MasukEvelyn membuka koper untuk mencari handuk yang telah ia bawa dari rumah. Ada tiga koper miliknya yang tergeletak tidak menentu di dalam kamar milik Vernon. Wanita itu terlihat sangat tenang setelah mengobarkan bendera perang pada mantan iparnya itu. Meski kini jantungnya masih belum bisa dikendalikan, tapi ia berusaha agar bisa tetap terlihat tenang.
Vernon tidak bisa berkata-kata, ia hanya menatap dengan tajam sembari melipat tangan di dada. “Mau apa kau?” Vernon terlihat panik ketika Evelyn mulai membuka kancing piama. Evelyn menoleh, lalu tersenyum menyeringai. “Kau ingin membukakan kancing bajuku?” Wanita itu tersenyum menggoda. Dalam hati ia bersorak gembira, merasa menang melihat ekspresi yang tergaris di wajah suaminya itu. “Jangan kurang ajar kamu!” Vernon berucap dengan kasar, ia meraih seragam yang tergeletak di atas ranjang, lalu bergegas keluar kamar. Ia memilih untuk mengalah, daripada menyaksikan wanita itu melepas pakaian di hadapannya. Akhirnya tawa Evelyn terdengar menggelegar di dalam kamar. Ia merasa puas melihat kepanikan di wajah lelaki yang ia benci itu. Wanita pemilik mata hazel itu merasa menang, sebab ia tahu apa kelemahan Vernon sekarang. Evelyn menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding kamar. Sudah pukul 06.15 pagi. Ia harus bergegas untuk siap-siap agar tidak terlambat berangkat kerja. Apalagi ia harus mengurus Joy nanti setelah ia siap mengurus diri sendiri. **** Setelah lima belas menit berada di dalam kamar mandi, Evelyn keluar dengan handuk yang melilit di badan. Ia tidak keramas pagi ini, sebab merasa tidak punya cukup waktu untuk mengeringkan rambut. Kulit wanita itu terlihat sangat bersih, karena ia sangat peduli pada penampilan dan sering melakukan perawatan. Tiga buah koper itu Evelyn bongkar untuk mencari barang-barang miliknya. Kamar menjadi berantakan, sebab ia meletakkan barangnya begitu saja di mana-mana. Tidak kembali memasukkan ke dalam koper ataupun menyusun barang-barangnya ke dalam lemari. Tidak ada seragam resmi di tempat ia bekerja. Asal sopan dan enak dilihat. Evelyn mengenakan dress lengan panjang berwarna putih sepanjang lutut dengan outer tanpa lengan berwarna krem. Rambutnya ia biarkan tergerai. Make up tipis tidak lupa ia poleskan ke wajah. Cantik. Wanita itu benar-benar cantik meskipun penampilannya kali ini terkesan sangat sederhana. Setelah merasa sempurna, Evelyn keluar dari kamar seraya membawa berkas-berkas yang diminta oleh bosnya. Evelyn berpapasan dengan Vernon di luar kamar. Ternyata lelaki itu sejak tadi menunggu di sana, menanti Evelyn keluar kamar agar ia bisa masuk. Tidak ada percakapan apa pun ketika mereka beradu pandang. Hanya tatapan sinis sebagai kode bahwa mereka tidak akan pernah berteman. Evelyn hanya tersenyum dan terus melangkah turun menuju kamar Joy. Vernon terbelalak ketika memasuki kamar miliknya. Bagaimana tidak, ia yang begitu memuja kebersihan dan kerapian, kamarnya dibuat berantakan seperti itu. Wajah lelaki itu memerah, ia sangat kesal. Kehadiran Evelyn yang baru satu hari di rumah ini sudah membuat dirinya merasa sangat tidak nyaman. Ia menyeringai, mengepalkan tangan dan berjanji akan membuat Evelyn menyerah dan memilih untuk mundur. Amarah Vernon sudah melewati batas. Ia kumpulkan semua barang milik Evelyn, lalu membuangnya ke dalam kamar mandi dengan shower menyala. Vernon mengempaskan pantat di tepian ranjang, ia meraih foto Inara yang tergelatak di atas nakas. Setelah lima tahun, ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa wanita itu telah tiada. Ia merasa bahwa istrinya masih berada di sisinya. Ia selalu merasa kehadiran wanita itu di sana. “Aku merindukanmu.” Vernon berucap dengan mata berkaca-kaca. Rindu di hati membuat ia tersiksa. Ia peluk foto wanita yang sangat ia cintai itu, kemudian menangis karena terlalu merindu. Andai ia diberi kesempatan untuk mengulang waktu, takkan ia tinggalkan istrinya barang sedetik pun waktu itu. Ia menyesal. Sungguh. Harusnya ia ada ketika Inara akan melahirkan. Vernon tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. Luka itu masih saja terasa sakit. Sayatan akibat kehilangan sang istri masih saja menganga hingga kini. Tidak ada obat yang mampu menjahit luka itu. Vernon menangis dengan dada yang terasa sesak. Wajahnya memerah karena tangis yang parah. Orang-orang mengenalnya sebagai lelaki tanpa hati karena selalu memasang wajah datar dan tidak bersahabat. Namun, pada faktanya ia memiliki hati yang lemah. Cintanya pada Inara telah membuat dirinya hidup tanpa matahari. Kehilangan wanita itu membuatnya hidup dalam kegelapan sepanjang waktu. Pintu terbuka secara mendadak. Vernon mengusap wajah dengan kasar. Ia letakkan foto Inara kembali ke atas nakas, lalu bangkit berdiri secepat kilat. Ia berjalan menuju lemari, membuka salah satu pintu untuk menutupi wajahnya dari wanita itu. “Ketuk pintu sebelum masuk kamar orang.” Vernon berucap dengan nada tidak bersahabat. Evelyn tidak ingin menanggapi kalimat itu. Sebab, ia tengah terburu-buru. Ada satu design miliknya yang kurang. Sementara ia sudah memastikan bahwa ia sudah men-desaign semua permintaan. Evelyn mencari-cari di seluruh sudut ruangan. Ia merasa ada yang beda, sebab tidak menemukan barang-barangnya sama sekali. Ia membuka koper, mungkin lupa jika ia telah kembali memasukkannya ke sana. Namun, ketiga koper miliknya kosong. Tidak ada isi sama sekali. “Di mana barang-barangku?” Akhirnya ia bertanya pada lelaki itu. Vernon tidak menjawab. Ia terdiam di balik pintu lemari yang terbuka. Ia tidak melakukan apa pun di sana, hanya mencoba untuk menyembunyikan mata sembabnya dari Evelyn. “Ayolah! Aku butuh barang-barangku.” Evelyn terdengar hampir pasrah. “Masuklah ke dalam kamar mandi dan kau akan tahu jawabannya.” Vernon menjawab dengan wajah datar. Ia menutup lemari, kemudian bergegas keluar kamar dengan wajah yang tidak ingin dilihat oleh Evelyn. Evelyn mengerutkan kening. Heran dengan jawaban Vernon, tapi tetap melakukan apa yang lelaki itu minta. Seketika Evelyn membatu setelah membuka pintu kamar mandi. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia terbelalak. Untuk beberapa saat ia hanya bisa terdiam kaku menatap semua barangnya tergeletak di bawah shower dengan air yang terus mengguyur. Detik berikutnya wanita itu tertawa frustrasi. Tidak percaya bahwa Vernon lebih kejam dari yang selama ini ia bayangkan. “Aarght! Tunggu pembalasanku, Sialan!” Evelyn berteriak frustrasi. Ia tidak percaya jika suaminya akan melakukan hal seburuk itu. Ia bahkan baru meninggalkan barangnya sebentar saja, tapi sudah dibuang seolah tidak ada harganya. Rahang Evelyn mengeras, giginya gemeretak. Akan ia terima genderang perang yang dimulai oleh Vernon di antara mereka. Tidak akan ia kibarkan bendera putih untuk menyerah. Ia akan berusaha sekuat tenaga membuat Vernon bertekuk lutut di hadapannya. Memohon maaf dan mengemis cinta agar diperlakukan layaknya suami pada umumnya.Ponsel Evelyn berdering sejak tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan respons apa pun. Wanita itu membiarkan begitu saja ponselnya berbunyi hingga mati sendiri karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Waktu telah menunjukkan pukul 21.00 kini, tapi ia belum menginjakkan kaki ke rumah Vernon sepulang dari kantor. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Ada banyak hal yang membuatnya pusing dan stress jika dipikirkan. Hingga akhirnya Evelyn memutuskan untuk mengunjungi bar sekadar minum beberapa gelas alkohol agar ia bisa sedikit lebih tenang. Baru dua gelas saja, kepala Evelyn langsung terasa sakit. Ia merasa pusing, dan mulai mabuk. Sementara ia telah sering mencoba minuman itu, tapi selalu saja memberikan efek yang sama untuk dirinya. Ia selalu kalah dalam gelas kedua. Sebelum mabuknya semakin parah, Evelyn memutuskan untuk pulang. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada dirinya hingga ia masuk ke dalam taksi dengan aman. Taksi melaju dengan kecepatan tinggi menuju alamat ya
Evelyn bangkit berdiri seraya membereskan semua berkas yang harus ia tunjukkan pada Barra. Jantung wanita itu tidak bisa dinormalisasikan sejak tadi. Pikirannya tengah berada entah di mana. Ia benar-benar stress memikirkan jalan hidupnya mengingat ucapan sang teman yang mengatakan bahwa Barra tengah mencari istri. “Semangat, Lyn! Barang kali entar dilamar.” Fani memberikan candaan yang disambut tawaan oleh orang sekitar. Sementara Evelyn hanya bisa tersenyum seraya menunduk malu. Dengan dada yang berdebar tidak karuan, Evelyn berjalan menuju ruang di mana Barra berada. Lelaki itu telah menunggu di sana. Senyum lelaki itu langsung menyambut setelah Evelyn mengetuk pintu dan masuk. Melihat senyum manis itu, Evelyn semakin gugup. Ia sangat membenci jika berada dalam situasi seperti ini, sebab kegugupannya terlihat dengan sangat jelas. “Saya minta maaf, Tuan.” Evelyn langsung menyuguhkan kata maaf seraya menyerahkan lembaran-lembaran berisi design miliknya. “Untuk?” Barra mengerutkan
“Papa mana?” Evelyn bertanya pada Joy yang tengah sarapan seorang diri di ruang makan. Wanita itu masih belum bisa memaafkan sikap Vernon yang menurutnya sudah sangat keterlaluan. Bukan hanya pakaiannya yang basah, tapi barangnya yang lain juga. Terlebih design-design yang sudah dengan susah payah ia gambar. Apalagi salah satunya harus diserahkan pagi ini. “Sudah berangkat kerja.” Joy menjawab dengan ceria. Gadis kecil itu tampaknya sudah biasa tidak diberi perhatian oleh Vernon. Evelyn hanya bisa menarik napas dalam. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Joy, lalu meraih roti dan mengoleskannya dengan selai. “Bi, nanti tolong bereskan kamar mandi Vernon, ya. Baju-baju saya bawa saja ke loundry.” Evelyn merogoh tas, lalu menyerahkan dua lembar uang seratus ribu. Wajah Evelyn tampak kusut. Ia memijit pelipis atas karena merasa sangat pusing. Selama ini kinerjanya selalu diberikan pujian, karena hasilnya yang selalu sesuai harapan. Namun, hari ini alasan apa yang akan ia berikan? Sal
Evelyn membuka koper untuk mencari handuk yang telah ia bawa dari rumah. Ada tiga koper miliknya yang tergeletak tidak menentu di dalam kamar milik Vernon. Wanita itu terlihat sangat tenang setelah mengobarkan bendera perang pada mantan iparnya itu. Meski kini jantungnya masih belum bisa dikendalikan, tapi ia berusaha agar bisa tetap terlihat tenang. Vernon tidak bisa berkata-kata, ia hanya menatap dengan tajam sembari melipat tangan di dada. “Mau apa kau?” Vernon terlihat panik ketika Evelyn mulai membuka kancing piama. Evelyn menoleh, lalu tersenyum menyeringai. “Kau ingin membukakan kancing bajuku?” Wanita itu tersenyum menggoda. Dalam hati ia bersorak gembira, merasa menang melihat ekspresi yang tergaris di wajah suaminya itu. “Jangan kurang ajar kamu!” Vernon berucap dengan kasar, ia meraih seragam yang tergeletak di atas ranjang, lalu bergegas keluar kamar. Ia memilih untuk mengalah, daripada menyaksikan wanita itu melepas pakaian di hadapannya. Akhirnya tawa Evelyn terdeng
“Kau tidur di kamar Joy saja.” Vernon berucap dengan dingin. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali pada wanita yang baru saja ia nikahi itu. Evelyn Arabella. Nama wanita cantik yang tengah berdiri dengan bingung di samping ranjang milik Vernon. Ia memeluk guling dengan erat, mengerutkan kening mendapatkan kalimat perintah seperti itu. Mungkin mereka memang belum bisa menerima satu dengan yang lain. Namun, tidur di kamar Joy bukanlah solusi yang baik. Anak itu akan banyak bertanya mengapa maminya tidak tidur dengan papanya. Lalu, besok anak itu akan menjawab dengan jujur ketika ditanya oleh omanya. “Apa kau tuli?” Lelaki itu bertanya dengan datar, tapi terdengar sangat menusuk oleh Evelyn. Sesungguhnya mereka sama-sama tersiksa dengan perjodohan ini. Evelyn hanya diam. Ia menatap lelaki yang berstatus kakak iparnya itu dalam beberapa tahun ini, lantas kini berubah status menjadi suami. Vernon berbalik, menatap Evelyn yang masih berdiri dengan tenang di sisi kiri ranjang. Ia menatap