Ceklerk! Bunyi handle pintu bergerak. Mereka berdua terkejut dan menoleh ke arah pintu kamar seketika. Ternyata lelaki yang baru dibicarakan telah masuk dengan memakai kode angka di pintu. Tentu saja dia sudah hapal dan tahu sebab yang beli. Siapa lagi? Erick. “Sudah tidur semua, Osa?” tanyanya santai sambil mendekat ke ranjang. Bayi dan Irgi tidur di ranjang terpisah tetapi tidak berjauhan. Mereka terlihat lelap dan damai. “Apa mereka sudah kenyang?” Kali ini Erick tidak mencari jawaban sendiri. Tetapi memandang bergilir di wajah Osara dan suster. “Sudah, Encik. Mereka sudah pulas sebab kenyang.” Suster menyahut sebab Osara terdiam dan menatap Erick dengan bingung. Sesaat heran dengan kondisi pasutri yang terkesan canggung, kaki dan tidak romantis. Ada apa? Suster bertanya-tanya dalam hatinya. “Suster Rahma, jaga mereka. Aku dan istriku akan beristirahat, tepat di kamar sebelah. Jika ada apa-apa, segera telpon, jangan segan.” Erick berbicara setelah menyambar tangan Osara.
Erick menatap bayi cantik yang tertidur pulas di atas tempat tidur. Perutnya buncit sebab kenyang. Telah meminum banyak susu dari seorang ibu susu yang datang bak malaikat tiba-tiba. Takjub sekali rasanya. Tidak menyangka perempuan mulia itu adalah istrinya sendiri. Kedua matanya bahkan berkaca-kaca. “Apakah sudah siap?” Osara datang menyusul ke dalam kamar. Baru saja makan malam bersama Irgi dan Erick di rumah Erlina. Malam ini juga mereka akan pulang kembali ke Kota Kuala Lumpur. Berpikir bahwa lebih cepat pergi akan lebih baik. “Semua sudah siap?” Erick balik bertanya. “Susternya beby lagi shalat isya.” Osara sambil mendekat ke ranjang. Merasa berdebar menatap bayi perempuan yang cantik itu. Sebentar lagi akan mereka bawa ke KL untuk dibesarkan sementara oleh Erick dan Osara mensupport nya. Meski nyatanya tidak rumit. Ada dua suster yang dibawakan oleh Zidane. Juga anggaran biaya yang tidak sedikit dari abangnya, Zayn, yang disadari jika anak kedua Erlina adalah darah d
Kamar bayi sangat luas. Desain yang bagus dan mewah. Sayang sekali, harusnya terasa damai, justru kegusaran melanda. Tangis melolong terus mengudara di penjuru dalam rumah. Sangat bising dan cukup mengguncang jiwa. Irgi yang biasa aktif dan tidak bisa diam saat melihat mainan baru serta lingkungan baru, hanya diam dalam gendongan papa barunya. Bukan mengantuk, tetapi ikut merasa tegang akan bunyi tangis membahana. Maklum, dia adalah bocil yang jarang menangis hanya karena perasaan. Setelah suster bicara sejenak dengan bahasa Melayu kental dengan suster yang menggendong bayi menangis, Osara diminta duduk di ranjang. Bayi histeris itu diserahkan untuk coba disusukan olehnya. Namun, bayi perempuan cantik itu menolaknya mentah-mentah! “Biasa dia guna alat apa untuk minum ASI, Kak?” tanya Osara dengan ekspresi tenang pada dua suster. “Guna botol, Kak. Semenjak dua bulan lepas, guna botol dah…,” ucap Suster itu. “Kenapa harus secepat itu?!” Erick terkejut. Melangkah mendekat den
Kemesraan dua insan sedang terhalang. “Mama!” Suara kecil dan menggemaskan terdengar di belakang. Osara meloncat turun dari pangkuan Erick dan berdiri berdebar memandang Irgi yang sudah duduk. Membuka mata tidak sempurna yang masih terlihat mengantuk. Osara segera mengambil air putih dari botol khusus balita anti sedak dan diulurkan pada Irgi. “Tidak minum ASI?” tanya Erick sambil ingin tertawa melihat Irgi yang minum air putih dari sedotan di botol sambil merem. Itu sama saja dengan dirinya yang tua jika terlalu lelah dan sangat kurang tidur. Tetapi Irgi tidak kurang tidur dan dirasa tidak lelah. Lucu sekali. “Coba biar dia ngerti diet.” Osara menyahut asal. Memang iya, belakangan rajin memberikan Irgi air putih. Meski tidak juga membatasi pemberian ASI nya. Alhasil badan Orgi makin kotak. “Apa dia terlihat sangat besar dibanding kawan-kawannya di sekolah?” tanya Erick sambil menyambut Irgi yang beringsut mendekat padanya. Lalu duduk di pangkuan. Sikap bocah itu sudah sangat
Meski enggan, Erick buru-buru menjauhkan diri dari Osara. Berdiri diam dan mengamati bocah di ranjang. Sedang bergulingan dan batuk kecil satu kali yang kemudian terdiam kembali. Sepertinya tidak tidur lagi, hanya tengkurap dengan sedikit menungging. Terlihat lucu dengan bodi kotak menggemaskan. Osara yang ingin menghampiri Irgi pun jadi urung. Erick kembali menahannya di pinggang. Mereka berdiri di depan kaki ranjang dengan perasaan tegang. Erick berpikir bahwa ternyata seperti ini rasanya jika menikahi seorang janda membawa anak. Unik sekali.... “Pak Erick, sudah. Aku ingin menyusui.” Osara sambil berusaha melepas lengan besar berkulit cerah dan kekar itu dari menangkup di pinggang kecilnya. Ternyata tidak dibiarkan olehnya. “Biarkan benar-benar bangun. Nanti dia tidur lagi jika masih seperti itu. Biar Irgi bangun pagi.” Erick bicara sesuai logika. Osara membenarkan sebab pengalaman dan kebiasaan. Osara menilai jika Erick seperti sudah pernah punya anak saja…. “Kenapa
Ternyata Erick sudah membuka jendela kamar dan mesin pendingin telah mati. Lampu balkon telah padam juga lampu kamar yang tinggal temaram baru Osa sadari. Hingga hembus angin alami sangatlah menyejukkan kamar pagi ini. Seharusnya hawa sejuk membawa rasa dingin hingga ke pori, tetapi tidak dengan yang Osara sedang rasakan. Justru tengah hangat menjalar sebab kelakuan pemilik kamar yang tidak senonoh kepadanya. “Untuk apa minta izin sekarang? Seperti baru kali ini saja. Sebelum-sebelumnya itu apa, rangkulan?” tanya Osara yang merasa geli pada Izin Erick untuk memeluknya. Bahkan kini sudah memenjara erat di pinggang dengan tangannya. “Yang sudah-sudah itu tidak sama lagi dengan hari ini dan seterusnya, Osara.” sahut Erick lirih. Senyuman dengan tatapan lekat itu membuat raga Osara berdesir tanpa mampu dikontrolnya. “Bagaimana maksudmu?” Osara serius ingin penjelasan. “Selama ini, aku memelukmu, adalah bentuk dari kasih dan penjagaan tulusku demi almarhum suamimu. Tetapi pel