"Aileen, apa yang terjadi dengan wajah mu?""Eh, wajah?" Aileen memegangi dadanya, tiba-tiba napasnya sesak seakan ada yang meremas erat paru-parunya."Kamu alergi seafood?" buru Bagas. Ia merengkuh wajah Aileen yang dipenuhi bintik-bintik kemerahan."Mama, panggilkan dokter." Cintya segera berlari ke ruangan lain untuk mencapai telpon ataupun ponselnya."Bodoh. Kenapa kamu nggak bilang?" Ujar Bagas cemas."A—aku, tidak ingin membuat Mama mu kece—" Aileen menutup matanya sebelum kata terakhir. "Hei, Aileen!"***Nani melongokkan kepalanya, mengintip ke dalam rumah yang tampak tak berpenghuni."Tak diangkat?" tanyanya pada sang putra yang telah berulang kali menghubungi nomor ponsel Aileen."Nggak, Ma." Denis menatap ponselnya, cemas memikirkan kondisi Kakaknya. "Kira-kira Kak Ai, kemana ya?" "Kalau kamu saja tidak tahu, apalagi Ibu. Kamu kan tahu, Aileen tidak pernah menceritakan apapun pada Ibu dan Bapakmu."Denis melirik ibunya. "Itu karena ibu dan bapak selalu datang untuk memint
"Katakan, apa yang membuatmu menahan Aileen disini?" Serang Daren langsung.Bagas mengiringnya ke taman belakang untuk menjauh dari Cintya. Pastinya ada hal yang disembunyikan oleh sepupunya itu, mengingat mereka harus turun sejauh ini hanya untuk menghindar dari orang lain."Aku membutuhkan Aileen."Daren menautkan alisnya. "Membutuhkan?" Ulangnya tak percaya."Seingat ku, dua hari yang lalu kamu masih mencemooh dan mengatainya wanita gila."Bagas membanting tubuhnya di atas kursi santai panjang yang mengarah ke kolam renang."Aku punya alasan." Daren mengikuti langkah Bagas, duduk disampingnya. "Katakan. Apa alasannya?""Sebelum mengatakan alasan ku, bisakah kamu menjawab pertanyaan ku dahulu?" Bagas menatap Daren dengan tatapan menyelidik."Apa kamu menyukai wanita itu?"Daren terdiam lama sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan."Aku hanya kagum dan prihatin atas apa yang menimpanya," ucapnya."Kalau begitu kamu tidak perlu semarah ini 'kan?" pancing Bagas.Daren melempar
"Ada apa ini? Baru pulang kok muka nya pada cemberut?" Ardi melipat koran yang tengah ia baca demi menyambut anak dan istrinya."Pa." Soraya langsung memeluk sang Ayah, bergelayut manja di lengannya.Sedangkan Viona duduk di sofa dengan wajah di tekuk."Kenapa, Sayang? Siapa yang berani membuat putri ku bersedih?""Menantu kesayangan mu itu," sambar Viona. "Dia mempermalukan keluarga kita."Ardi mengernyitkan keningnya. "Mempermalukan? Kamu berlebihan Ma, mana mungkin Bagas melakukan itu." Ujarnya sambil menertawakan sikap berlebihan istrinya."Pa, Bagas akan menikahi wanita lain. Dia menolak Soraya." Lirih sang putri sedih.Ardi menepuk perlahan tangan Soraya. "Bukankah Papa sudah berpesan. Jangan memupuk harapan mu terlalu tinggi.""Meski hanya berstatus besan tapi, Bagas sudah menganggap kita sebagai bagian dalam keluarga. Jika kita tiba-tiba datang dan menawarkan Soraya sebagai pengganti Aira, tentu sulit bagi Bagas untuk menerima semua itu." Tutur Ardi memberi pengertian."Tapi P
"Pagi." Sapa Aileen yang berjalan turun dari lantai dua kediaman mewah Pradipta."Pagi, Aileen. Apa kamu merasa lebih baik?" Sambut Cintya.Aileen mengangguk dan mendekati meja makan. "Maaf sudah merepotkan.""Ah, tidak perlu sungkan seperti itu." Cintya melambaikan tangannya."Dokter Daren?" tanya Aileen karena tidak menemukan sosok sang dokter tampan."Oh, pagi-pagi sekali dia mendapat panggilan dan harus kembali ke rumah sakit," jelas Cintya.'Ah, sayang sekali,' batin Aileen."Ayo duduk, kita sarapan bareng."Aileen mengikuti arahan Cintya dan memilih posisi sejauh mungki dari Bagas yang tampak tak terusik akan kehadirannya."Pagi, Gio."Gio mengangguk kecil. "Pagi, Aileen." Balasnya."Kamu mau sarapan bubur atau sereal?" tanya Cintya."Roti aja, Tante." Balas Aileen cepat. Dia menarik setangkup roti dari dalam kotak dan mengolesinya dengan selai cokelat."Tidak, itu tak akan cukup untuk mengisi energi mu. Mama akan membuatkan mu bubur ayam." Seru Cintya dan segera berlari ke dapu
"Kak Ai!" Teriak Denis dari dalam rumah.Begitu mendengar suara dari arah luar, ia segera membuka pintu untuk mencari asal suara."Kakak kemana aja sih?" Burunya sambil memeluk Aileen erat."Eh, aku—""Nah, apa Ibu bilang. Dia pasti pulang setelah puas jalan-jalan." Nani ikut keluar untuk menyambut kedatangan Aileen."Apa yang kalian lakukan disini?" Aileen menarik lepas pelukan Denis dan mundur untuk mendapatkan ruang. "Kenapa bisa masuk?" Tunjuknya ke arah pintu rumah."Pas kami datang, pintunya tidak terkunci." sahut Denis.Aileen menepuk jidatnya. "Sepertinya aku lupa mengunci pintu karena terburu-buru." Desahnya."Lalu, apa yang kalian lakukan disini?""Tentu saja kami khawatir karena kak Ai tiba-tiba menghilang tanpa kabar.""Kakak baik-baik saja?" Denis memutar tubuh Aileen, meneliti setiap sudut kulitnya untuk memastikan tak ada bekas luka."Alergi kak Ai kumat?" tanyanya penasaran karena mendapati beberapa ruam kemerahan di leher Aileen."Ya. Nggak sengaja makan udang," ujar
"Ai."Daren tersenyum lebar begitu melihat Aileen yang menunggunya di luar rumah."Apa sulit menemukan alamatnya?" "Tidak juga." Sahut Daren sambil menggoyangkan kepalanya. Senyum tak pernah lepas di wajah tampannya."Ini rumahmu?" "Tepatnya mantan rumah, di lantai atas." Aileen menunjuk lantai dua rumah. Bulan lalu Kakek dan Nenek di boyong anaknya ke kota, di usia yang semakin senja mereka berencana untuk menjual rumah ini dan berkumpul bersama anak-cucu.Sementara waktu menunggu pembeli, Aileen dipersilahkan untuk menggunakannya sebaik mungkin."Menurutku lebih baik kamu pulang dan istirahat. Kamu pasti lelah setelah menyelesaikan shift pagi.""Sedikit lelah tapi, daripada istirahat aku lebih tertarik untuk membantu mu." Daren mendekat untuk meneliti ruam kemerahan di leher Aileen. 'Kyaaa …' teriak Aira yang berdiri disamping Aileen. 'Ai, dia menyukaimu.''Diam lah!' Aileen mengirimkan tatapan tajam, meminta Aira untuk menghentikan segala argumen ilusinya."Masih gatal?""Ah, s
"Tidak."Aileen keluar dari balik kamar ganti dengan dress biru selutut dengan potongan berdada rendah.Daren dan Aira kompak menyilangkan tangannya. Membuat Aileen harus pasrah dan berbalik kembali memasuki kamar ganti."Tidak." Seru Daren dan Aira bersamaan begitu melihat Aileen keluar dengan dress turtleneck berwarna putih yang menjuntai, menyapu lantai."Tidak." Keduanya kembali menyilangkan saat Aileen berjalan keluar dengan semangat, penampilannya serba hitam ala rocker kawakan."Ini yang terakhir." Seru Aileen pasrah. Ia keluar dengan jeans dan kemeja berwarna biru laut."Perfect." Ucap Daren dengan mengangkat lingkaran jari membentuk tanda oke. Ia bangkit dari duduknya. "Tunggu disini aja.""Mau kemana?""Toilet.""Hmm. Oke." Aileen membanting tubuh ke sofa. "Huff … capek." Keluhnya. Aileen lelah dan menyerah untuk mengikuti arahan para fashion stylist yang terus mengatakan kata 'TIDAK' untuk menanggapi setiap pakaian pilihannya."Ternyata penampilan casual yang paling coco
"Apa yang kamu lakukan disini?" Hardik Bagas.Aileen tersentak kaget karena Bagas tiba-tiba datang dan berteriak padanya. "Makan," sahutnya polos.Daren bangkit dari kursinya, mendekati sepupunya. "Hei, Bagas. Tenanglah, kenapa kamu datang dan marah-marah?" Mencegah Bagas mengamuk dan menjadikan mereka bahan tontonan di tengah keramaian."Kamu tahu kan? Dia calon istriku." Desis Bagas geram. "Ok, aku tahu. Aku hanya menemaninya belanja dan makan siang.""Apa aku perlu mengingatkan mu, Daren?" Ujar Bagas setengah berbisik sehingga hanya Daren yang bisa mendengarnya. "Kamu bilang tidak menyukainya." tandasnya sengit.Daren terdiam. Kalimat Bagas menohok nya, seolah membawa kembali kesadarannya yang sempat terlena oleh suasana.Bagas melewati Daren dan beralih pada wanita yang duduk dengan wajah bingung. "Pulang." Tegasnya. Memaksa wanita itu untuk bangun dan ikut bersamanya. Bagas menyeret Aileen pergi tanpa sempat mengatakan sepatah kata pada Daren."Hei, sakit." Ringis Aileen. "Hen