah yang perlahan mulai menyelimuti dadanya. “Aku tidak melakukan apa pun! Aku tidak melukaimu!” pekik Syera dengan napas memburu. “Kamu sendiri yang memecahkan cangkir itu! Jangan memfitnahku! Jelas-jelas kamu yang melukai tanganmu sendiri!”“Kamu pikir orang gila mana yang akan mempercayaimu, hah?! Aku tidak mungkin melukai diriku sendiri! Setelah membunuh sepupuku, apa sekarang kamu juga ingin menghabisiku?” balas Viandra setengah membentak dengan air mata yang sudah bercucuran. Berbagai tatapan tertuju pada Syera.
Syera hanya bisa pasrah di posisinya dan membiarkan Tama melakukan apa pun yang lelaki itu inginkan sesuka hati. Tama tidak memperlakukan dirinya dengan kasar seperti tempo hari, namun tetap saja Syera tak kuasa untuk sekadar memberontak. Tama berhasil membuat Syera berdiri pasrah dengan posisi yang kurang menguntungkan untuk memberontak. Tiba-tiba wanita itu merasakan sesuatu yang asing dan membuatnya tersentak sebelum kembali lunglai. Syera sontak membuka mata ketika tak merasakan sentuhan lelaki itu lagi. Wajahnya semakin merona melihat Tama yang sudah kembali berdiri di hadapannya dan kini sedang menatapnya. Wanita itu spontan mengalihkan pandangan dan berdeham pelan. Buru-buru ia meraih handuknya yang teronggok di lantai dan segera mengenakan benda itu dengan benar. Sebelah sudut bibir Tama terangkat. Lelaki itu maju selangkah, sengaja mempertipis jarak di antara dirinya dan Syera. “Ini adalah hukuman karena kamu berani berpenampilan seperti ini di depanku. Diam di sini, j
Penolakan Tama membuat atmosfer yang melingkupi kamar Elvina langsung memanas. Syera yang tidak ingin ikut campur memilih berpura-pura tidak mendengar dan menggendong Elvina yang menangis. Tampaknya bayi itu juga tak ingin pergi ke mana-mana. “Apa? Tidak boleh? Kamu pikir kamu bisa melarang Mama membawa cucu Mama sendiri? Kamu tidak boleh egois, Tama! Mama juga berhak mengasuh Elvina. Apalagi kalau kamu terus mempertahankan pembunuh itu di sini, lebih baik Elvina tinggal bersama Mama!” tegas Bianca yang mulai tersulut emosi. Tama memijat pelipisnya yang berdenyut. “Ma, aku tidak melarang. Tapi, sebelum aku menemukan kejelasan tentang kecelakaan Kirana, aku tidak mau Elvina lepas dari pengawasanku. Mama bisa mengasuhnya di sini.”Syera yang diam-diam mencuri-curi pandang sontak memalingkan wajah ketika Tama melirik ke arahnya. Berpura-pura kembali mengajak Elvina mengobrol, padahal tengah menajamkan telinga dan mendengarkan pembicaraan orang-orang di dekatnya. Syera cukup terkej
Syera duduk bersebrangan dengan Tama nyaris menyemburkan air minumnya saat mendengar jawaban enteng lelaki itu. Bukan hanya petugas kapal di hadapan mereka yang terkejut, tetapi juga beberapa rekannya yang berada di dekat sana. Tidak banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka. Terlebih, di tempat ini ada lebih banyak karyawan keluarga Tama yang bekerja di kantor ataupun tempat lainnya. Sudah jelas mereka tidak mungkin mengetahui pernikahan Tama dan Syera. Syera berdeham keras, sengaja menginterupsi Tama agar segera meralat kalimat yang terlontar dari mulut lelaki itu sebelumnya. Namun, sang empunya malah bersikap santai, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun, dan hanya meliriknya sekilas. “Aku tidak masalah satu kamar dengan karyawan lain kalau pemilik kamarnya juga tidak keberatan.” Karena Tama tidak bisa diajak berkompromi, Syera memutuskan membuka suara. “Bisa tolong tunjukkan di mana kamarnya? Aku harus menyimpan barang-barangku.” Sedari tadi Syera sudah menahan malu ka
Syera yang sudah tersulut emosi, tanpa sadar langsung mendorong wanita berseragam pelayan di hadapannya itu. Ia mengedarkan pandangan, menatap tajam orang-orang yang sedari tadi begitu asyik menggunjingkan dirinya. “Kalau kalian tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, lebih baik diam dan jangan asal menuduh!” tegas Syera dengan wajah mengeras. Syera tak ingin melakukan ini kalau saja mereka tidak menguji kesabarannya hingga ke ambang batas. Sedari tadi ia sudah mencoba bersabar dan menulikan pendengarannya. Akan tetapi, mereka terus saja berkicau seolah-olah dirinya tidak berada di sini. Syera sengaja ingin menyibukkan diri di sini karena tak bisa tidur lagi. Namun, sepertinya ia salah memilih tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak terlalu bagus malah semakin kacau. Bahkan, orang-orang yang ada di sini lebih berani mengatai dirinya dibanding para pelayan di kediaman Tama. “Justru karena kami tahu, makanya kami berbicara seperti itu,” jawab wanita yang berdiri di samp
Mual yang menderanya tiba-tiba menguap tak bersisa. Pertanyaan Tama berhasil membuat Syera membeku. Namun, sepersekian detik kemudian wanita itu kembali menetralkan ekspresinya. “Kenapa Tuan bertanya seperti itu?” Diam-diam Syera kembali mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia sedikit lega menyadari hanya mereka saja yang berada di sana. Semoga benar-benar tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka. Karena itu bisa menimbulkan banyak spekulasi negatif. Pertanyaan yang Tama berikan sukses menyentil sudut hati Syera. Ia baru ingat kalau hingga saat ini dirinya belum mendapat tamu bulanannya. Tetapi, Syera tak ingin berpikir macam-macam. Mungkin saja tamu bulanannya sedikit terlambat datang karena dirinya kelelahan. Di tengah kekhawatiran yang perlahan-lahan mulai menggerayanginya, Syera berusaha meyakinkan diri jika tidak akan ada yang terjadi padanya. Gejala yang ia alami saat ini hanyalah karena masuk angin dan kelelahan, bukan karena alasan lain. “Kamu tidak mungkin melupaka
Syera membuka matanya perlahan-lahan, samar-samar garis yang tertera pada alat tes kehamilan itu mulai terlihat. Tentu saja ia sangat berharap hanya ada satu garis di sana. Namun, tampaknya semesta sedang tidak berpihak padanya. Dua garis berwarna merah itu terpampang jelas di depan matanya. Syera spontan membekap mulutnya yang nyaris memekik. Kakinya mendadak lemas hingga tubuhnya meluruh di lantai toilet yang dingin. Setetes cairan bening lolos dari manik matanya yang menatap nanar benda pipih di tangannya itu. “Ti-tidak mungkin! Kenapa harus seperti ini?” gumamnya lirih. Meskipun belum memiliki pengalaman, Syera tahu apa artinya dua garis yang melintang pada alat tes kehamilan itu. Dirinya hamil. Peristiwa malam itu meninggalkan satu nyawa di rahimnya. Betapa bodohnya ia tidak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya. Seharusnya Syera lebih cepat melakukan pencegahan dengan cara apa pun. Sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi. Wanita itu meremas piyama tidurnya sembari mena