Seluruh pasang mata langsung terbelalak mengetahui keputusan Denver yang tak terduga. Termasuk Aretha yang memang menunggu momen ini.
‘Bagus, Denver! Akhirnya kau benar-benar membuang Kak Anais!’ batin adik Anais itu girang.
“Apa yang baru saja kau katakan, Denver?”
Leah-ibu Denver yang berpenampilan nyentrik dengan model rambut pixie cut silvernya itu mengerutkan kening. Dia seolah tak percaya dengan ucapan sang putra yang masih ingin melanjutkan perjodohan dengan keluarga Devante.
“Ibu, kerja sama kita dengan DV Group tidak bisa hancur begitu saja hanya karena rumor ini. Akan lebih baik jika Aretha menggantikan Anais sebagai calon istriku. Bukankah ini solusi yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun?” Denver dan otak liciknya itu menyahut dengan mulus.
Dirinya yang mendapat tatapan dari berbagai arah, merasakan sorotan lebih tedas dari sisi Anais. Ya, dia yakin bahwa mantan tunangan yang dibuangnya itu tengah terbakar lava amarah.
Namun, Denver sengaja dan terang-terangan memandang Aretha sembari berkata, “Saya rasa Aretha memang lebih baik dari Anais.”
“Ah!” tukas Aretha yang refleks menilik Anais sekilas. “Kak Denver berlebihan. Mana mungkin seperti itu? Kak Anais adalah seniman terkenal dan Aretha menghormatinya. Bagaimana bisa Aretha menggantikan posisi Kak Anais sebagai calon istri Kak Denver?”
Putri kedua Tigris Devante itu berlagak merendah, tapi setiap nadanya seolah menyentil Anais. Dan tentu saja, wanita yang disindirnya tahu benar, bahwa sang adik berusaha menjilat simpati orang-orang.
“Lihatlah, Kakek, bukankah Aretha sangat santun dan terpelajar? Saya yakin Aretha wanita yang tepat untuk mendampingi saya,” tutur Denver kembali meyakinkan.
Sungguh, Anais serasa mual mendengar setiap ucapan dua manusia menjijikkan tersebut. Pasangan rubah yang membuatnya tampak seperti wanita rendahan itu benar-benar memiliki lidah yang licin.
Sayangnya, bagi Hans yang terpenting bukan tentang pengganti atau lanjutan perjodohan ini, tapi kehormatan keluarga Herakles yang terseret jatuh sebab rumor tunangan sang cucu.
Namun, ketika Hans menggulir iris ke arah Aretha, dia pun bertanya, “Apa kau memang menyukai putri kedua Tuan Tigris, Denver?”
Sekejap, si pemilik nama terkesiap.
“Aretha wanita yang baik, Kakek. Dia cantik dan mengerti etika, saya … saya menyukainya,” balas Denver yang langsung mendapat seringai sinis dari Anais.
Pria tersebut sungguh terganggu dengan reaksi mantan tunangannya itu. Dia merasa senyum Anais begitu mengejeknya.
‘Anais ... berani sekali kau memasang tampang seperti itu!’ Pria tersebut membatin sengit.
“Saya menyukai wanita manis seperti Aretha, bukan wanita tidak tahu diri dan tukang selingkuh!” sambung Denver penuh sindiran tedas.
Sungguh, Anais seperti tersapu gelombang kedongkolan.
‘Sialan kau, Denver!’ Dirinya membatin dengan leher menegang.
Wanita itu sudah berupaya keras menekan egonya untuk datang ke pertemuan keluarga ini, tetapi Denver malah mengulitinya tanpa ragu.
Dengan tatapan amat tajam, Anais pun menyambar, “Tuan Denver!”
Seketika, seluruh pandangan tersita oleh Anais. Bahkan Leah yang tampak jenuh di tengah kepelikan ini, turut memaku tatapan.
“Apakah Anda sudah selesai bicara?” sambung Anais mengangkat sebelah alisnya.
Tangannya merogoh sesuatu dari tasnya, lantas mengeluarkan dua cincin tanda pertunangan dirinya dengan Denver, yang membuat orang-orang semakin terbelalak.
“Saya tidak akan memohon maaf atas rumor ini, sebab kita memang tidak ada hubungan apapun. Anda sudah memutus pertunangan sebelum berita miring tersebar. Dan jika bicara tentang perselingkuhan, bukankah seharusnya Anda yang lebih malu?!” Anais mendengus dengan sengitnya.
Sungguh, sederet kalimat itu langsung membuat Aretha tersambar ketegangan. Air mukanya berubah kaku, was-was bila sang kakak asal bicara.
“Tuan Hans, Cucu Anda sudah lebih dulu berselingkuh dengan Adik saya. Mereka menjalin hubungan rahasia dan ketika saya memergokinya, Tuan Denver langsung memutus pertunangan dengan saya. Sebab itulah, sepasang cincin ini ada di tangan sa—”
“Apa yang Kakak katakan?! Mengapa Kak Anais bicara sembarangan?” sahut Aretha lekas memangkas tuturan Anais. “Kakak tidak bisa melimpahkan kesalahan pada orang lain yang tidak tahu apa-apa!”
Netranya melayap buncah ke arah Denver, tapi sang pria juga memampangkan ekspresi serupa dengannya.
Hans yang mendengar pengakuan Anais langsung tersengat getir kemurkaan. Dia menghunus tatapan bengis pada sang cucu yang duduk di sebelahnya.
“Apa maksud semua ini, Denver? Apa benar kau berselingkuh lebih dulu dengan putri kedua Tuan Tigris?!” sentaknya amat geram.
“Tentu saja tidak, Kakek! Ini omong kosong, Anais hanya membual karena dia ketahuan selingkuh.” Pria itu membalas tanpa rasa malu.
Sampai akhir pun dirinya tak ingin jatuh dan tetap menyudutkan Anais.
Sekejap, hal itu memacu sudut mulut Anais merayap ke atas. Raut wajah yang biasanya tampak anggun, kini berubah bengis saat tersenyum.
‘Aku benar-benar muak melihat sandiwaramu dan Aretha!’ sungutnya dalam hati.
Anais berpaling menatap adiknya. Meski merasa jijik, tapi dirinya ingin memberikan serangan terakhirnya.
“Tidak perlu sungkan, Adikku. Lagi pula kau sudah merebutnya, pria itu milikmu sekarang. Dan aku mengucapkan selamat untuk pernikahan kalian!”
Anais hendak bangkit karena tak tahan menghirup udara yang sama dengan adik dan mantan tunangannya itu. Dia bisa benar-benar gila karena terus mendengar alibi mereka yang tak masuk akal.
Namun, dia terpaksa berhenti saat tiba-tiba ada yang menyahut, “Apakah saya terlambat?”
Sontak, sepasang manik Anais berubah selebar cakram begitu menatap seorang pria yang baru saja memasuki ruangan tersebut.
“Saya dengar akan ada yang menikah, haruskah saya juga memberinya ucapan selamat?” tukas Jade yang langsung mendapat sorotan dari semua orang, kecuali Hans dan Leah.
Pria itu memindai setiap orang, ketika matanya saling beradu dengan Anais, wanita itu pun tegang bukan main.
‘A-apa? Bukankah pria ini …,’ batinnya tak percaya.
Ya, sungguh sial. Bagaimana bisa dirinya bertemu Jade di tempat ini? Mau berapa lama dia memaku tatapan, pria tinggi besar dengan setelan jas silver itu memiliki rupa yang sama dengan partner tidurnya kemarin malam.
Sensasi cemas menjalar dari kaki sampai mercu kepala Anais. Dirinya semakin tertegun karena Jade tak juga mengalihkan pandang darinya.
‘Aish … apa yang dia lakukan di sini? D-dia tidak mungkin mengenaliku, bukan? Ya, benar. Aku berhasil pergi sebelum dia bangun, mustahil dia mengingat wajahku!’ Anais berusaha yakin dalam batinnya.
Meski maniknya gemetar samar, tapi wanita tersebut berupaya keras menekan rasa gugupnya.
Anais pun mengalihkan tatapan pada Hans dan lantas berujar, “Saya permisi, Tuan.”
Dirinya mangkir usai memberikan hormat. Namun, sialnya dia harus melewati Jade yang masih berdiri di dekat pintu keluar.
“Tunggu, Nona!”
Firasat buruk Anais memuncak kala Jade menyeru dan menghentikan lajunya.
‘Aish, apa dia bener-benar mengenaliku?’ Wanita itu bertambah was-was.
“Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Jade yang langsung membuat Anais membeku.
“Maaf?” Anais menyahut dengan kening mengernyit.Debar jantungnya bergemuruh keras karena Jade ternyata mengenali dirinya. Namun, dia tak bisa langsung membenarkan asumsi pria itu atau suasana akan menjadi kacau, bila semua orang tahu bahwa Jade adalah pria yang tersandung rumor bersama dirinya.“Anda terlihat tidak asing. Di mana kita pernah bertemu?” Jade bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Sungguh, Anais merasa pria itu sengaja memancingnya. Dia pun memasang air muka sedingin mungkin, agar lawan bincangnya tak bisa melihat sisi dirinya yang gugup.“Saya rasa Anda salah orang, Tuan. Saya belum pernah melihat Anda. Jadi permisi, saya sedang buru-buru!” tukas Anais amat tegas.Dia langsung berlalu melewati Jade yang memasang tatapan lekat. ‘Ah … menarik. Biar aku lihat, mau seberapa jauh kau akan melarikan diri dariku, Nona!’ Pria itu membatin penuh tekad.Jade memang bungkam, tapi telinganya terpampang tajam mendengar arah langkah Anais yang tampaknya bergerak ke sisi kiri.
Anais mengerjap tidak percaya. Dia benar-benar tak menyangka jika Jade akan melontarkan kata-kata yang teramat gila. “Lelucon Anda sangat tidak lucu, Tuan!” sungut wanita itu menahan kesal. Dia berpaling dan ingin segera meninggalkan Jade, tapi mendadak sang pria malah mengeluarkan benda pipih hitam yang sangat membuat Anais tertegun. ‘Ah, ponselku!’ Dirinya membatin dalam benak. Nyaris saja tangannya merebut gawai itu, tapi Anais menahan diri karena tak mau ketahuan langsung oleh Jade bahwa sejak tadi dia berbohong. “Saya menemukan ponsel asing yang ditinggalkan seseorang. Menurut Nona, siapa pemilik yang ceroboh ini?” tutur Jade seraya menekan tombol power pada benda tersebut. Seketika, potret cantik Anais pun terpampang di sana. Kali ini wanita itu tidak bisa mengelak apapun, dirinya hanya bungkam dengan leher menegang. Meski kesal, Anais tak mungkin berdusta atau dia akan tampak semakin konyol. ‘Aish, sial! Mengapa dia harus membawa ponselku?’ batinnya dengan manik gemetar.
“Selamat malam, Ibu,” tutur Jade berhenti sejenak di hadapan Leah.CEO dari Oran Brewery itu akhirnya datang ke mansion besar Herakles untuk memenuhi panggilan sang kakek. Manik tegasnya menatap Leah, tapi ibunya itu sama sekali tak sudi memandangnya. Jangankan menyahut sapaan Jade, bahkan Leah rasanya mual mengetahui putra sulungnya tersebut berada di depan matanya.“Untuk apa kau datang ke sini, hah?” sungut Denver dengan sorot masamnya.Namun, alih-alih menjawab, Jade justru merapikan kancing jasnya dan lekas berlalu menuju ruangan Hans. Dia tak ada niat sama sekali untuk mendengar ocehan adiknya yang tak berotak. “Sialan, berani sekali anjing liar itu mengabaikanku?” Putra kedua Leah tersebut menggerutu sengit.“Tutup mulutmu, Denver. Bukan ini yang harus kau khawatirkan sekarang. Cepat ikuti dia dan cari tahu apa yang Kakekmu bicarakan dengannya!” sambar Leah memicing tajam.Dirinya tak bisa berpangku tangan saat Jade mendapat kesempatan. Meski dia adalah darah dagingnya sendiri
Manik hazel Anais terbelalak melihat sang pria, dia sungguh tak menyangka mendapati sosok itu di sini. Namun, tangannya bergerak otomatis membuka pintu mobilnya seakan terhipnotis arahan orang tersebut.Iris wanita itu melayap buncah saat kilatan cahaya kamera memotret dirinya.Dengan sigap, pria yang membantu Anais itu pun merengkuh bahunya dan lantas menyeru, “Mohon tenang, semuanya. Nona Anais pasti akan memberikan klarifikasi setelah situasinya kondusif!”“Kami sudah lama menunggu, setidaknya tolong jawab satu pertanyaan saja. Mengapa seorang Seniman seperti Nona Anais berselingkuh?!” Dengan entengnya mulut Wartawan itu terbuka.Sontak, pria tadi langsung menghunus tatapan sengitnya pada si juru warta.“Jaga bicara Anda. Kata-kata Anda sangat keterlaluan!” sentaknya dengan air muka mengeras.Tanpa menunggu tanggapan, dia pun lekas membimbing Anais pergi. Keduanya segera masuk ke dalam galeri untuk menghindari para pemburu desas-desus tersebut.Jajaran pegawai di Dante’s Gallery pu
“Ah!” Anais pun seketika terkejut dengan leher menegang.Dia tak mengerti mengapa Jade mendadak bertingkah aneh padanya.Namun, mengingat situasi awal saat Aretha menuduhnya sebagai penguntit, Anais pun mengambil kesempatan ini.“Tidak, aku juga baru datang,” tukasnya seraya mengulas senyum lembut pada Jade.Sungguh, Aretha dan Denver yang sudah tertegun, kini semakin melebarkan bola matanya begitu melihat interaksi dua orang di hadapannya.‘Apa-apaan mereka? Mengapa anjing liar itu bisa dekat dengan Anais? Sejak kapan mereka menjalin hubungan?’ Denver bertanya-tanya dalam batinnya.Gelombang kedongkolan langsung menyapu benaknya. Entah mengapa hatinya terasa risih mendapati sang mantan terlibat dengan kakaknya. Meski sangat penasaran, tapi cucu kedua Tigris Devante itu memilih bungkam sebab egonya yang tinggi.“Apa hubungan Kakak dengan pria ini? Apa kalian berpacaran?” Tanpa ragu Aretha pun menguarkan rasa ingin tahunya.Sungguh berbanding terbalik dengan Denver. Tatapannya yang sen
“Anda sangat tidak sopan pada seorang wanita!” Manik Jade gemetar seiring dengan nadanya yang meninggi. Cekalannya pada si pelayan pun bertambah erat seolah dia ingin mematahkan tulangnya. Ya, Jade sungguh terusik kala mendapati pegawai restoran itu menatap Anais penuh nafsu. “Ba-baik, Tuan. Tolong lepaskan saya!” sahut Pelayan tadi terbata. ‘Dasar, sialan!’ Dia segera menarik tangannya saat Jade melonggarkan cengkeraman. Irisnya pun menggulir buncah ke arah Anais dan lantas membungkukkan badannya berulang kali. “Saya benar-benar mohon maaf, Nona. Saya sudah ceroboh dan malah menumpahkan minuman ini pada—” “Baiklah, saya tidak apa-apa. Saya harap lain kali Anda lebih berhati-hati.” Anais lekas memangkas ucapan Pelayan tadi sebab canggung menjadi bahan tontonan. Wanita itu memilih untuk menahan diri. Sudah banyak perkara yang membelit kepalanya, jika dia juga menangapi masalah sepele seperti ini, maka hanya akan membuang energi dengan sia-sia. Meski Anais tak memperpanjang perka
Hembusan napas Jade yang mengenai wajah Anais terasa begitu hangat. Bahkan hidung bahari mereka yang nyaris bersinggungan, membawa sensasi berdebar yang membingungan bagi sang wanita.Jade yang sengaja menggoda Anais untuk melepas tegangnya pun menaikan salah satu alisnya. Di bawah remang lampu depan pintu toilet itu, dirinya berbisik, “Saya akan memikirkannya nanti.”Seketika, kelopak mata Anais terangkat. Dirinya terkejut kala tangan Jade melangkupkan jas hitam ke tubuhnya untuk menutupi bagian yang basah.“Sekarang Anda memiliki satu hutang lagi pada saya, Nona,” tukas Jade yang kini menarik dirinya agak menjauh.Sungguh, garis wajahnya yang menguarkan otoritas, sangatlah mengusik Anais. Maniknya yang setegas elang, juga sudut bibir yang kerap kali tersungging miring, sungguh terasa menekan.Anais membeku. Tulang selangkanya yang terpahat indah menonjol seiring dengan rasa geramnya terhadap Jade.“Anda benar-benar pria yang tak ingin rugi rupanya. Berapa yang Anda inginkan agar ki
Wajah Anais tampak mengeras dengan segala bendungan amarah. Bahkan sampai langit menggelap pun, dirinya masih dibuat dongkol juga. “Ah, ternyata Kak Anais baru kembali?” tukas Aretha melempar tanya. “Bagaimana kencan Kakak dengan pria itu? Tumben sekali Kakak ingat pulang?” Sungguh, bibir Aretha yang tersungging sinis sangatlah memacu pertikaian. Anais yang sudah geram, kini menyorot tajam dan segera menyambar, “Telan saja basa-basimu itu! Katakan, untuk apa kau masuk ke kamarku?!” Bukannya langsung menyahut, Aretha malah mengerutkan keningnya kesal, seolah-olah tak terima mendapat amukan tanpa alasan. “Mengapa Kak Anais begitu marah? Memangnya kita orang lain? Aku hanya memeriksa, apa Kakak sudah pulang atau belum?!” Sang Adik menimpali dengan tedasnya. Lucu sekali. Dia berlagak menjadi saudara, padahal sebelumnya telah berkoar pada Denver jika Anais bukan bagian dari keluarga sahnya. Sungguh gila, bukan? Tingkahnya itu seketika membuat rasa mual naik ke tenggorokan Anais. Wan