Aku mengeliat diatas kasur. Mataku menatap sekeliling, ternyata sudah petang. Aku kelelahan setelah menangisi takdirku yang begitu kacau. Aku pun perlahan bangkit dan menutup gorden yang masih menampakkan pemandangan jalanan di kota Seoul saat malam hari. Aku memegangi perutku saat terasa perih. Aku teringat jika belum makan apapun sejak kemarin malam. Bahkan hari ini pun tidak, dan aku sungguh melewatkan obat yang diberikan dokter kepadaku tadi. Aku akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum kembali tidur. Rasanya hanya ini yang bisa ku lakukan. Lima belas menit berlalu, aku pun sudah merasa sedikit segar setelah membersihkan diri. Kini saatnya aku untuk kembali tidur hingga esok hari. - “Ayana suka sama makanan ini Sen?” tanya Rissa memastikan bahwa makanan yang ia bawa benar-benar kesukaan Ayana. Arsen mengangguk pada Wanita disampingnya. Ia melihat kearah Rissa yang terus memandangi bungkus makanan tersebut. “Lo ngga percaya
Rissa dan Arsen terus menemani malam Ayana yang kelam. Rissa berusaha menghibur hati ibu muda ini agar kuat dalam menjalani kenyataan pahit yang menimpanya. Begitu juga dengan Arsen yang berusaha melucu untuk membuat adik kecilnya tersenyum. “Bang, lo kapan deh punya pacar?” tanya Ayana dengan menatap Arsen. Arsen tertawa seketika mendengar pertanyaan Ayana. Ia menggeleng, malu mendengar pertanyaan Ayana. “Apa sih, gue mau fokus ngurus lo. Mau jadi abang yang baik buat lo,” jawab Arsen tegas. Ayana menghela, “Sampai kapan? Lo tiap tahun makin tua ya,” sahut Ayana dengan ketus. “Dih,sakitnya udah hilang ya jadi ketusnya balik lagi.” Ucap Arsen dengan menoyor kepala Ayana pelan. Ayana tertawa mendengar ucapan Arsen. Arsen yang merasa lelah pun tiba-tiba meninggalkan dua wanita ini sendiri didalam kamar Ayana. Sorot mata Ayana terus mengikuti arah pergi punggung Arsen, hingga menghilang dibalik tembok. Ayana pun merubah tatapannya un
Air mata Ayana terus mengalir tanpa henti karena merasa sakit dibagian perutnya, dan juga memikirkan keadaaan anaknya disana. Apa ia merasa baik-baik saja? Setelah mendapatkan perlakuan buruk dari sang Ayah. Arsen dengan sigap terus menggendong tubuh Ayana, ia membawanya ke rumah sakit terdekat dari Apartemen milik Adira. Untung saja jaraknya tidak jauh, jadi Ayana bisa dengan cepat ditangani. Arsen dan Rissa merasa panik menunggu Ayana yang sedang berjuang untuk anaknya. Bagaimanapun Arsen sangat menyayangi Ayana walaupun bukan berasal dari keluarga biologisnya. Sudah dua puluh lima menit dokter menangani Ayana, akhirnya beliau pun keluar. Arsen dengan segera menghampirinya. “Bagaimana keadaan Ayana, Dokter?” tanya Arsen dengan raut cemas. “Keadaan janin Nona Ayana sangat lemah, namun masih bisa untuk diselamatkan karena benturannya tidak terlalu keras mengenai bagian perutnya. Namun, untuk keadaan ibunya sendiri sangat lemah. Jika jantung Nona
Hari ini adalah hari minggu, dimana Adira maupun Ayana libur dari kegiatan yang biasa mereka jalani. Seperti pagi – pagi sebelumnya, Ayana sudah disibukkan dengan morning sicknessnya. Ia harus berlari beberapa kali kedalam kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Setidaknya ia merasa senang, karena anak-anaknya tumbuh dengan baik. Saat Ayana sibuk didalam kamar mandi, ia mendengar suara ketukan pintu beberapa kali. Namun ia tidak menggubrisnya dan terus memuntahkan seluruh isi perutnya. Ayana tertegun saat merasa ada seseorang yang memijat tengkuknya dengan halus. Perlahan Ayana pun mendongak, dan melihat sosok yang terpantul melalui cermin dihadapannya. Adira tampak sabar memijat tengkuk Ayana hingga ia merasa lega. “Maaf saya lancang masuk, soalnya dari tadi sudah saya ketuk tapi tidak ada jawaban,” ucap Adira kemudian setelah Ayana sudah merasa baikan. Ayana tersenyum sembari mengangguk. Ia pun membenarkan posisi berdirinya den
Adira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ia menatap lurus, kearah dimana Ayana tidur dengan pulas. Sarah malam ini menyuruh Adira dan Ayana menginap. Libur satu hari kerja, tidak masalah untuk perusahaan milik Adira. Sesekali ia memegangi pipinya yang terasa nyeri akibat pukulan keras dari Rajendra. Pikirannya kini berputar pada kondisi Ayana yang sangat lemah. Ia pun tadi sempat menghalangi Rajendra saat hendak memukulnya, hingga Ayana lah sebagai gantinya yang terkena pukulan Rajendra. Adira menghela napas berat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Hidup sebagai orang dewasa sangatlah melelahkan. Masalah hidupnya kian hari semakin bertambah, tidak ada satupun yang terselesaikan dengan baik. Kini Adira pun bangkit, ia berjalan perlahan menuju ranjang tempat Ayana tidur. Ia duduk tepat disebelah Ayana dengan perlahan. Adira menatap lekat wajah istri kecilnya tersebut. Tangannya ia ulurkan untuk menata helaian rambut Ayana yang menutup
Ayana membuka bungkus yang melindungi bubur yang ia pesan dari segala macam kuman. Ia kini memindahkan buburnya kedalam mangkuk, sebelum ia memakannya. Rautnya tampak bahagia saat buburnya sudah sampai. “Loh Nona Ayana beli bubur sendiri?” tanya Bi Yanti saat mendapati Ayana tengah duduk di ruang makan. Ayana menggeleng, “Engga kok Bi. Ini beli lewat aplikasi online,” jawab Ayana ramah. “Nona ngidam makan bubur ya pagi ini? Kenapa ngga minta beliin Aden Adira?” tanya Bi Yanti. Ayana diam, ia tampak menggigit bagian bawah bibirnya. Mungkin benar kini ia sedang mengidam. Tapi untuk meminta bantuan Adira, rasanya tidak akan. “Aku ngga mau ganggu Mas Adira, Bi.” Jawab Ayana kemudian. Bi Yanti pun mendekat kearah Ayana. Ia menatap Ayana dengan lembut, seolah sedang berbicara dengan anaknya sendiri. “Bibi mau kasih tahu aja ke Nona. Kalau Nona hamil, ya itu tanggungan kalian berdua. Tanggungan Nona dan Aden sebagai orang tua anak kalian. Kalau cuma
Aku berlari dengan cepat untuk masuk ke rumah Rajendra, aku tidak ingin siapapun mengetahuinya jika aku sedang menangis saat ini. Aku tidak ingin menimbulkan masalah lagi di keluarga Rajendra. “Lo kenapa?” Aku tersentak saat Arya dengan cepat meraih lenganku, membuat langkahku terhenti. Aku terus menunduk, tidak menatap balik Arya yang sedang mengajak ku berbicara. Aku hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara agar Arya tidak terlalu curiga. “Adira buat masalah sama lo lagi ya?” tanya Arya padaku. Arya tampak berlutut, ia ternyata sangat ingin melihat wajahku untuk memastikan keadaanku. Dadaku kembali terasa sesak setelah berlari begitu cepat. Penglihatanku pun perlahan kabur saat aku berusaha untuk mendongak, untuk menatap atap – atap rumah. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali mencoba untuk mengembalikan fokus, namun gagal. - Perlahan aku membuka mata saat mendengar suara keras menggema ditelingaku. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba menyes
Ayana tersenyum lebar saat berdiri di balkon kabin yang menampakkan pemandangan kota Paris dan memperlihatkan menara Eiffel disana. Ya, Adira menyiapkan liburan untuk mereka berdua. Adira merasa bersalah karena membuat Ayana menderita selama bersama dengannya. Pastinya juga sesuai perintah Rajendra yang terus memaksa Adira untuk mengajak Ayana pergi berlibur. Mereka memutuskan untuk pergi ke Paris karena Ayana sangat ingin kembali ke kota ini. Dimana ia memiliki banyak kenangan kecil yang manis bersama sang Mama. Tangan Ayana ia ulurkan untuk mengusap perutnya yang kini semakin terlihat membesar meskipun baru berumur 4 bulan. Mungkin karena ia sedang mengandung anak kembar, jadi perutnya dua kali terlihat lebih besar. “Apa kalian senang Nak?” tanya Ayana pada dua buah hatinya dengan senyum yang tiada lekang sepanjang waktu. Mereka sudah sampai sejak Sore hari, waktu di Paris. Kini Adira sedang mandi dan membiarkan Ayana yang sudah membersihkan di