Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
"Bagas, Sayang." Tangis Aira tidak lagi mampu terbendung saat melihat tubuh suaminya tergeletak lemah di aspal dingin—bersimbah darah."Kumohon, buka matamu!"Aira mengerakkan tangannya ke sembarang arah untuk menjangkau tubuh suaminya. Namun yang ia dapatkan hanya kehampaan. Ketakutan memenuhi hati dan pikirannya, membuatnya nyaris kehilangan akal sehat."Apa yang terjadi? Kenapa aku?" Tubuh Aira bergetar. Ia menatap tangannya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Raungan sirine ambulan menyadarkan Aira. Ia segera beranjak, memberi ruang bagi para petugas untuk menolong suaminya. "Selamatkan suamiku. Kumohon!" pintanya di sela airmata.Belasan personil gabungan antara polisi, pemadam kebakaran dan petugas medis turun dari mobil dan menuju pos kerja mereka masing-masing. Para polisi memasang garis pengaman di sekitar lokasi kecelakaan, menahan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi, merengsek masuk dan merusak TKP.Di lain sisi, para pemadam kebakar
Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, seratus juta?! Ini gila.'"Aku tidak punya uang," sergah Aileen tegas. "Silahkan pergi. Aku tidak punya utang pada kalian. Jadi aku tidak harus membayar apapun.""APA!""Ai," cicit Nani. Dia takut dengan ekspresi para penagih utang. Kali ini mereka mengancam akan mencincangnya, bila tidak mendapatkan uang. "Ai, tolong Ibu.""Pergilah, aku capek." Usir Aileen. Dia tidak peduli meskipun Nani menangis, memohon padanya."Sialan, Ibu dan anak sama saja," sentak pria bertato. Menarik rambut Aileen kasar lalu menghempaskan nya ke dinding."Akh." rintih Aileen kesakitan. Dia merasakan ada cairan hangat, mengalir dari sudut pelipisnya."Ampun, ampuni aku. Ai!" Jerit Nani ketakutan karena pria lainnya mengayunkan pisau ke arahnya.Aileen berlari cepat dan berdiri dihadapan Nani. Menghadang pria yang berencana menusukkan pisau yang di bawanya ke tubuh Nani. Meski Aileen membenci Nani dengan segenap hatinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita itu
Aileen menyeret langkahnya tertatih menyusuri trotoar di sepanjang jalan. Ia tak tahu kemana arah akan membawanya, bahkan dia juga tidak mengukur berapa jarak yang telah ditempuhnya semenjak keluar dari rumah sakit. Pikiran Aileen kosong, hanya kata-kata dokter yang terus berputar layaknya rollercoaster. Membuatnya mual dan ingin muntah."Aileen Andita, anda mengidap kanker perut stadium dua. Tidak terlalu buruk tapi juga tidak baik. Stadium berapapun akan berbahaya bila anda tidak segera menjalani pengobatan dan terapi," jelas sang dokter.Aileen tak banyak bereaksi. Dia tahu seperti apa hidup seorang penyintas kanker perut. Dia melihat dengan kedua matanya, bagaimana Ayah bertarung melawan ganasnya kanker perut yang menggerogoti tubuhnya. Hari demi hari yang dilalui Ayah penuh dengan rintih kesakitan, hingga pada akhirnya dia harus menyerah dan meninggal di meja operasi.'Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aileen takut,' lirih Aileen dalam hati.***"Ah, akhirnya kamu pulang
Aileen membuka matanya perlahan. Cahaya temaram yang masuk dari balik jendela kaca menunjukkan bila hari telah berganti malam. Aileen mengedarkan pandangannya, meneliti ruangan dimana dia berbaring. 'Di mana aku?' batinnya penasaran. 'Apa aku sudah meninggal?'Begitu aroma alkohol menyengat, menyergap hidungnya, Aileen segera tahu, dimana ia saat ini."Ah, aku benci rumah sakit," gumamnya.Aileen berusaha mengangkat tangan kirinya, beberapa detik kemudian dia meringis kesakitan. Aileen melirik perban yang dibebatkan di pergelangan tangan kirinya. Ingatannya kembali mengulang perbuatan nekad yang dilakukannya. Dengan bertumpu pada tangan lainnya, Aileen berhasil duduk. Perlahan dengan hati-hati dia menarik jarum infus di lengannya. "Akh." rintihnya begitu jarum tipis itu tercabut.Darah mulai merembes tapi Aileen segera menekannya untuk menghentikan cairan merah itu terus keluar lebih banyak. Aileen menekuk tangannya yang sakit, mengaitkannya pada tangan lain. Ia turun dari ranjang da
"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduan
Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen