“Apa-apaan ini?! Kamu bukan Disa!”
Dira Aureli terkejut setengah mati saat pria tampan yang sudah resmi menjadi suaminya itu berteriak di hadapannya. Padahal beberapa jam yang lalu, Alif Ferdiansyah terlihat begitu tenang, bahkan senyum bahagia terus terukir menghiasi raut tampannya.
Semua kata-kata yang ia ucapkan saat ijab kabul terdengar lancar tanpa kendala. Bahkan ia terlihat manis selama acara resepsi digelar, tanpa ada tanda-tanda dia akan berubah seperti ini.
“Katakan padaku! Kamu sembunyikan di mana Disa?!” sergah Alif penuh murka.
Dira hanya membisu, menelan saliva sambil menatap amarah yang terlihat jelas di mata pria tampan itu.
Hari ini harusnya menjadi hari pernikahan Alif dan Disa, saudari kembar Dira. Mereka sudah dijodohkan sejak masih remaja. Meski awalnya menolak, pada akhirnya baik, Alif maupun Disa menerimanya.
Disa dan Dira adalah kembar identik. Wajah, suara, gestur tubuh sangat mirip dan sulit dibedakan. Pembedanya hanya di warna rambut. Rambut Disa berwarna hitam, sedangkan Dira berwarna coklat. Dira tidak menyangka Alif akan secepat ini mengenalinya.
“Mas, dengerin dulu. Aku … aku melakukan ini dengan terpaksa. Aku … aku–”
“Omong kosong! Aku tahu selama ini kamu selalu iri dengannya. Pasti kamu yang menghasutnya, kan?”
Wanita cantik dengan mata sipit dan rambut coklat terurai itu hanya diam sambil menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat muram dan serba salah, tampak sekali penyesalan di raut cantiknya.
“Bukannya aku sudah bilang? Aku hanya mencintai Disa, bukan kamu, Dira! Apa belum cukup penolakanku saat itu?”
Dira terdiam sambil menganggukkan kepala. Dia memang pernah mengutarakan perasaannya ke Alif, jauh sebelum Alif bertunangan dengan Disa. Bisa jadi, dulu itu hanya cinta monyet yang dirasakan sesaat oleh Dira. Karena itu, ketika Alif menolaknya, Dira dapat memakluminya dengan mudah.
Namun, entah mengapa, sejak saat itu Alif selalu menyalahartikan sikapnya. Bahkan tidak jarang semua kejadian yang menimpa Dira dianggap untuk mencari perhatian Alif.
“Iya, aku tahu, Mas. Aku mohon … dengarkan dulu penjelasanku. Aku tidak melakukannya dengan sengaja, demi Tuhan, Mas Alif.”
Tidak ada jawaban dari Alif. Dia malah bangkit, mengenakan kembali kemejanya dan berjalan menuju pintu.
Dira melihat gelagat Alif. Dira merasa bersalah dan menyesal sudah menyetujui permintaan papanya. Andai saja Disa tidak menghilang, tentu dia tidak akan terlibat dalam masalah ini.
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Dira, berusaha menahan pria itu.
Sementara Alif sudah membuka pintu dan bersiap keluar. Ia menghentikan langkahnya dan melirik Dira sekilas. Mata elangnya menatap tajam bagai pisau yang menghunus langsung ke ulu hati Dira.
“Bukan urusanmu!” ketus Alif.
Dira menghela napas panjang sambil bangkit menghampiri Alif. Ia menarik lengannya saat pria tampan itu hendak berlalu pergi. Sontak Alif mengibaskan tangannya dengan kasar.
“Jangan sentuh aku!” sentak Alif marah.
Tidak hanya mengibaskan tangan, ia juga sudah mendorong Dira menjauh hingga wanita cantik itu terhuyung ke belakang.
“Aku mohon dengerin penjelasanku dulu, Mas! Aku—”
Namun, Alif seolah menulikan telinga. Ia terus berjalan menyusuri lorong hotel menuju lift.
Memang hari ini mereka melakukan ijab kabul dan resepsi pernikahan di sebuah hotel bintang lima. Bahkan rencananya akan menikmati malam pertama di sana juga. Sayangnya, kejadian beberapa menit tadi sudah merusak segalanya.
Dira tidak putus asa. Dia langsung berlari mengejar Alif, menahan pintu lift dengan tangannya agar tetap terbuka. Alif menoleh, melihat dengan tatapan yang semakin tajam.
Seakan tahu jika Alif sedang bertanya dengan ulahnya, Dira kembali membuka mulut.
“Bukankah kamu ingin mencari Disa? Aku ikut.”
Alif terdiam sesaat. Dia tidak tahu keberadaan Disa, dan pastinya dengan bantuan Dira, tugasnya akan menjadi sedikit ringan.
“Masuk!”
Selang beberapa saat mereka sudah berada di dalam mobil. Tujuan pertama mereka adalah bandara, stasiun dan terminal bus. Namun, hingga larut malam mencari, mereka tidak juga ditemukan Disa.
Alif terlihat lelah, tapi dia tidak putus asa dan terus mencari.
Dira merasa serba salah. Ia turut bertanggung jawab dengan keadaan Alif. Dira takut Alif jatuh sakit gara-gara pencarian ini.
“Kamu benar-benar tidak tahu kemana Disa pergi, Dira?”
Mereka masih di dalam mobil usai mencari di sekitar terminal dan kali ini Alif bertanya pada Dira. Dira menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak tahu, Mas.”
Alif berdecak, meraup kasar wajahnya sambil melirik sinis ke Dira.
“Kamu tidak bohong, kan?”
Dira menggeleng dengan mantap sambil menundukkan kepala. Alif kesal melihat reaksi Dira. Serta merta dia menarik kepala Dira dan meraup pipinya hingga Dira menatap ke arahnya.
“Kalau sampai aku tahu kamu di balik kepergian Disa, aku tidak akan pernah mengampunimu. Kamu dengar aku?!”
Dira menelan ludah. Jantungnya berdegup semakin cepat. Ia sudah berjanji akan menyembunyikan rahasia ini dari Alif. Namun, kalau Alif terus meminta penjelasan, rasanya Dira harus mengingkari janjinya pada papanya.
Alif melihat perubahan di wajah Dira dan merasa wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. Alif mendekatkan wajahnya hingga Dira bisa menghirup aroma maskulin dari tubuhnya.
“Apa? Kamu mau bilang apa, Dira? Katakan.”
Dira menarik napas panjang seolah sedang mengeluarkan seluruh beban di dadanya, kemudian Dira menatap Alif yang berada tidak berjarak di depannya.
Wajah pria ini begitu tampan, masih sama seperti dulu. Hanya saja ekspresi wajahnya yang membuat Dira menggigil ketakutan.
Perlahan, Dira mengulurkan secarik kertas ke Alif dengan tangan gemetar.
“Mas Alif … Disa … Disa tidak mau menikah denganmu.”
Pukul sembilan malam saat Dira dan Alif tiba di rumah. Mereka pulang sedikit terlambat karena harus mengurusi beberapa hal di rumah sakit.Malam ini, Bi Rahmi diminta Dira untuk menjaga Fabian di rumah sakit. Semoga saja besok keadaan Fabian sudah lebih baik sehingga bisa pulang cepat.“Hufft … .”Dira mendesah sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Seharian ini, dia hampir tidak beristirahat dan merasa lelah. Usai membersihkan diri, Dira langsung naik ke atas kasur.Sementara Alif tampak sibuk menelepon sedari tadi. Dari yang didengar Dira, Alif sibuk berbincang dengan Firman, Rendy dan juga kedua orang tuanya. Sepertinya ia menceritakan apa yang baru saja mereka alami hari ini.Tak berapa lama, Alif meletakkan ponselnya di nakas kemudian naik ke kasur dan berbaring di sebelah Dira.“Capek?” tanya Alif.Dira tidak menjawab hanya tersenyum meringis sambil mengangguk. Tanpa diperintah tangan Alif langsung
“Kamu punya, Sayang?” tanya Alif dengan kedua alis terangkat.Dira mengangguk, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya.“Iya, tadi saat melihat surat yang kita temukan. Aku mau mengambil fotonya, tapi keburu Tante Mery datang.”“Selain itu, kamu menyuruhku berdiri, kan?” Alif mengangguk, “untung aku sudah membuka kamera dan langsung menekan tombol rekam lalu menyimpan di saku jas. Jadi secara tak sengaja, aku merekam semua ucapan Tante Mery di kamar tadi.”Sontak Alif tersenyum lebar. Hal yang sama juga terlihat oleh Rendy. Selanjutnya Dira sudah menyerahkan ponselnya ke Rendy.Rendy langsung memutar rekaman yang dimaksud Dira. Tak ayal semua percakapan di kamar tadi terdengar dengan jelas di rekaman tersebut.“Anak pintar!!” puji Alif sambil mengelus kepala Dira.Dira hanya meringis mendengar ucapan Alif.“Oh ya, apa menurutmu Maura tahu tentang hal ini
PRANG!!Suara kaca pecah disertai serpihannya yang berhamburan ke lantai. Dira sudah merunduk bersimpuh di lantai sambil memegangi kepalanya. Sedangkan Alif meringsek menyergap Mery hingga tak bergerak.Usai menendang tangan Mery, pistolnya meletus dan mengenai cermin rias di kamar. Saat lengah, Alif langsung menangkap tangan Mery dan melintir ke belakang tubuhnya.Mery mendengkus kesal sambil melihat Alif dengan penuh amarah.“Ini belum berakhir. Ini belum berakhir. Maura akan melanjutkan rencanaku,” geram Mery.“Iya, sampaikan saja semua rencana Tante ke polisi,” ucap Alif.BRAK!!!Di saat bersamaan pintu terbuka dan tampak Rendy dengan beberapa orang anggota polisi menerobos masuk ke dalam kamar.“Lif, apa semua baik-baik saja?” tanya Rendy.Alif hanya mengangguk sambil menatap bingung. Kemudian Alif menjelaskan apa yang terjadi ke Rendy. Rendy mengerti dan segera meminta petugas po
“TANTE MERY!!!”Alif langsung menarik Dira untuk bangkit dari lantai. Mery tersenyum sambil mengangguk, berjalan perlahan mendekat ke arah mereka berdua. Entah mengapa salah satu tangannya bersembunyi di belakang seolah sedang menyimpan sesuatu.“Tante yang memalsukan semua surat itu?” tanya Dira.Tidak ada jawaban dari Mery, hanya sebuah senyum aneh.“Iya. Aku yang melakukannya. Asal kamu tahu, aku punya keahlian ini sejak kecil.”“Aku bisa meniru semua tulisan dengan cepat. Itu juga sebabnya aku bisa memalsukan surat wasiat dari mamamu.”Dira mengernyitkan alis dan terlihat bingung. Ia tidak ingat jika Luna meninggalkan surat wasiat.“Aku sengaja menulis agar Fabian menikah denganku atas nama Luna.”Dira sontak tercengang kaget. Pantas saja neneknya sangat bersikeras membujuk ayahnya untuk menikahi Mery saat itu. Bahkan Fabian tidak bisa menolak sedikit pun. Ternyata
“Kamu gak punya kunci serepnya?” tanya Alif.Dira terdiam sejenak. Ia ingat papanya mempunyai kunci serep semua ruangan di rumah ini dan menyimpannya di ruang kerja.Dira berjalan menuju ruang kerja Fabian. Masuk dengan tergesa kemudian langsung membuka laci meja kerja Fabian. Dira tersenyum lebar saat menemukan kunci yang ia maksud.“Papa tidak memindahkan tempatnya,” gumam Dira.Mereka kembali berjalan menuju kamar dan membukanya. Dira dan Alif tampak terkejut melihat kamar yang terlihat rapi. Seolah tidak pernah ada peristiwa yang mengejutkan di sini.Harusnya kalau Mery melihat Fabian pingsan di lantai. Ia pasti panik, kemudian langsung menelepon ambulan. Ia pasti sibuk mengurus Fabian dan mengabaikan keadaan kamar, tidak serapi ini.Alif menoleh ke Dira sambil mengulum senyum.“Ada yang aneh.” Dira mengangguk, mengiyakan ucapan Alif.Ia tidak menanggapi dan memilih bergerak memeriksa sem
“Bukannya Om Fabian baru saja pulang kemarin?” tanya Alif.Dira mengangguk di seberang sana dengan mata berkaca. Ia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba mendapat kabar seperti ini. Padahal Dira sudah berkonsultasi dengan dokter yang menangani.“Aku sendiri gak tahu. Tante Mery yang menelepon tadi dan beliau juga terkejut.”“Terus dimana sekarang?”“Tante Mery sudah membawanya ke rumah sakit. Aku sedang perjalanan ke sana.”Alif sontak terkejut mendengar tambahan kalimat Dira. Ia ingin marah dan sedikit kesal dengan sikap istrinya. Harusnya Dira memberitahunya dulu, menunggunya pulang baru berangkat bersama ke rumah sakit.“Mas … .”Panggilan Dira menginterupsi lamunan Alif. Alif mendengkus. Rasanya marah pun percuma.“Iya, aku otw ke sana. Hati-hati nyetirnya!!”Dira tersenyum ringan sambil mengangguk. Kemudian tak lama ia sudah mengakhiri pan