“Rav, kamu dengar aku kan? Kamu masih di sana?” Aline menegur Raven lantaran tidak menjawab pertanyaannya.
“Iya, bisa,” jawab Raven memutuskan. Walau hatinya berat tapi Raven menyadari bahwa ia harus mampu bersikap adil pada kedua wanitanya. “Beneran ya, Rav, jangan sampai telat.” “Iya, Lin, beneran.” “Aku tunggu ya, Rav.” Aline menekankan nada ucapannya yang berarti ia sangat menantikan kehadiran Raven. “Iyaaaa …” Raven ikut menekan nada suaranya, sedikit gemas pada Aline yang seakan tidak memercayainya. “Love you, Rav.” Raven tertegun dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Sudah cukup lama ia dan Aline tidak saling mengucapkan kata cinta. Dan sekarang tiba-tiba saja kalimat sakti itu meluncur dari bibir Aline. “Rav, kamu masih di sana?” Untuk kedua kalinya Aline bertanya untuk hal yang berbeda. “Iya, aku di sini.” “Kok nggak ngejawab aku?” Raven berdeham. Ia hanya perlu menjawab ucapan Aline. Namun kenapa terasa begitu berat? “Love you too.” Entah mengapa lidahnya sangat kelu saat menjawab. Begitu selesai mengucapkannya Raven menutup telepon dan memutar tubuh. Ia sedikit kaget saat mendapati Kanya sudah berada di dekatnya. Kanya tersenyum. “Sudah selesai menelepon?” tanya perempuan itu. “Sudah. Dari Aline. Nanti saya akan menemani dia ke dokter.” “Aline sakit?” Kanya terkejut mendengarnya. Dan itu tidak dibuat-buat. Raven menganggukkan kepala tanpa menjelaskan dengan lebih detail apa penyakit istrinya. “Aline sakit apa?” “Kapan-kapan saya akan cerita. Sekarang saya balik ke kantor dulu. Nanti dari sana langsung ke rumah Aline. Dan kemungkinan besar saya nggak pulang malam ini.” Sontak Kanya membisu setelah mendengar penuturan suaminya. Jika Raven tidak pulang malam ini itu artinya Kanya akan tidur sendiri. Ia akan kesepian dan kedinginan. Kanya sudah biasa tidur dalam dekapan hangat lelaki itu. “Nggak apa-apa kan?” tanya Raven melihat Kanya diam tanpa kata. Kanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Meski sangat menginginkan Raven menghabiskan hari-hari bersamanya, tapi Kanya sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak boleh egois. Kanya hanyalah istri kedua. Dirinya adalah orang baru dalam kehidupan Raven. Jadi ia harus tahu diri. “Nggak apa-apa,” jawab Kanya sambil menyunggingkan senyum. Menunjukkan bahwa ia ikhlas. Raven juga tersenyum. Berterima kasih atas pengertian Kanya. Sebelum pergi lelaki itu meninggalkan kecupan lembut di kening Kanya. Sepeninggal Raven, Kanya melangkah masuk ke dalam rumah dengan tubuh lesu. Terbiasa Raven selalu bersamanya sepanjang dua minggu pernikahan mereka, sekarang saat lelaki itu pergi rasanya ada yang kosong. *** Raven tiba di rumah Aline sepuluh menit sebelum jam tiga sore. Lelaki itu menepati janjinya. Begitu turun dari mobil Raven langsung disambut oleh wajah masam ibunya. “Mama kira kamu sudah nggak ingat jalan ke rumah ini.” Raven tertawa ringan. “Mama kenapa bicara begitu?” “Masih aja nanya. Sudah berapa lama kamu nggak ke sini? Sejak kamu tinggal sama perempuan itu kamu jadi lupa sama Mama, terutama sama Aline. Apa kamu lupa kalau dia istri kamu yang sebenarnya?” “Aku nggak lupa. Tapi Aline sudah kasih izin ke aku untuk tinggal di rumah Kanya dulu.” “Itulah istri kamu. Dia sangat baik dan legowo. Padahal hatinya sedih. Tapi mana pernah menunjukkan itu semua. Sampai sekarang Mama masih nggak ikhlas kamu menikah lagi.” Marissa melipat tangan di dada lantas membuang muka ke arah lain. Tidak sudi bertemu pandang dengan sang putra. Menghela napas panjang untuk sesaat, Raven dengan sabar menjelaskan pada ibunya. “Awalnya aku juga berat untuk mengambil keputusan ini. Aku nggak mau menyakiti Aline. Tapi kita kan sudah bicarakan ini jauh-jauh hari. Kalau Mama mau marah atau menyalahkanku, terlebih dulu salahkan almarhum papa yang membuat surat wasiat aneh kayak gini. Masa mau mengambil hakku sendiri harus punya anak dulu.” Marissa mengesah lelah. Kadang ia menyesali keputusan mendiang suaminya yang terdengar konyol. Suaminya memberi warisan yang jumlahnya tidak sedikit pada putra tunggal mereka, yaitu Raven. Hanya saja ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, Raven mesti menikah. Kedua, Raven harus punya anak. Barulah warisan itu bisa dicairkan. Untuk memenuhi syarat pertama Marissa menjodohkan Raven dengan Aline yang merupakan anak sahabatnya. Semula Raven menolak karena ia tidak mencintai Aline. Tapi setelah menimbang bahwa ia butuh dana yang tidak sedikit untuk ekspansi usahanya, Raven terpaksa menerima perjodohan itu dan menikah dengan Aline. Namun ternyata Aline tidak bisa memberi keturunan karena rahimnya diangkat. Sehingga untuk memenuhi syarat yang kedua Raven harus mencari seorang ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Terpilihlah Kanya yang ternyata tidak disukai Marissa dengan alasan tidak sederajat dengan mereka. “Sudahlah, Ma. Jangan dipermasalahkan lagi. Semua sudah terjadi. Kalau sebelumnya Aline nggak mengizinkan, aku juga nggak akan menikah. Tapi buktinya Aline kasih izin. Sekarang Mama boleh nggak suka sama Kanya, tapi kalau cucu Mama sudah lahir Mama pasti akan menyayangi dia sama seperti Aline.” Raven tersenyum menggoda Marissa yang dibalas perempuan itu dengan decak kesal. “Raven benar, Ma. Aku sama sekali nggak masalah soal itu. Aku ikhlas kok.” Entah sejak kapan mendengarkan percakapan keduanya tiba-tiba Aline menampakkan diri di tengah-tengah mereka. Ia tersenyum seakan benar-benar ikhlas sambil mengusap pelan pundak Marissa. “Mulia sekali hatimu, Lin. Mama nggak salah memilih kamu untuk Raven,” ucap Marissa penuh simpati. Senyum Aline semakin mekar. Ia memang paling pandai mengambil hati mertuanya. “Sudah kewajibanku, Ma. Aku tahu aku nggak sempurna dan aku nggak mau egois. Sekarang Mama nggak usah pikirin lagi ya.” Marissa hanya bisa tersenyum pahit. Raven kemudian ke kamar Aline untuk mandi. Ia meletakkan pakaian bekas pakai di atas tempat tidur. Saat lelaki itu di kamar mandi ponselnya berdenting. Aline yang sedang berdandan langsung melirik ke sumber suara dan mengambil ponsel Raven. Ada pesan masuk dari Kanya. “Rav, kamu sudah sampai di rumah Aline? Saya cuma mau kasih tahu, handphone kamu yang satu lagi ketinggalan dan tadi ada yang menelepon.” Aline langsung menjawab pesan itu dengan perasaan benci. “Kalau saya sedang berada di rumah istri tercinta saya Aline, kamu jangan pernah hubungi saya. Jangan mengganggu kami. Jangan lupa camkan di otak bodohmu itu!" Setelah pesan terkirim Aline langsung me-non aktifkan ponsel Raven. ***Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber