"Fik, si Indah nanti mau datang, kamu jangan pergi kemana-mana ya," celetuk ibu pada Mas Fikri.
Aku sempat terdiam penasaran siapa Indah? "Mau ngapain dia kesini? Aku gak ada urusan sama dia," jawab Mas Fikri, aku melihat ekspresinya yang memang terlihat acuh dan tidak peduli. "Kamu temuin aja dulu nanti, ibu rasa dia cocok sama kamu. Sudah cantik masih muda lagi." Uhuk ! Tiba-tiba saja Mas Fikri tersedak, aku membantu memberikan Mas Fikri minum. Sebenarnya akupun tak kalah kaget mendengar ucapan Ibu, tapi aku sudah terbiasa dengan watak ibu mertuaku. Dua minggu tinggal bersamanya sudah cukup membuat ku kebal telinga dan kebal mental. "Ibu apa-apain sih! Jangan sembarang kalo ngomong. Maksudnya apa?" tegur Mas Fikri tak terima. Entah dia benar marah karena sampai sekarang sang Ibu masih kekeh untuknya menikah. Atau hanya sekedar kesal tanpa menganggap ucapan itu serius. "Siapa yang sembarang ngomong. Ibu memang berniat untuk menjodohkan kamu dengan Indah." kali ini ibu benar-benar tidak menganggap diriku ada. Aku seperti butiran debu yang tak terlihat di matanya. Dia semakin menjadi-jadi dia seperti duri dalam pernikahanku. "Bu, aku masih istri sah Mas Fikri Bu. Aku berhak atas suamiku, dan aku tidak ridho jika suamiku harus menikah lagi." Meja makan memang seperti pengadilan bagi kami, tempat dimana ibu selalu memancing keributan, dan menghakimi. Setiap susunan kata yang keluar dari mulut nya tidak ada yang boleh membantah entah itu benar atau salah. "Ya sudah minta cerai saja kalau tidak mau dimadu." Mulut ibu mertuaku memang tidak memiliki rem, seperti kereta api yang berjalan tidak peduli menabrak apapun demi sampai ke tujuannya. "Ibu cukup! Ibu sangat keterlaluan. Kalau memang sedikit saja ibu tidak bisa menghargai istriku, paling tidak ibu menghargai perasaanku sebagai anakmu Bu." Dari bawah meja Mas Fikri meraih tanganku dan mengusapnya dengan lembut. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku juga meredam emosi nya. "Justru ibu sedang berusaha untuk kamu Fikri. Ibu hanya ingin kamu segera memiliki anak itu saja, kenapa kamu selalu membentak ibu." Mata ibu terlihat memerah dan berkaca-kaca, beberapa detik kemudian ibu terisak dan menangis. Tentu sebagai anak Mas Fikri merasa bersalah karena membuat ibunya menangis, apalagi selama ini dia sangat menjaga perasaan ibunya. "Maaf Bu, aku bukan marah dan sengaja membentak Ibu. Aku hanya tidak ingin ibu terlalu tergesa-gesa menghakimi Yumna istriku Bu. Bahkan pernikahan kami belum genap satu bulan Bu." Mas Fikri berusaha menenangkan Ibu yang terus terisak-isak menangis. "Aku tahu ibu ingin segera menimang cucu dariku. Akupun juga ingin segera memiliki anak Bu. Tapi tolong bersabarlah, aku yakin Yumna bisa memberikan ku anak," dengan sangat lembut Mas Fikri berusaha meyakinkan Ibu. "Pasti akan sulit di usianya yang sudah kepala 3 lebih. Ibu hanya ingin sebelum ibu meninggal melihat cucu ibu, itu saja." Apa sebenarnya yang ada difikirkan Ibu. Dia selalu mempermasalahkan umurku yang jika di lihat dari segi medis, aku masih normal dan wajar untuk hamil dan memiliki anak. Belum di kategorikan wanita yang tua atau rawan untuk hamil. "Jangan mendahului takdir Bu. Aku tidak suka ibu berbicara seperti itu. Ibu akan berumur panjang, dan dapat melihat anak-anak ku dengan Yumna nanti. Anak itu rezeki dari yang Maha Kuasa, mau aku menikah dengan gadis yang masih muda sekalipun jika Tuhan memang belum memberikan nya padaku, aku tetap tidak akan memiliki nya." "Paling tidak kan kita sudah usaha." "Aku juga sedang berusaha bersama istri ku Bu. Poligami itu bukanlah hal yang mudah Bu. Selain harus di bekali ilmu pengetahuan tentang agama, dosa nya juga sangat besar jika tanpa ridho dan sakit hati dari istri pertamaku Bu. Dan aku juga tidak akan sanggup berpoligami." Setelah berhasil di tenangkan Mas Fikri, suasana mulai sedikit hangat walau sejujurnya sakit hatiku semakin menjadi-jadi mendengar ucapan Ibu. Tapi saat ini hanya Mas Fikri yang masih bisa membuat ku bertahan, mengahadapi sifat ibunya. Walau hanya di ajak minum es kelapa di pinggir danau, hari ini aku cukup bahagia memiliki suami seperti Mas Fikri, dia memperlakukan dengan baik. Saat di luar seperti ini, rasanya sangat plong, beban yang biasa tertempel di pundak ku saat di rumah, hilang seketika. Hal sederhana yang Mas Fikri berikan kepada ku cukup membuat aku bahagia. "Mas?" Entah kenapa aku ingin sekali membahas perihal poligami pada Mas Fikri. Fikiranku sudah terdistrak akan menjadi madu semenjak ibu mendesak Mas Fikri untuk menikah lagi. Sangat menyeramkan bukan. "Iya, ada apa?" "Apa kamu ada rencana untuk berpoligami?" "Jangan berfikiran yang tidak-tidak, kita akan segera memiliki anak," jawaban singkat itu mampu membuat pipiku merona. "Harusnya kamu tidak perlu repot-repot memberikan ibu hadiah," ibu terlihat sangat bahagia menjamu tamu wanita nya. "Tidak repot Bu, ini hanya sekedar hadiah kecil buat Ibu." "Bisa aja kamu, ini hadiah yang besar buat ibu." Ibu terlihat bahagia memandangi jari tangan nya yang melingkar cincin berlian disana. Yang ku tangkap wanita itu yang telah memberikan nya pada ibu. "Eh Fikri, kebetulan kamu baru pulang. Sini duduk temani Indah, dia baru saja datang, ngasi ibu hadiah cincin berlian." Dengan antusias ibu memperkenalkan Fikri pada tamu wanita nya itu. Yang aku dengar bernama Indah. "Apa kabar Mas Fikri, ini juga ada buah tangan buat Mas Fikri." Wanita itu melihat aku yang berada di sebelah Mas Fikri, tapi dia sama sekali tidak menyapaku. "Di terima atuh Fikri, jangan di diemin aja," tergur Ibu, sebab Mas Fikri hanya diam menatap paper bag di hadapannya. "Terimakasih," ucapannya dingin "Sama-sama Mas." "Yumna bikinin minum untuk Indah dan suami kamu sana," perintah Ibu padaku. Setelah di abaikan sekarang aku di anggap seperti pembantu. "Aku tidak haus, aku ingin kekamar istirahat dengan istri ku." "Kamu ini gimana sih Fik, ada tamu masak malah di tinggal ke kamar. Yumna kamu jangan terlalu mengekang suami kamulah. Ada tamu masa kamu malah mau ke kamar, gak sopan banget." Padahal Mas Fikri yang mau, tapi tetap saja aku yang salah. Begitulah nasib menantu yang tidak di anggap dan di harapkan iniKebahagiaan mulai menyelimuti keluarga Fikri. yang hilang memang selalu akan tergantikan. Kehilangan ibunya di ganti dengan kehadiran sang ayah juga kedua anak kembar yang selama kehamilannya tidak pernha ia ketahui. Kehidupan nya tetap berjalan, tetap tidak pernah terlepas dari yang namanya cobaan. Entah dengan cara seperti apa ujian itu datang sebagai manusia kita hanya bisa berdoa dan terus berserah. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa anak kembar Mereka kini mengijak usia remaja. Usia yang cukup membuat Fikri dan Yumna kewalahan dengan tingkah dua anak remajanya. "Aku menyukai seorang gadis Bu," celetuk Azzam tiba-tiba saja saat di meja makan. walaupun mereka anak laki-laki tapi sejak kecil Yumna dan Fikri selalu mengajarkan dua anaknya untuk saling terbuka. Dan bercerita banyak hal dengan keluarga daripada dengan orang lain. Dan kebiasaan itu tertanam hingga dewasa pada kedua anaknya, mereka selalu menceritakan apa saja pada kedua orang tuanya. "Apa? Azzam kamu masih
“Mas,” Yumna memanggil suaminya yang tengah terlelap di sampingnya. Dia menggoyang tubuh Fikri dengan pelan, sambil merasakan mulas di perutnya. “Kenapa sayang?” dia bangun mengucek kedua matanya yang terasa lengket sebab masih jam dua pagi.Yumna mendesis merasakan sakit yang kadang hilang kadang tibul di perutnya “sepertinya dia mau keluar,” ucapnya masih bisa tersenyum walau menahan sakit.“Apa!!” Fikri memekik panik “Mana yang sakit sayang, gimana ini kita harus gimana,” Fikri panik bukan main. Yumna yang melihat kepanikan suaminya menggelang dan membuang nafas.“Mas. Kamu tenang dulu jangan panik gitu dong,” kesalnya. Pasalnya dia yang kesakitan tapi suaminya berlebihan panik sehingga tidak bisa melakukan apapun.“Maaf aku bingung, dan panik sayang,” jawab Fikri tergesah bahkan dahinya berkeringat“Tenang. Ambil tas perlengkapan bayi yang sudah aku siapkan,” Fikri mendengarkan araah Yumna, padalah dia tengah kesakitan tapi dia masih bisa menahannya “terus kamu pesan taksi di apl
Salma juga korban akan keegoisan mertuanya dia menikah dengan Hendra, namun dua tahun pernikahannya belum di karuniai anak juga.Mertuanya menganggap dia mandul dan memaksa Hendra untuk menikah lagi tapi Salma tak terima dan memilih bercerai dan pergi dari Hendra.Akhirnya Hendra menikah lagi dengan pilihan orang tuanya satu tahun pernikahan istrinya juga belum hamil. Salma yang mengetahui itu senang ingin membalas perlakuan mantan suami dan mantan mertuanya dengan menyombongkan diri dan memberitahu Hendra dan orang tuanya bahwa saat mereka bercerai dia tengah hamil.Hendra sangat senang dan ingin kembali namun karena terlanjur kecewa Salma tak mau dan kembali pergi entah kemana. Bertahun-tahun menikah tak juga memiliki anak dari istri keduanya. Dia juga tidak tahan dengan cemohan mertuanya dan memilih berpisah. Hendra kembali bertemu dengan seorang wanita yang sudah bercerai dengan suaminya tetapi memiliki seorang anak yang sudah berusia 10 tahun.Karena putus asa tak juga memiliki
Fikri memejamkan mata mengucap syukur, menatap mata sayu istrinya yang masih lemah. Bahkan Yumna belum mampun berucap apapun semenjak bertemu dengan suaminya.Dia merasa lega yang tak terkira. Beban yang sangat berat telah diangkat dari bahu dan hatinya. Perasaan takut dan cemas yang telah menghantui dia selama berjam-jam akhirnya mulai memudar.Dia merasa seperti telah diberi kesempatan kedua untuk hidup dan merasakan kebahagiaan bersama suaminya. Dia merasa sangat berterima kasih kepada suaminya yang telah berjuang keras untuk menemukannya.Suaminya telah melakukan hal yang tidak mungkin untuk menyelamatkannya, dan dia tidak akan pernah bisa membalas semua yang telah suaminya lakukan untuknya. Terlihat lega dan bahagia, dengan senyum yang lebar dan mata yang berkilauan.Merasa seperti ingin menangis karena kebahagiaan dan kelegaan yang dia rasakan. Dia membuka pelukannya dan merangkul suaminya erat, seperti tidak ingin melepaskannya lagi.“Indah,” lirihnyaSstt…“Mas sudah tahu, maa
Dia mundur perlahan menggelengkan kepala pelan, membuka pintu perlahan dan lari dari sana. Setelah lama berlari dia sangat kelelahan dia terjatuh ke tanah dengan perutnya yang membesar, membuatnya sulit bernapas.Rambutnya yang panjang dan hitam terurai di sekitar wajahnya, menutupi mata coklat tuanya yang terlihat takut. Baju hamilnya yang longgar dan nyaman kini terlipat dan kusut, menampilkan perutnya yang membesar.Dia melihat ke atas, langit yang mulai redup dia harus bisa keluar dari dalam hutan ini sebelum malam tiba dan gelap. Dia merasa sakit di perutnya karena jatuh, dan khawatir tentang keselamatannya dan bayinya.Dia sangat lelah dan sudah tak kuat lagi untuk berjalan sebab sudah terlalu jauh dari posisi dimana gubuk berada, rasanya percuma dia kabur jika akan mati juga hanya dengan cara yang berbeda.“Mas Fikri,” lirih Yumna meringis menyandarkan tubuhnya di sebuah pohonSementara Galang yang menyadari Yumna kabur, kalang kabut mencarinya membangunkan anak buahnya dengan
Dia memegang gagang pintu namun terbuka dengan sendirinya padahal dia tidak menekan atau mendorong pintu tersebut, mungkin karena memang pintunya yang tidak di kunci sehingga tersenggolnya saja mudah terbuka.Dia sempat kaget karena pintu terbuka dengan sendirinya, saling pandang pada Erlan, seolah berbicara melalaui matanya. Kepalanya menoleh ke arah dalam dan melihat sedikit dari celah pintu yang terbuka terlihat barang yang berserakan di lantai. Matanya membulat penuh dan membuka pintu itu semakin lebar.Ruangan itu sudah sangat berantakan dengan banyak barang yang berserakan di lantai juga kursi dan meja yang sudah terbalik tak pada posisinya. Perasaannya semakin tak enak, tubuhnya hampir saja luruh ke lantai beruntung Erlan menahan dan menyadarkan Fikri untuk kuat. Dia tak kuat untuk melangkah sebab tak siap untuk sesuatu yang akan dia lihat atau temukan.“Sadar dan kuatlah Fik,” Erlan mengguncang tubuh Fikri yang menatap kosong kedepan “ Percayalan kita belum terlambat menyelam