Aileen Andita, bekerja siang dan malam hanya untuk membayar utang judi sang Ibu kandung dan suami barunya. Saat dokter memvonisnya sebagai penyintas kanker perut stadium dua, Aileen merasa dunianya runtuh dan hidupnya tak lagi bermakna. Ancaman dari para penagih utang membuat Aileen harus menggadaikan dirinya pada Bagas—pria arogan yang kehilangan istrinya, karena kecelakaan. Memaksa Aileen untuk menjadi penghubung sekaligus sosok pengganti Aira—Istri Bagas. * Adult Romance (Mengandung adegan dewasa secara eksplisit maupun implisit di beberapa bab).
Lihat lebih banyak"Bagas, Sayang."
Tangis Aira tidak lagi mampu terbendung saat melihat tubuh suaminya tergeletak lemah di aspal dingin—bersimbah darah."Kumohon, buka matamu!"Aira mengerakkan tangannya ke sembarang arah untuk menjangkau tubuh suaminya. Namun yang ia dapatkan hanya kehampaan. Ketakutan memenuhi hati dan pikirannya, membuatnya nyaris kehilangan akal sehat."Apa yang terjadi? Kenapa aku?" Tubuh Aira bergetar. Ia menatap tangannya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Raungan sirine ambulan menyadarkan Aira. Ia segera beranjak, memberi ruang bagi para petugas untuk menolong suaminya."Selamatkan suamiku. Kumohon!" pintanya di sela airmata.Belasan personil gabungan antara polisi, pemadam kebakaran dan petugas medis turun dari mobil dan menuju pos kerja mereka masing-masing. Para polisi memasang garis pengaman di sekitar lokasi kecelakaan, menahan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi, merengsek masuk dan merusak TKP.Di lain sisi, para pemadam kebakaran berjibaku dengan api yang membumbung tinggi. Api yang berasal dari mobil mewah akibat ledakan tangki bensin yang bocor saat mobil menghantam badan jalan. Di sudut lainnya, para petugas medis segera menghampiri sepasang suami istri yang terkapar di aspal keras, tidak sadarkan diri. Darah mengenang di sekitar tubuh keduanya."Kondisinya kritis," ucap petugas medis yang memeriksa denyut nadi korban pria.Tak jauh dari sana, petugas medis lainnya yang tengah memeriksa korban wanita menggelengkan kepala. Mengirimkan tanda bahwa korban telah menghembuskan nafas terakhirnya jauh sebelum mereka tiba.Mendengar hal itu, sang kapten polisi segera bergerak mengamankan jalur evakuasi. "Bawa keduanya ke rumah sakit," serunya pada petugas ambulan yang telah bersiap di samping mobil dengan tandu."Hubungi rumah sakit. Minta mereka menyiapkan kantong jenazah." lanjutnya memberi perintah.***"Aileen, mulai besok kamu tidak perlu datang lagi."Sepenggal kalimat singkat dari Manajer HRD terdengar bagai petir yang menyambar puncak kepala Aileen Andita. Wanita itu tidak pernah menyangka, perusahaan akan mendepaknya keluar setelah apa yang ia korbankan selama ini."Kenapa, Bu? Saya tidak pernah melakukan kesalahan dan selama ini saya bekerja dengan baik bahkan setiap hari saya lembur," debat Aileen. Ia tidak ingin begitu saja menerima perlakuan tidak adil."Aileen, kamu tahu 'kan? Perusahaan ini sedang melakukan pemangkasan karyawan karena kondisi ekonomi yang tidak baik."Aileen menyisir poninya kasar. "Saya tahu. Tapi harus ada alasan yang kongkrit. Kenapa harus saya yang di pecat?"Manager HRD menggeser sebuah amplop ke hadapan Aileen. "Ai, ikan kecil tidak akan menang di sarang hiu," jelasnya dalam bentuk kiasan. "Terima ini dan beristirahatlah beberapa hari sebelum mencari pekerjaan baru."Aileen mendesah dalam. 'Yah, benar. Seorang karyawan kontrak seperti ku tidak akan bisa melawan koneksi orang-orang berduit,' batinnya miris."Saya akan membuatkan surat rekomendasi. Dua hari lagi kamu bisa datang untuk mengambilnya." Manager HRD menepuk pelan tangan Aileen. "Semoga kamu bisa mendapatkan tempat yang lebih baik diluar sana."Air mata mengenang di pelupuk mata Aileen. Butuh kekuatan besar baginya untuk bisa mengangkat kepala dan mengangguk pelan.***Aileen menyeret langkahnya keluar dari pagar utama yang selalu dilewatinya kala matahari terbit dan tenggelam. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi karyawan terbaik, datang paling awal dan pulang paling akhir. Memastikan tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda.Jika perusahaan membutuhkannya, Aileen selalu siap untuk lembur meski uang yang didapatkannya terkadang tidak sesuai dengan jumlah yang dikeluarkannya untuk sekedar membeli obat pereda nyeri.'Dunia ini memang terlalu kejam bagi ku yang hidup sebatang kara. Meski aku telah berjuang hingga kucuran darah dan keringat, mereka tetap tak mengindahkan ku,' desah Aileen pilu.Bus berhenti tepat di depan halte, dimana Aileen biasanya menunggu. Aileen segera naik dan melempar senyum tipis untuk menyapa supir dan kondektur yang setiap hari dia temui."Tumben cepat, Neng?""Iya, Pak," sahut Aileen singkat. Ia sedang tidak ingin bicara banyak dengan suasana hatinya yang buruk.Aileen mengedarkan pandangan mencari posisi strategis, bangku panjang paling belakang. Ia menggeser kaca jendela disampingnya, menikmati hembusan angin yang sayup-sayup menerpa wajahnya.'Lalu? Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Pikir Aileen.'Mencari pekerjaan baru? Ah, tidak semudah itu. Di zaman serba sulit seperti saat ini, lapangan pekerjaan semakin sempit,' dialognya dalam hati.Aileen menepuk tas nya pelan. 'Apa aku buka usaha saja dengan pesangon ini?' Pikirnya.Getaran ponsel dari balik tas menyadarkan Aileen dari lamunannya. Ia melirik nama di layar ponsel.'IBU ...'"Apa lagi yang diinginkan wanita itu?" Desis Aileen."Ada apa?""A-aileen, kamu dimana?"Aileen mendesah pelan. "Ada apa?" Ulangnya dengan pertanyaan yang sama. "Uang? Aku tidak punya uang sekarang." Tebaknya cepat karena wanita itu hanya menghubunginya setiap kali membutuhkan uang."Ta-tapi Aileen, mereka akan membunuh adik mu kalau-"Aileen mematikan sambungan ponselnya dan beralih pada mode shut down, membuat ponsel itu mati total. 'Kali ini dia tidak akan tertipu lagi. Cukup sudah!' batinnya."Pak, halte depan ya." Teriak Aileen."Siap, Neng."Bus berhenti di depan halte terdekat menuju gang dimana Aileen menyewa sepetak ruangan atap di lantai dua. Ruangan yang awalnya digunakan sebagai gudang oleh pemilik rumah. Aileen tidak pernah mengeluh dengan kondisi ruangan yang kumuh dengan cat mengelupas dan lantai kasar tanpa keramik. Dia merasa itu cukup sepadan dengan harga sewa yang murah. Lagipula, Aileen hanya membutuhkan sebuah ruangan untuk sekedar tempatnya pulang beristirahat. Dengan gajinya yang kecil, Aileen tidak akan mampu membeli atau sekedar menyewa rumah layak huni di tengah kota."Mana putri yang kamu banggakan itu? Hah!"Begitu menaiki tangga, perhatian Aileen teralih oleh suara keras dan kasar yang berasal dari arah rumahnya. Aileen mempercepat langkahnya untuk sampai di atas, matanya terpaku pada dua pria yang duduk dengan kaki terangkat diatas bangku panjang dimana Aileen biasanya menjemur kaktus kesayangannya. Kening Aileen mengerut kesal begitu melihat puluhan pot kaktus yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang berserakan di lantai, hancur terinjak-injak.Di lantai, Nani duduk dalam posisi memohon. Wajahnya basah oleh air mata, di pipinya tercetak bekas tangan yang meninggalkan ruam merah."Ai, tolong Ibu!" Serbu Nani begitu melihat putrinya.Aileen menepis tangan yang berusaha menyentuh lengannya. Ia menggeser tubuhnya ke samping untuk menghindar. "Apa yang kalian lakukan di rumahku?""Oh, jadi ini anak yang kata mu punya banyak uang?" Desis pria bertato ular, melingkar disepanjang lengannya.Aileen melirik Ibunya marah. Wanita itu selalu saja menjual nama Aileen sebagai jaminan utang judi dia dan suaminya. "Kali ini, apa lagi? Judi?!"Nani menghindari tatapan Aileen. Dia sudah terbiasa dengan sikap kasar putrinya itu. "Hanya sedikit, Ai.""Sedikit?!" Aileen membelalakkan matanya, kali ini ia kehabisan kata-kata hingga tidak bisa lagi mengontrol emosinya yang mencapai puncak. "Sampai kapan kalian akan hidup seperti ini?" Desisnya geram."Hei, cepat! Aku tidak punya waktu untuk mendengar masalah keluarga kalian. Cepat bayar utang Ibu mu," sentak pria yang berdiri disamping pria bertato."Be-berapa?" Tanya Aileen dengan suara bergetar."Seratus juta."Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, seratus juta?! Ini gila.'*****Bagas berdiri mematung di lorong rumah sakit, tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Cahaya lampu neon yang redup memantulkan bayangan kelabu di wajahnya, membuatnya tampak seperti bayangan dari sosok yang sudah hilang. Seperti orang yang telah kehilangan arah, terperangkap dalam ketidakpastian yang tak bisa diungkapkan. Daren menatapnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan, marah dan cemas sekaligus. “Kenapa kamu pergi begitu saja?” suaranya terdengar penuh kekesalan. “Kamu tahu bagaimana kondisinya, tapi malah meninggalkannya seperti ini.” Bagas hanya menatap ke depan, napasnya tersengal pelan. Ada sesuatu yang tertahan di dalam dada, sebuah perasaan yang tidak bisa ia keluarkan. “Aileen benar,” Bagas akhirnya membuka suara, pelan dan penuh kepedihan. “Tiap kali aku melihatnya, aku melihat istriku.” Daren terdiam, mencoba mengerti apa yang baru saja didengar. “Bagas…” suaranya serak, namun penuh kesungguhan. “Dia Aileen, bukan Aira.” “Mereka mirip,” kata Bagas dengan suara y
[PLAK!]“Bodoh!” Raungan bayangan hitam, menghantarkan suara melengking hingga menggetarkan gendang telinga. Seketika nyali dari wanita yang meringkuk—duduk bersimpuh di lantai, menciut.“Kalau bukan karena mu, aku pasti sudah berhasil merebut tubuh itu,” desis bayangan hitam, bernada geram.“Akh … Le-lepaskan.” Wanita malang itu berontak, saat tangan besar meraup lehernya dan mencekik hingga nyaris membuatnya tak bisa bernapas.“Ampun …” cicit sang wanita dengan suaranya tercekat dan netra yang bergetar karena takut. Dia mengatupkan kedua tangan, memohon belas kasih.“Tidak berguna!” Sentak bayangan hitam marah. Ia menghempas wanita tak berdaya itu ke lantai lalu menyeka tangannya, seolah baru saja menyentuh seonggok sampah yang menjijikan.“Lakukan tugas mu dengan baik atau kau ingin melihat pria itu mati di tangan ku?” “Tidak … tidak.” Sang wanita menggeleng cepat seraya memohon—menggosok telapak tangannya berulangkali. “A-aku akan segera membawanya padamu,” rintihnya terbata.Ba
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen