“Ibu sudah memiliki perempuan yang cocok untuk kamu nikahi Fikri,” sambutan pertama di meja makan yang keluar dari mulut mertuaku.
Rasanya aku sudah tidak kuat lagi harus kembali diam dan mengalah untuk tidak membalas apa yang di katakan ibu. Tapi aku masih menghargai Mas Fikri sebagai suamiku, aku masih berharap dia bisa membela dan melindungi harga diriku sebagai istrinya. “Aku ingin makan dengan tenang Bu. Jangan berbicara hal yang mustahil.Aku sudah memiliki istri dan tidak akan menikah lagi." Hatiku sedikit menghangat mendengar pembelaan Mas Fikri. “Oh... Sekarang kamu semakin berani sama ibu ya. Durhaka kamu sama ibu Fikri, sekarang kamu menjadi anak pembangkang semenjak menikah. Menyesal ibu memberi restu kamu menikah dengan perempuan tua ini." “Sebenarnya apa yang salah dengan usiaku Bu? Kenapa ibu selalu membahas perihal usiaku yang tidak lagi muda?” Akhirnya aku bersuara juga, sebab sesak di dada tidak lagi kuat untuk kutahan. Demi mengurainya aku harus mengeluarkan sesuatu yang tertahan sejak kemarin. “Pake nanya lagi kamu. Kamu itu sudah tua, udah pasti bakalan susah punya anak. Bisa-bisa anak saya gak punya keturunan lagi!” Sarkas dan sangat menohok tapi juga tidak berperasaan. Dia adalah seorang wanita dan seorang Ibu, bagaimana mungkin lidahnya begitu ringan dan tajam mengatakan itu pada anak perempuan orang lain. “Astaghfirullah Bu. Jangan mendahului kuasa Tuhan Bu!" Tanganku sudah mengepal kuah di bawah meja, andai saja buka mertuaku, mungkin wajahnya sudah tak karuan kubuat. "Bahkan saya baru satu hari menjadi istri Mas Fikri, ibu sudah berniat untuk menikahkan Mas Fikri dengan wanita lain! Apa sedikit saja ibu tidak kasihan pada saya Bu?” Percuma saja itu bukan kata ajaib yang bisa menembus sisi kemanusiaan atau membuka mata hatinya. Yang ada aku semakin di buat tertekan dengan kalimat hinaan lainnya. “Ngapain kasian sama kamu, harusnya kamu tolak lamaran anak saya. Beruntung banget kamu ya, perawan tua di nikahi anak saya. Harusnya kamu yang kasihan sama anak saya. Pasti akan susah punya anak kalau nikah sama kamu. Harusnya kamu mikir begitu!” “Saya pasti akan hamil, dan memberikan cucu untuk Ibu, Bu. Percaya sama saya, saya masih produktif Bu." Aku masih berusaha meyakinkan, dan tidak terlalu kasar dalam menjawab kalimat kasar dari ibu mertuaku sendiri. Dia seperti orang yang hilang akal dan naluri karena obsesi sebuah anak atau cucu. Wajar menginginkan seorang cucu tapi berlebihan sekali jika menghalalkan segala cara dan memaksakan segala kehendaknya. “Alahh gak percaya saya, kamukan sudah 32 tahun. Kalau kamu susah untuk punya anak, kasihan Fikri buang-buang waktu nunggu kamu hamil. Makanya lebih baik dari sekarang kamu ijinkan Fikri untuk menikah lagi atau kamu minta cerai aja dari Fikri kalau gak mau di madu." Astaghfirullahaladzim. Keterlaluan! “Cukup Bu! Saya mau makan, kenapa ibu sudah buat keributan pagi-pagi sih!” Hanya kalimat itu yang bisa Mas Fikri ucapkan, dia bahkan tidak bereaksi berlebihan dengan keinginan ibunya yang gak masuk akal itu menurutku. Dia bisa seperti memaklumi keinginan ibunya, dan tidak menganggap sakit hatiku sama sekali. “Ya, makanya kamu nurut sama ibu. Sekarang kamu jadi suka bentak dan ngelawan sama Ibu ya,” ibu pergi meninggalkan meja makan. Mas Fikri menyentuh tanganku, dia menatapku dengan sangat lembut. “Maafkan ibu ya, tolong kamu lebih bersabar dan jangan di ambil hati." Benar, suamiku ini sangat tidak bisa marah pada ibunya. Bahkan dia lebih memilih untuk aku bersabar dari pada menegur dan menasehati ibunya. “Ya. Aku juga bukan malaikat yang gak punya dosa dan nafsu Mas. Aku juga bisa marah kalau terus-terusan di tekan dan di pojokan seperti ini." Jawabku kesal, karena memang tidak ada pembelaan dari suamiku sendiri, tentu aku sedikit kecewa dengannya. “Aku percaya kamu orang yang sabar." Sebagai seorang laki-laki Mas Fikri memang sangat lembut dalam bertutur kata. Makanya aku bisa menerimanya dengan cepat, sebab perlakuan nya yang sopan juga sangat patuh kepada ibunya. Tapi apa aku bisa bertahan dengan perlakuan ibu mertuaku yang selalu menekan psikisku. Bahkan baru satu hari aku menjadi menantunya, rasanya aku sudah stres dan akan gila. Tidak kupungkiri aku memang sudah mencintai Mas Fikri. Tapi kalau ibu tetap memaksa Mas Fikri untuk menikah lagi, tentu aku tidak akan bisa menerima itu. Lebih baik aku memilih bercerai dengan Mas Fikri dari pada aku harus dimadu. Setelah selesai memakan sarapan dan memakan hati pagi ini, Mas Fikri berangkat kerja. Seminggu sebelum menikah aku memang memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku atas permintaan Mas Fikri. Awalnya aku sempat berberat hati, sebab pekerjaan dan jabatan yang kumiliki sekarang adalah sesuatu yang dulu aku perjuangkan dengan sungguh. Tapi dengan alasan dan pandangan yang Mas Fikri sampaikan padaku. Membuat aku ikhlas untuk melepaskan pekerjaan itu. “Sudah berangkat si Fikri?” tanya ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang ku. Aku sedikit gugup karena kaget “Eh.. sudah Bu. Baru saja.” Aku berusaha seramah mungkin pada Ibu. Walaupun sorot matanya tidak sedikitpun memancarkan perdamaian padaku. Mata itu selalu tajam layaknya elang yang mendapatkan mangsa dan siap menerkamnya. Tapi aku masih ingat pesan Mas Fikri, untuk berusaha mengalah dengan ibu. “Apa kamu sudah siap untuk 'di madu' sama Fikri?” “Maksud ibu apa Bu?” pertanyaan ibu tak ku jawab, malah justru aku bertanya balik. “Kamu masih pura-pura bodoh apa gimana sih. Saya gak bercanda dengan keinginan saya untuk Fikri menikah lagi." Rasanya seperti berada di atas puncak gunung lalu terjun dan mati. Sudah susah-susah mendaki tapi mati sebelum menikmati keindahannya. Itulah yang kurasakan saat ini. Bahkan aku belum merasakan atau menikmati keindahan dalam pernikahanku ini, tapi sudah ada wacana dan di paksa untuk memilih ‘berpisah atau dimadu’ pernikahan macam apa ini? “Bu bersabarlah aku pasti bisa hamil. Rasanya terlalu cepat jika baru satu hari aku menjadi istri Mas Fikri. Ibu sudah memaksa ku untuk rela dimadu.” Kembali kucoba untuk meyakinkan, dan meminta ibu untuk bersabar. Bahkan jika dalam waktu tiga tahun aku tidak kunjung hamil juga aku sendiri yang akan meminta Mas Fikri menikah lagi atau bercerai. Walaupun sebenarnya itu semua kehendak yang Maha Kuasa. Tapi apa? Bahkan baru satu hari sudah dia paksa untuk membagi suami bahkan di ancam berpisah. Sungguh tidak masuk akal sekali. “Apa kamu bisa menjamin dalam waktu 1 bulan kamu bisa langsung hamil? Seandainya tidak hamil nunggu lagi sampai 1 tahun, kalau belum juga 2 tahun, 3 tahun dan seterusnya. Kelamaan makan waktu bukan? Usia kamu semakin tua pasti juga semakin sulit memiliki anak. Makanya lebih baik dari sekarang Fikri menikah lagi dengan wanita muda, yang sudah pasti masih produktif dan bisa cepat memiliki anak." Sejauh dan seluas itu fikirannya memikirkan masa depan. Tapi terlalu dangkal dalam mengambil keputusan. ibu masih saja teguh dalam mempertahankan keinginan nya yang tak berlogika dan berperasaan itu. “Kamu kan pintar dan lebih tahu agama, pasti kamu juga tahu kan, kalau poligami tidak di larang dalam agama." “Poligami memang tidak di larang Bu. Tapi bukan berarti seorang suami bebas untuk memiliki istri lebih dari satu tanpa alasan yang jelas.” “Alasannya jelas kan, karena kamu sulit memiliki keturunan.” "Aku baru menikah satu hari Bu. Bagaimana mungkin ibu bisa menyimpulkan aku sulit memiliki keturunan?" "Apa kamu juga bisa menjamin kalau kamu akan segera memiliki keturunan?" Selain tidak berperasaan ternyata ibu pandai juga bermain kata. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin tapi dia bertindak seolah keinginannya tepat dan terjamin sesuai dengan keinginannya. "Kenapa ibu tidak tanyakan itu pada diri ibu sendiri? Apa dengan menikahkan Mas Fikri lagi, akan menjamin bahwa dia akan langsung hamil dalam waktu satu malam?" "Paling tidak dia menikahi wanita yang masih muda usianya. Tidak setua kamu." “Astaghfirullah Bu. Kenapa ibu tega sekali padaku.Apa yang salah dengan usia yang di berikan Allah kepadaku? Istighfar Bu." Aku hanya bisa mengusap dadaku, agar tetap sabar dan tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada ibu mertua yang masi aku hargai ini. “Alah.. Istighfar, Istighfar. Gayanya paham agama, tapi mempersulit suami yang ingin punya keturunan "Kebahagiaan mulai menyelimuti keluarga Fikri. yang hilang memang selalu akan tergantikan. Kehilangan ibunya di ganti dengan kehadiran sang ayah juga kedua anak kembar yang selama kehamilannya tidak pernha ia ketahui. Kehidupan nya tetap berjalan, tetap tidak pernah terlepas dari yang namanya cobaan. Entah dengan cara seperti apa ujian itu datang sebagai manusia kita hanya bisa berdoa dan terus berserah. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa anak kembar Mereka kini mengijak usia remaja. Usia yang cukup membuat Fikri dan Yumna kewalahan dengan tingkah dua anak remajanya. "Aku menyukai seorang gadis Bu," celetuk Azzam tiba-tiba saja saat di meja makan. walaupun mereka anak laki-laki tapi sejak kecil Yumna dan Fikri selalu mengajarkan dua anaknya untuk saling terbuka. Dan bercerita banyak hal dengan keluarga daripada dengan orang lain. Dan kebiasaan itu tertanam hingga dewasa pada kedua anaknya, mereka selalu menceritakan apa saja pada kedua orang tuanya. "Apa? Azzam kamu masih
“Mas,” Yumna memanggil suaminya yang tengah terlelap di sampingnya. Dia menggoyang tubuh Fikri dengan pelan, sambil merasakan mulas di perutnya. “Kenapa sayang?” dia bangun mengucek kedua matanya yang terasa lengket sebab masih jam dua pagi.Yumna mendesis merasakan sakit yang kadang hilang kadang tibul di perutnya “sepertinya dia mau keluar,” ucapnya masih bisa tersenyum walau menahan sakit.“Apa!!” Fikri memekik panik “Mana yang sakit sayang, gimana ini kita harus gimana,” Fikri panik bukan main. Yumna yang melihat kepanikan suaminya menggelang dan membuang nafas.“Mas. Kamu tenang dulu jangan panik gitu dong,” kesalnya. Pasalnya dia yang kesakitan tapi suaminya berlebihan panik sehingga tidak bisa melakukan apapun.“Maaf aku bingung, dan panik sayang,” jawab Fikri tergesah bahkan dahinya berkeringat“Tenang. Ambil tas perlengkapan bayi yang sudah aku siapkan,” Fikri mendengarkan araah Yumna, padalah dia tengah kesakitan tapi dia masih bisa menahannya “terus kamu pesan taksi di apl
Salma juga korban akan keegoisan mertuanya dia menikah dengan Hendra, namun dua tahun pernikahannya belum di karuniai anak juga.Mertuanya menganggap dia mandul dan memaksa Hendra untuk menikah lagi tapi Salma tak terima dan memilih bercerai dan pergi dari Hendra.Akhirnya Hendra menikah lagi dengan pilihan orang tuanya satu tahun pernikahan istrinya juga belum hamil. Salma yang mengetahui itu senang ingin membalas perlakuan mantan suami dan mantan mertuanya dengan menyombongkan diri dan memberitahu Hendra dan orang tuanya bahwa saat mereka bercerai dia tengah hamil.Hendra sangat senang dan ingin kembali namun karena terlanjur kecewa Salma tak mau dan kembali pergi entah kemana. Bertahun-tahun menikah tak juga memiliki anak dari istri keduanya. Dia juga tidak tahan dengan cemohan mertuanya dan memilih berpisah. Hendra kembali bertemu dengan seorang wanita yang sudah bercerai dengan suaminya tetapi memiliki seorang anak yang sudah berusia 10 tahun.Karena putus asa tak juga memiliki
Fikri memejamkan mata mengucap syukur, menatap mata sayu istrinya yang masih lemah. Bahkan Yumna belum mampun berucap apapun semenjak bertemu dengan suaminya.Dia merasa lega yang tak terkira. Beban yang sangat berat telah diangkat dari bahu dan hatinya. Perasaan takut dan cemas yang telah menghantui dia selama berjam-jam akhirnya mulai memudar.Dia merasa seperti telah diberi kesempatan kedua untuk hidup dan merasakan kebahagiaan bersama suaminya. Dia merasa sangat berterima kasih kepada suaminya yang telah berjuang keras untuk menemukannya.Suaminya telah melakukan hal yang tidak mungkin untuk menyelamatkannya, dan dia tidak akan pernah bisa membalas semua yang telah suaminya lakukan untuknya. Terlihat lega dan bahagia, dengan senyum yang lebar dan mata yang berkilauan.Merasa seperti ingin menangis karena kebahagiaan dan kelegaan yang dia rasakan. Dia membuka pelukannya dan merangkul suaminya erat, seperti tidak ingin melepaskannya lagi.“Indah,” lirihnyaSstt…“Mas sudah tahu, maa
Dia mundur perlahan menggelengkan kepala pelan, membuka pintu perlahan dan lari dari sana. Setelah lama berlari dia sangat kelelahan dia terjatuh ke tanah dengan perutnya yang membesar, membuatnya sulit bernapas.Rambutnya yang panjang dan hitam terurai di sekitar wajahnya, menutupi mata coklat tuanya yang terlihat takut. Baju hamilnya yang longgar dan nyaman kini terlipat dan kusut, menampilkan perutnya yang membesar.Dia melihat ke atas, langit yang mulai redup dia harus bisa keluar dari dalam hutan ini sebelum malam tiba dan gelap. Dia merasa sakit di perutnya karena jatuh, dan khawatir tentang keselamatannya dan bayinya.Dia sangat lelah dan sudah tak kuat lagi untuk berjalan sebab sudah terlalu jauh dari posisi dimana gubuk berada, rasanya percuma dia kabur jika akan mati juga hanya dengan cara yang berbeda.“Mas Fikri,” lirih Yumna meringis menyandarkan tubuhnya di sebuah pohonSementara Galang yang menyadari Yumna kabur, kalang kabut mencarinya membangunkan anak buahnya dengan
Dia memegang gagang pintu namun terbuka dengan sendirinya padahal dia tidak menekan atau mendorong pintu tersebut, mungkin karena memang pintunya yang tidak di kunci sehingga tersenggolnya saja mudah terbuka.Dia sempat kaget karena pintu terbuka dengan sendirinya, saling pandang pada Erlan, seolah berbicara melalaui matanya. Kepalanya menoleh ke arah dalam dan melihat sedikit dari celah pintu yang terbuka terlihat barang yang berserakan di lantai. Matanya membulat penuh dan membuka pintu itu semakin lebar.Ruangan itu sudah sangat berantakan dengan banyak barang yang berserakan di lantai juga kursi dan meja yang sudah terbalik tak pada posisinya. Perasaannya semakin tak enak, tubuhnya hampir saja luruh ke lantai beruntung Erlan menahan dan menyadarkan Fikri untuk kuat. Dia tak kuat untuk melangkah sebab tak siap untuk sesuatu yang akan dia lihat atau temukan.“Sadar dan kuatlah Fik,” Erlan mengguncang tubuh Fikri yang menatap kosong kedepan “ Percayalan kita belum terlambat menyelam