“Apa katamu?”
Dira tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Sedangkan Alif langsung merampas kertas yang diberikan Dira tadi.
Alif terdiam saat membacanya. Ia tahu, itu memang tulisan tangan Disa. Di sana disebutkan jika Disa membatalkan pernikahannya dengan Alif.
“Aku dan Papa menemukan surat itu di kamarnya beberapa jam sebelum pernikahan. Itu sebabnya Papa memintaku menggantikan posisi Disa. Namun, ini hanya sementara, Mas. Nanti kalau Disa sudah ditemukan, kalian bisa melanjutkan pernikahan dengan benar.”
Alif hanya membisu, meremas kertas itu dengan wajah mengeras. Kemudian tanpa menoleh ke Dira, ia berkata dengan suara seperti menggeram marah.
“Keluar!”
Dira terkejut mendengar ucapan Alif. Ini sudah hampir tengah malam dan mereka sedang berada jauh dari keramaian.
“Aku bilang keluar!” sergah Alif karena Dira tidak langsung merespon. "SEKARANG!"
Dira menelan ludah sambil menatap nanar ke arah pria yang diliputi amarah itu.
Sepertinya, Alif melihat reaksinya. Dia menoleh, menyipitkan mata sambil berkata dengan dingin.
“Apa kamu tidak punya telinga, Dira? Atau mau aku tendang dari sini?”
Dira terjingkat, tapi dia tidak mau membuat situasi menjadi lebih runyam. Ia sudah mengenal Alif sejak kecil dan tahu bagaimana sifat Alif jika sedang marah.
Tanpa banyak bertanya lagi, Dira pun keluar dari mobil.
Alif langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Dira seorang diri di pinggir jalan. Dira hanya diam menatap mobil Alif yang semakin menjauh. Ia berharap tidak terjadi sesuatu hal yang membahayakan pria itu.
Selang beberapa saat, Alif sudah tiba di kamar hotel. Ia duduk diam di sudut kamar dengan wajah muram. Matanya terus menatap kertas yang sudah ia remas. Ia tidak menduga Disa akan melakukan ini padanya.
Padahal mereka sudah menantikan momen indah ini. Bahkan Disa yang terlihat antusias mempersiapkan segalanya.
Beberapa lintasan peristiwa tiba-tiba berkelebatan di benak Alif.
“Apa mungkin kamu hanya berpura-pura mencintaiku, Disa?” Ia bergumam lirih. "Sial!"
Alif mengumpat sambil menendang sebuah meja di depannya. Ia tampak semakin kacau. Harusnya ini hari bahagianya, tapi nyatanya dia malah terluka dalam.
Sementara itu, Dira sudah berada di dalam taxi menuju hotel tempat Alif berada. Ia sangat mengkhawatirkan Alif saat ini.
Untung saja, Dira dengan cepat mendapatkan taxi sehingga tidak perlu menunggu lama di tempat umum seperti tadi.
Tinggal beberapa kilometer ia tiba, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dira melihat nama papanya tertera di sana. Dira menarik napas panjang, berharap ada kabar baik mengenai saudara tirinya.
“Halo, Pa?” sapa Dira mengawali.
“Dira, kamu masih bersama Alif?” Suara pria paruh baya di seberang sana sudah terdengar.
Dira menelan ludah sambil melirik bangku di sebelahnya. Tidak ada Alif di sini.
“Enggak, Pa. Ada apa?”
“Syukurlah. Cepatlah ke sini. Disa sudah ditemukan.”
Sontak raut bahagia menyelimuti wajah cantik Dira. Ia merasa senang pada akhirnya Disa sudah ditemukan. Hal ini pasti akan membuat Alif bahagia. Ia bisa menyudahi sandiwaranya, kemudian Alif dan Disa yang akan meneruskan pernikahan mereka.
Dira mengakhiri panggilan dan berjanji akan menyusul ke tempat papanya. Namun, tentu saja setelah Dira menjemput Alif.
Tak berapa lama, Dira sudah tiba di kamar hotel. Ia tertegun saat melihat Alif tidur meringkuk di lantai. Belum lagi keadaan kamar yang kacau balau dengan semua barang berserakan.
“Mas Alif ….” Perlahan Dira mendekat. Ia sengaja melakukannya dengan hati-hati. Dira takut Alif akan melakukan tindakan implusif yang membahayakannya.
“Mas … Disa sudah ditemukan.”
Seketika terlihat ada gerakan di tubuh Alif. Dira tersenyum saat pria tampan itu bangun dan terduduk di lantai. Wajahnya sembab dengan beberapa bulir air di sudut matanya.
“Papa baru meneleponku dan berkata kalau Disa sudah ditemukan. Ayo, kita ke sana.”
Alif tidak menjawab, tapi dia sudah menyambut uluran tangan Dira.
Dira menghela napas lega melihatnya. Meski hati Alif sakit, tapi dia berhak tahu apa alasan Disa meninggalkannya.
Selang beberapa saat, mereka sudah berjalan menyusuri lorong sebuah rumah sakit. Alamat yang dikirim papanya tadi memang sebuah rumah sakit.
Dira hanya diam, begitu pula dengan Alif yang berjalan di sampingnya.
Mereka tahu jika Disa punya penyakit jantung bawaan sejak kecil. Bisa jadi itu yang menyebabkan Disa berada di sini.
“Dira!”
Langkah kaki Dira terhenti. Ia melihat Fabian—sang papa yang menyapanya.
“Disa mana, Pa? Aku datang bersama Mas Alif. Aku juga sudah jelaskan semua padanya.”
Pria paruh baya itu tampak terkejut. Mata sipitnya membola saat putri kesayangannya itu bertutur. Kemudian tatapannya beralih ke sosok tampan di belakang Dira, yang tak lain adalah Alif.
Alif hanya tersenyum tipis sambil menundukkan kepala memberi salam. Fabian terlihat kikuk dan gugup. Dira yang mengamatinya terdiam dan merasa ada sesuatu yang disembunyikan papanya.
“Pa, Disa di mana? Kami ingin bertemu.”
Papanya tidak menjawab, tapi sudah melangkah pergi lebih dulu.
Dira dan Alif gegas mengikuti hingga langkah mereka berhenti di depan sebuah ruangan.
Fabian menarik napas panjang sambil menundukkan kepala, kemudian dengan lirih ia bersuara, “Disa di dalam sana.”
Dira tersenyum, ia mengangkat kepala siap masuk ke dalam ruangan yang dimaksud. Namun, kakinya langsung membeku saat membaca tulisan di depan kamar tersebut.
Itu adalah kamar mayat.
Dira membeku sambil berulang menelan saliva. Matanya terdiam pada satu titik menatap mata pekat nan tajam milik pria tampan di depannya. Ia tidak salah dengar, kan? Namun, kenapa Alif tiba-tiba berkata seperti itu?Alif tersenyum, kemudian sudah mendaratkan beberapa kecupan di belakang telinga Dira. Dira bergidik dan bergerak mundur mendorong tubuh suaminya.Namun, sepertinya Alif tidak mau melepaskan begitu saja. Tangannya dengan lincah merambah masuk ke balik blus Dira. Dira hanya mendesah saat tangan suaminya dengan lihai memainkan gunung kembarnya.“Bukannya aku sudah bilang, hukumanmu tidak hanya semalam. Hmm … .”Dira terdiam, tapi bibirnya dengan pelan mendesah tak beraturan. Alif tersenyum melihat reaksinya.Sekali tarik semua kancing blus milik Dira berhamburan ke kasur menyisakan bra merah yang kontras dengan kulit putihnya. Dira menunduk dan berusaha menutupinya, tapi usahanya sia-sia.Alif langsung menerjang, menindih dan membiarkan kepalanya terbenam di dada Dira. Suara le
Dira memundurkan wajahnya dan terdiam menatap Alif. Mata kecilnya mengawasi pria tampan yang berdiri sangat dekat di depannya.Secara bersamaan Alif malah mencondongkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir Dira.Dira terdiam, matanya membola tapi sama sekali tak berani menatap pria tampan di depannya. Ia terus menunduk sambil mengatur jantungnya yang berdetak semakin cepat.“Mas … mau apa?”Akhirnya Dira memberanikan diri bertanya meski dengan napas tersenggal. Tidak ada jawaban dari Alif, malah yang ada pria itu mempererat pelukannya.Kemudian tanpa izin, Alif langsung mencium bibir Dira. Sama seperti kemarin malam, ciumannya begitu kuat, penuh tuntutan, tapi juga sarat kelembutan.Kacau balau hati Dira beradu dalam dilema antara menolak atau menikmati semua sentuhannya. Kenapa tiba-tiba Alif berubah? Kenapa tiba-tiba dia begitu menginginkannya?Tunggu dulu … apa benar pria ini menginginkannya atau hanya
Alif tidak berkomentar, hanya diam dengan jakun yang terus bergerak semakin cepat.Untuk apa Dira kecewa? Untuk apa juga mengharapkan kehadirannya?Bukankah Dira sudah tidak mencintainya. Dia kekasih Rayhan dan akan menikah dengan Rayhan nantinya. Semua yang Alif lakukan semalam adalah hukuman untuknya. Hukuman karena Dira sudah berbohong padanya soal kehamilan itu.“Apa ada yang perlu ditanyakan lagi, Pak? Mengenai Bu Dira, mungkin.”Suara Firman terdengar menginterupsi lamunan Alif. Alif meliriknya dengan tajam dan membuat Firman ketakutan. Sepertinya dia sudah salah ngomong.“Tidak ada. Pergilah!!”Firman mengangguk, kemudian sudah berjalan dengan teratur keluar ruangan Alif. Ia tidak mau mengubah suasana hati Alif yang membaik menjadi kacau.Tadi pagi, Firman sangat terkejut saat Alif datang ke kantor dengan senyum lebar dan mata berbinar. Belum lagi penampilan Alif yang terlihat beda. Rambutnya setengah ba
“Ibu sudah bangun?”Sebuah sapaan dari Firman mengejutkan Dira yang baru saja keluar dari kamar. Dira mengangguk sambil tersenyum sekilas.Firman langsung bangkit dan berjalan menghampiri Dira.“Bapak ada meeting dengan klien pagi ini, jadi tidak bisa menemani Ibu.”Dira tidak menjawab hanya diam mendengarkan. Entah mengapa Firman terus menunduk tidak berani menatapnya, seolah sedang menghindar dari melihat sesuatu. Apa mungkin ada yang salah pada Dira?“Saya diminta Bapak menyiapkan keperluan Ibu hari ini dan semuanya sudah tertata rapi di sini.”Firman langsung menyerahkan sebuah paper bag ke Dira dengan kepala menunduk sama seperti saat dia berbicara dengan Dira.“Mobil Ibu sudah terparkir di bawah dan ini kuncinya.”Seingat Dira kemarin ia meninggalkan mobilnya di rumah sakit. Alif begitu marah padanya dan langsung menariknya pulang ke apartemen. Rupanya Alif sudah menyuruh Fi
Dira belum menjawab, hanya mata kecilnya yang tampak menantang Alif penuh keberanian.Dira tidak mau membuat Rayhan dalam kesulitan. Alif pasti akan semakin murka jika tahu Rayhan bekerja sama dengannya melakukan kebohongan ini.“Dia … dia memang kekasihku.”Akhirnya Dira memilih kalimat itu untuk menyelamatkan Rayhan. Alif terlihat terkejut, tapi sebisa mungkin ia menutupinya.“Dia sangat baik dan mana mungkin berani melewati batasan kami. Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan libatkan Kak Rayhan dalam hal ini.”Alif tidak bereaksi hanya diam membisu sambil melihat Dira dengan sudut matanya.“Jadi benar, kamu memang akan berencana menikah dengannya?”Dira mengangguk tanpa ragu. Ia berharap, usai mendengar alasannya, Alif akan melepaskannya. Dira hanya ingin semua urusannya dengan Alif segera selesai dan bisa tuntas tanpa menyulitkan siapa pun.“Kamu menyesal menikah denganku, Dira
“Mas Alif … ,” cicit Dira.Suaranya hampir tidak keluar saat melihat suaminya telah berdiri tegak di depannya. Alif hanya diam dan sama seperti tadi tatapannya menghunus tajam ke Dira.Dira menelan saliva sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia berharap Alif tidak mendengar semua pembicaraannya dengan Rayhan tadi. Dira berharap Alif baru saja datang, itu saja yang ia minta.“Eng … Ayah dan Bunda mana, Mas?”Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Dira berani bersuara dan kali ini mengalihkan topik pembicaraan.“Kenapa? Kamu ingin Ayah dan Bunda tahu tentang kebohonganmu?”Sontak mata kecil Dira melebar usai mendengar kalimat Alif. Ternyata harapannya tidak terwujud. Pria ini sudah mendengar pembicaraannya dengan Rayhan tadi.“Mas … aku … aku bisa jelasin semuanya.”Dira bersuara dan nada suaranya terdengar bergetar. Alif tidak berkomentar, hanya diam de