Sebuah nomor ponsel tak dikenal menelpon Rania beberapa kali. Dia pun menatap nomor ponsel itu dengan aneh. Pasalnya nomor itu telah menelpon Rania sebanyak lima kali. Karena penasaran Rania pun langsung kembali menelpon nomor ponsel itu, siapa tahu saja ada yang penting sampai nomor itu menelponnya sebanyak lima kali.
"Hallo … " sapa Rania ketika teleponnya tersambung. "Rana … ini aku Abrisam. Bisa kita ketemu? Aku ingin mengenal kamu jauh lebih dalam lagi." Rania menatap Adhitama dengan nanar, jika dia meninggalkan Adhitama lalu siapa yang akan menjaga ayahnya? Wanita itu hendak menolak, karena dia harus menjaga ayahnya. Tapi ketika melihat pintu rumah sakit di bila begitu lebar, dan masuklah Rana. Tentu saja Rania langsung mengatakan iya pada Abrisam. Dia bisa menemui Abrisam saat ini juga, dan meminta Abrisam untuk menyebutkan tempatnya. Masalah pernikahannya itu, Adhitama menolaknya. Dia tidak setuju jika Rania harus menggantikan posisi Rana. Tapi Rania mencoba membuat Adhitama mengerti, jika bukan karena Rana. Mungkin ayahnya itu tidak bisa di operasi. Bukannya berterima kasih, Adhitama harus memilih mati jika harus menatap putri kecilnya menderita. Memangnya menjadi istri pengganti itu enak? Tidak ada yang enak sama sekali, apalagi Rania menikah dengan orang buta. Walaupun kaya, tapi tetap saja Adhitama tidak suka. Itu tandanya Rania akan menjadi tulang punggung pria itu. Padahal Adhitama menginginkan menantu yang sempurna, yang bisa menjaga dan juga melindungi Rania. Bisa membuat Putri kecilnya itu bahagia lahir dan batin. Namun … hal itu harus ditelan mentah-mentah oleh Adhitama ketika mendengar ciri-ciri pria yang akan menikah dengannya. Tapi tidak masalah, jika Rania mampu menjalani hidupnya dengan baik. Apapun keputusan wanita itu Adhitama akan mendukungnya. "Rana titip Ayah ya. Aku harus nemuin Abrisam dulu." kata Rania. "Hmm, cepet!!" Rania mengangguk kecil, dia akan cepat menyelesaikan tugasnya untuk bertemu dengan Abrisam. Setelah itu kembali ke rumah sakit dan menjaga Ayahnya. Mengendarai taksi online, Rania pun duduk dengan gugup. Rana tidak mengatakan apapun pada Rania untuk apa Abrisam mengajaknya bertemu. Dia hanya takut salah bicara, dan membuat Abrisam menyadari jika yang menikah dengan dirinya bukanlah Rana melainkan Rabia. Membutuhkan waktu lima belas menit, Rania pun sampai di sebuah cafe pinggiran kota. Wanita itu segera masuk dan mencari keberadaan Abrisam, yang ternyata duduk di kursi seorang diri. Ah tidak!! Disana juga ada Bagas hanya saja jarak duduk mereka cukup jauh. Jadi Bagas itu cuma mengawasi Abrisam saja, tidak membutuhkan seauatu kata Abrisam. Pria itu hanya perlu mengangkat jari kelingkingnya, dan Bagas akan tahu apa yang diinginkan Abrisam. "Mas Abri maaf terlambat, tadi agak macet." kata Rania ketika sampai di depan Abrisam. Pria itu mengangkat satu tangannya untuk mencari keberadaan Rania. Tentu saja Rania langsung mengulurkan tangannya ke arah Abrisam, dan duduk di depan pria itu. "Maaf ya Mas." "Nggak papa kok. Aku juga baru datang tadi." jawab Abrisam. Dengan mengangguk kecil, Rania pun menggulung rambutnya. Toh, Abrisam juga tidak akan tahu apa yang dilakukan Rania. Dan pria itu juga tidak akan tahu, apa yang dipakai oleh Rania. Baju lusuh miliknya, yang menurut Rania sangat bagus. "Mas Abri udah pesen sesuatu?" Abrisam menggeleng. Dia belum memesan apapun sejak dia datang. Karena Abrisam tengah menunggu Rania dalam lebih dulu, barulah Abrisam baru memesan makan. Lagian Abrisam juga tidak tahu, makanan kesukaan Rania. Itu sebabnya dia lebih baik menunggu Rania datang daripada salah memesan makanan. "Kalau aku orangnya nggak suka makanan yang terlalu pedas. Kalau Mas Abri sukanya apa?" ucap Rania dan mengembalikan buku menu, ketika sudah memesan sesuatu. "Aku … apapun aku makan. Aku suka semua makanan, kecuali yang berbau santan." Rania memesan beberapa menu makanan, yang tidak bersantan dan juga pedas. Selama menunggu, Rania juga sesekali membenarkan cepolan rambutnya yang sedikit berantakan. "Mas Abri kenapa sih ngajakin aku ke sini? Kayaknya nggak cuma buat kenalan aja kan?" tanya Rania. Sejak berangkat dari rumah sakit, itu yang dia pikirkan di dalam otaknya. Jika Abrisam tidak mungkin mengajak Rania bertemu, hanya untuk berkenalan saja. Sedangkan sejauh ini hubungan yang dilandasi kebohongan, berjalan begitu lancar sesuai kemauan Rana. Abrisam sendiri langsung menggunakan jari kelingkingnya, sehingga membuat Bagas segera datang dengan banyak kotak di tangannya. Tentu saja hal itu langsung membuat Rania bingung seketika. "Aku ngajakin kamu kesini, buat ukur cincin pernikahan kita. Aku nggak tau ukuran jari kamu, dan juga model apa yang kamu suka. Makanya aku minta kamu datang, buat nentuin pilihan cincin pernikahan kita. Kamu tahu sendiri kan kalau aku … " "Iya aku tahu." sela Rania cepat sebelum Abrisam melanjutkan ucapannya. Dia tidak ingin mendengar apapun, tentang Abrisam dan segala kekurangannya. Jika Rania sudah menyetujui apa yang dia mulai, maka dia akan menerima apapun konsekuensinya dan juga keadaannya. "Iya kamu pilih ya, sesuai kesukaan kamu aja." Rania tersenyum kecil, dia pun menatap banyak model cincin di hadapannya. Terlihat sangat mewah, mahal dan elegan. Sayangnya, pilihan Rania jatuh pada satu cincin berwarna putih dengan lempengan yang tidak begitu besar, cincin yang memiliki satu mata biru yang terlihat sangat cantik. Cincin yang paling sederhana diantara banyak cincin. Dengan senyum manisnya, Rania menatap cincin itu dengan memuja. "Aku pilih ini. Cincinnya cantik, ada warna birunya." ucap Rania mengusap permata cincinnya. Biru adalah warna kesukaan Rania. Yang baginya, apapun masalahnya, apapun rintangannya, selalu ada cahaya terang di setiap langkahnya.Grace mengepalkan tangannya setelah tahu kebenarannya. Dia marah da dia murka, dia merasa dibohongi sama anak kemarin sore yang dibesarkan mati-matian. Grace berharap semuanya bisa berubah lebih baik, ternyata dia kecolongan. Ya Grace sudah tahu yang saat ini menikah dengan Abrisam adalah Rania bukan Rana. Dan wanita siaan itu malah menikmati hidup bebas nya di kanada bersama dengan pria asing yang saat ini tinggal dengannya. Yang dimana Grace sedang melakukan perjalanan bisnis ke kanada dan tak sengaja bertemu dengan mereka. Terkejut? Tentu saja iyaaa. Grace sangat terkejut dan marah pada Rana, bisa-bisanya dia kecolongan karena hal ini. Dan bodohnya Grace kenapa dia tidak curiga akan hal ini, dan kenapa juga dia tidak bisa membedakan Rania dan juga Rana. “Sial!!” umpat Grace terang-terangan.David yang di sampingnya pun mendengus. “Harusnya ini tidak menjadi masalah Grace, yang penting perusahaan ini masih berjalan dengan lancar.”Tapi tetap saja Grace
“Waktu itu apa?” Bagas gelagapan dia pun memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat agar mereka tidak salah paham lagi. Hanya saja waktu itu memang membuat Bagas sedikit shock dengan pengakuan Leon. Yang dimana pria itu mengaku menyukai Rania dan mengiming-iming akan memberikan apapun yang Rania mau, dari perusahaan, rumah mewah, kehidupan yang layak dan juga apapun yang Rania inginkan. Itu bukan ketertarikan semata tapi Leon benar-benar ingin memiliki Rania seutuhnya, bukan macam Claudya yang hanya dimanfaatkan Leon untuk menghancurkan abrisam. Dan sayangnya setelah mendapatkan Claudya yang gila harta dan juga kedudukan, Leon langsung membuang Claudya begitu saja. Tapi dengan Rania … Leon sangat berbeda, benar-benar berbeda. Jika dia menginginkan Rania untuk menghancurkan Abrisam kembali itu tidak mungkin, karena menurut Bagas pria itu berubah dan berbeda. Dia tidak terobsesi meskipun dia ingin, hanya saja Leon ingin kedekatanya dengan Rania secara terang-terangan.“Maksudnya?
Sesampainya di rumah Rania dan Abrisam masuk lebih dulu meninggalkan Kara dan juga Bagas yang sibuk mengeluarkan koper besar milik Kara. Pria itu hanya diam saja tidak mengatakan apapun semenjak Kara pulang. Dan hal itu tentu saja menambah kejengkelan Kara disini, bisa tidak ya senyum sedikit saja atau mungkin mau bilang sesuatu apa yang terjadi di masa lalu? Tidak!! Mengharapkan manusia batu bicara itu sama halnya dengan menunggu ayam beranak hingga puluhan anaknya. Setelah menurunkan kopernya, Kara lebih dulu berjalan menuju kamarnya sambil memainkan ponselnya. Sedangkan Bagas hanya bisa memperhatikan apa yang wanita itu lakukan dengan ponselnya hingga tersenyum dan tertawa. Bahkan jarinya begitu lincah membalas pesan seseorang dan kembali tersenyum. Membanting pintu kamarnya Kara terkejut bukan main, dia membalik badannya dan menatap Bagas yang sudah berdiri di depan pintu dengan tangan kekarnya. Kara menelan ludahnya, dia pun mundur beberapa langkah sampai la
“Mulai besok antar makan siang ke kantor untukku.” kata Abrisam.Bagas menoleh menatap Rania dan tersenyum. “Aku juga mau. Boleh bawakan aku satu?” Disini Abrisam mendengus. “Kamu kan bisa beli sendiri Gas, atau nggak cari istri sana biar nggak numpang ke istri orang terus.” Tapi nyatanya dus tidak bisa memungkiri kalau masakan Rania benar-benar enak, dan membuat Bagas seolah tidak bisa berhenti untuk makan terus menerus. Jika saja ada orang yang mau memasak untuk nya mungkin juga dia tidak akan meminta Rania memasak untuk dirinya. Dia akan merepotkan istrinya terus menerus untuk menghidupi nya. Untuk saat ini tidak ada salahnya jika dia menumpang hidup pada Rania dan juga Abrisam, lagian Bagas juga sudah menganggap mereka sebagai keluarga. Jadinya … “Nggak ada!! Intinya Rana hanya boleh masak cuma untuk aku bukan untuk kamu!!” potong Abrisam cepat sebelum andai-andai Bagas selesai. Disini Rania tersenyum geli, ini hanya perkara masak memasak kenapa harus se drama ini sih? Lagian
Rania pulang dari kantor, sedangkan Abrisam memilih untuk tetap atau di dalam kantor. Dia menunggu sesuatu yang katanya bisa membuat Abrisam bahagia. Sedangkan menurut Abrisam tidak ada yang bisa membuatnya bahagia di dunia ini kecuali Rania. Entah kenapa hanya nama itu yang terlintas dipikiran Abrisam saat ini.“Dokter bilang ada donor mata yang cocok untuk kamu.” ucap Bagas.Abrisam hanya terdiam, telinganya mendengarkan setiap kata yang muncul dari bibir Bagas. Hanya saja bukannya tidak ingin, tapi …“Kalau iya aku bisa jadwalkan operasinya.” Sekali lagi Abrisam hanya diam saja sampai Bagas menyelesaikan ucapannya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya kecuali tubuhnya yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk pergi. Dia akan memikirkan hal ini, bukan masalah apa hanya saja ada banyak keganjilan yang akan Abrisam selesaikan lebih dulu. Bagas yang mengetahui hal itu hanya mampu mendengus mengikuti lan
“Selamat pagi.” sapa Rania ketika melihat Kara turun dengan wajah lelahnya.“Selamat pagi Kakak Iparku yang baik dan penuh dengan pengertian.” Rania cekikikan, dia pun meminta Kara untuk segera makan. Sebenarnya ini bukan lagi pagi, melainkan siang yang dimana Rania harus mengantar makan siang ke kantor Abrisam. Bukan untuk menyindir Kara hanya saja candaan seperti itu sering mereka lakukan berdua ketika bertemu. Kara maupun Rania tidak keberatan sama sekali, mereka malah lebih akrab dengan semua ini.“Beneran mau anter makan siang ke kantor mas Abri, Mbak?” Kara hanya memastikan, apalagi melihat dua kotak makan yang berbeda warna tapi memiliki isi yang sama. Kalau cuma untuk Abrisam terus satunya untuk siapa? Masa iya Abrisam makan sampai dua porsi?Rania mengangguk, sebentar lagi dia akan pergi. Lagian ini hanya mengantarkan makan siang, kalau Kara ingin ikut ya bisa saja. Dia akan dengan senang hati pergi bersama dengan Kara dan ada temannya. Tapi sayangnya Kara tidak ingin, dia t