Share

Pembalasan Arman

Arman tersenyum. Dia masih diam tidak melangkah masuk ke dalam. Semua istri sirinya terdiam kaku. Kecuali Ema. Dia mengangkat salah satu alisnya dengan tersenyum saat Melia memandangnya. Dia sudah mengatakan Zulaika akan menang, dan itu benar.

Zulaika bersujud, mengangkat jepit rambutnya ke atas. Itu menandakan dirinya sudah siap menyerahkan dirinya kepada Arman.

Kali ini kaki sang penguasa melangkah, mulai masuk ke dalam kamar. Dia menampis penjepit rambut itu. Zulaika tidak menyangka. Arman akan melakukannya. Zulaika berpikir, dia akan mendapatkan Arman dengan mudah. Ternyata tidak!

"Aku tidak pernah menerima wanita manapun sebelum dia berhasil memikatku. Jangan pikir kau menang, wanita. Hmm, aku yang sudah berhasil memikatmu. Kau datang sendiri kepadaku. Kau pikir siapa dirimu!" Suara tegas, serak, masih membuat Zulaika masih tertunduk. Ini adalah penolakan yang sengaja dilakukan Arman. Dia tidak akan menyerah. Dia akan terus melawan!

Arman terkekeh, lalu berjalan meninggalkan kamarnya. Dia menarik Paula. "Layani aku sekarang."

Istri kedua Arman itu semakin tersenyum. Dia tidak percaya malah diperlakukan ini oleh Arman. Kepercayaan dirinya semakin tinggi. Dengan semringah, dia menatap semua istri Arman yang tentu saja merasa iri dengannya.

Zulaika berdiri, menatap kaku kepergian Arman. Dia mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak menyangka Arman ternyata membalasnya.

"Kau kali ini selamat. Lain kali kau tidak akan selamat. Hmm, aku tahu kau bersama dengan Tuan Muda kedua bukan?" Melia mendekati Zulaika yang masih diam memikirkan Arman. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu masuk ke dalam istana ini. Hahaha, lihat saja nanti. Kau ... akan aku buat menderita," lanjutnya dengan percaya diri.

Zulaika tidak menanggapi perkataan Melia. Dalam benaknya, dia masih saja memikirkan bagaimana caranya mendekati Arman. Zulaika duduk dengan tubuh tegak, menyilangkan salah satu kakinya, dan memangku tangannya. Dia kini tersenyum sinis saat Melia masih berdiri tepat di hadapannya.

"Aku akan menyayat wajahku. Jika kau bermalam dua hari saja di kamar Arman. Janjiku adalah nyawaku."

Melia mengangkat salah satu alisnya. Tawaan spontan keluar dari mulutnya. "Hahahah. Aku bersedia," balasnya singkat.

Wanita itu menyibakkan rambut panjang hitamnya sebelum akhirnya berjalan untuk keluar kamar.

"Tunggu!" teriak Zulaika. Dia tersenyum, lalu beranjak dan melangkah mendekati Melia. Dia menyentuh pipi kanan Melia yang memerah akibat perona tebal yang selalu dia gunakan.

"Hmm, sangat ... cantik. Tapi, jika aku menang. Kau ... akan melakukan hal yang sama denganku. Perona ini tidak akan pernah menempel lagi di wajahmu."

Melia spontan terdiam, menahan getaran dadanya. Jantungnya sangat berdebar kencang. Bagaimana jika kalah? Zulaika bagaikan bidadari. Wajahnya alami sempurna. Bahkan, warna pemoles wajah tidak akan mampu merubah kecantikannya yang alami. Tanpa hal itu pun, Zulaika terlihat indah. Sampai kapan Arman akan menahannya?

"Diam ... Apa kau takut?" tanya Zulaika. Dia melepaskan jemarinya. Kembali tersenyum.

"Aku menerimanya. Aku tidak pernah takut kepadamu. Kau bukan siapapun. Hah, aku akan membuat wajahmu itu sangat buruk, hingga tidak ada laki-laki yang akan menerimamu."

Melia akhirnya melangkah cepat. Dia berusaha menghindar dari ketakutan yang dia pendam. Dia tidak akan pernah menang melawan Zulaika. Tapi, apakah dia bisa terlihat lemah dengan tidak menerima pertaruhan itu?

"Sialan. Aku tidak akan pernah menyerah," batin Melia. Dia masih mengatur napasnya di depan pintu kamarnya.

"Hmm, sepertinya aku akan melihat wajahmu menjadi cacat. Kau akan dibuang Arman. Sangat menarik." Sekali lagi, Ema tiba-tiba berada di belakangnya. Mengatakan hal yang selalu membuat Melia terlihat kalah!

"Ema. Kenapa kau selalu saja seperti itu? Kau ini pengkhianat. Seharusnya kau memihak kepada kami. Kau, jalang!"

Ema hanya diam sambil bersedekap. Menatap Melia dengan marah masuk ke dalam kamarnya.

**

Sepanjang malam, Zulaika tidak tenang. Dia berjalan mondar-mandir. Memikirkan cara untuk memikat hati Arman. Hingga dia terkejut. Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Zulaika tidak mau tertipu dengan Ardian sekali lagi.

"Siapa?" teriaknya namun sedikit pelan.

"Aku Nyonya Besar di sini. Bukalah pintu ini."

Kedatangan Nyonya Besar adalah keuntungan dirinya. Wanita tua yang berumur setengah abad itu sangat cantik. Bahkan sangat berkuasa di sini. Zulaika tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini.

Zulaika masih saja ingin terlihat anggun di hadapan semua orang. Jemarinya menekan pintu gagang dengan perlahan. Bahkan, suaranya pun hampir tidak terdengar. Dia mulai membuka pintu kamar. Wajahnya harus terlihat cantik.

"Aku ingin berbicara denganmu. Aku Redrich."

Zulaika terpana. Wanita di hadapannya sangat cantik. Tanpa sadar, senyuman hadir di wajahnya. Dia menganggukkan kepala, membiarkan Redrich bersama dua pelayan setianya masuk ke dalam kamar.

"Aku ingat. Dulu aku tinggal di sini, dan bercinta dengan Maulana sebelum dia menikahiku." Redrich meneteskan air matanya. Mengingat percintaan yang berakhir dengan perpisahan mengenaskan. Maulana mendadak keracunan dan meninggal. Sampai saat ini, dia masih tidak mengetahui penyebab dan pelaku sialan yang berani meracuni Tuan Besar. Semua kasus itu lenyap begitu saja.

"Nyonya. Apa yang ingin Anda lakukan? Kenapa Anda menuju ke sini untuk menemuiku? Ini adalah kehormatan bagiku."

Redrich menatap Zulaika. Menelisik semua tubuh dan wajahnya. Dia menganggukkan kepala, membuat Zulaika tidak mengerti.

"Aku bisa membantumu mendapatkan Arman!"

***

Desahan terdengar cukup keras di dalam kamar Arman. Paula kembali melayani Arman dengan liar. Dia menggerakkan pinggulnya dengan sangat sempurna. Arman merentang, menikmatinya.

"Ah ..."

Milik Arman semakin hangat. Bahkan, Paula memperlihatkan jika dirinya sangat berhasrat, dengan desahan sangat keras. Untuk membuat Arman semakin bernafsu liar. Asetnya yang menggunung dia sengaja gerakkan. Membuat Arman ikut mengerang.

Paula masih saja melakukannya. Namun, sesuatu yang menegang itu sedikit layu. Paula segera menggoyangkan lebih keras dari sebelumnya. Arman memegang kepalanya, berusaha melakukan.

Arman ingin menghentikan. Hingga, kedua matanya mengerjap berkali-kali. Mendadak, dia melihat sosok Zulaika berada di atas tubuhnya. Dia segera terduduk. Terus menatap wajah itu. Arman spontan melumat bibir Paula. Hasratnya semakin liar. Aset yang menggunung milik Paula dia mainkan dengan tersenyum. Seakan itu adalah Zulaika. Hasratnya semakin tidak menentu.

Paula merasakan kenikmatan luar biasa. Arman tidak pernah melakukan hubungan seperti ini. Bibirnya menelusuri setiap kulitnya dengan desahan keras. Dalam bayangannya, dia melakukannya dengan Zulaika.

"Zulaika ..."

"A-pa ...," ucap Paula terkejut. Dia menghentikan gerakannya. Mendadak Arman tersadar, dan melotot tajam.

"Lepaskan!" Arman seperti biasa menampis Paula. Wanita itu spontan melepaskan miliknya.

Arman menuruni ranjang, mengambil handuk dan menutupi tubuhnya bagian bawah. Dia berdiri di depan cermin besar seukuran tubuhnya. Memandangi dirinya sendiri. Kedua matanya mulai angker. Paula mengurungkan niatnya untuk mendekat.

"Aku tidak mau mendapatkan berita kebohongan lagi. Apa kau tahu, Paula!" teriaknya keras. Dia spontan membalikkan tubuhnya. Menarik tubuh Paula dan menamparnya sangat keras.

PLAK!

Paula tersungkur ke lantai dalam keadaan polos. Dia memegang pipi kanannya yang membengkak kembali.

"Istri kedelapan yang mengatakannya. Apakah kau tidak akan menyelidikinya? Dia melihatnya dengan jelas. Dia tidak mungkin berbohong," balas Paula dengan pelan.

"Pergilah, Paula."

Tanpa berpikir lagi, Paula mengambil gaun menerawangnya yang berwarna putih dan memakainya. Dia berjalan cepat keluar dari kamar.

Arman masih saja memandang cermin yang memantulkan dirinya. Dia mengepalkan kedua tangannya. "Ardian ... kau ..."

PRANG!

Seperti biasa. Kemarahan Arman selalu saja membuat barang di hadapannya menjadi berserakan pecah di lantai. Arman sangat tahu. Ardian pernah mengatakan akan mendekati Zulaika dan melakukan semua cara. Bahkan akan melangkahinya. Lelaki penguasa itu tidak akan pernah menunjukkan sesuatu tentang perasaannya. Harga dirinya sangat tinggi! Apalagi ini tentang wanita. Itu tidak akan pernah!

"Dia tidak akan pernah berhasil," batin Arman.

Dia melangkah cepat keluar dari kamar, menemui pengawal yang berjaga. Membisikkan sesuatu kepada mereka.

Malam yang sangat larut dan sunyi, kini mencekam. Semua penghuni wanita keluar dari kamarnya saat mendengar jeritan seorang wanita. Mereka terdiam kaku. Tidak percaya dengan penglihatan mereka.

"Tidak! Jangan lakukan ini aku mohon!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status