Raut wajah Dzaka berubah seketika tatkala mendengar pernyataan asistennya. Senyumnya mendadak hilang dari wajahnya yang tegas.
“Ada perlu apa dia ke sini?” tanyanya cuek. Reaksi tubuhnya menunjukkan seolah ia tak suka dengan keberadaan pria itu.“Beliau tidak mengatakan apa pun, Tuan. Hanya ingin bertemu dengan Anda,” tutur Fikri.Dzaka diam dengan helaan napas panjang. Lalu, pergi menemui pria itu diikuti Kirana dan Fikri.“Mau apa kau ke sini?!” bentaknya setelah sampai di hadapan Danial.Kilat amarah dan kebencian terlihat jelas dari kedua bola mata Dzaka. Di sisi lain, Kirana sempat tersentak mendengar suara suaminya yang jelas-jelas tak menggambarkan sikap seorang anak pada ayahnya.“Bisakah kau tidak membentakku ketika bertemu? Aku ini Papamu, Dzaka!” Pria berbadan gempal itu berdiri. Berusaha meraih bahu putranya untuk menenangkan, mungkin. Tapi buru-buru ditepis Dzaka.“Aku tidak bisa bersikap lembut pada orTak hanya Kirana, semua pasang mata yang berada di sana langsung tertuju ke arah mereka tatkala mendengar suara orang yang sangat dikenali. Terlebih rasa penasaran yang memang menggebu atas rumor pernikahan yang belum terjawab kebenarannya. Namun, melihat fakta di depan mata, membuat mereka berasumsi hingga menyimpulkan sendiri bahwa rumor itu benar adanya. Tak terkecuali Dina yang berada tepat di hadapan mereka melongo keheranan, tak bisa berkata-kata lagi melihat kenyataan di depannya. “Mas, banyak orang,” bisik Kirana.Dzaka tak hirau ucapan istrinya, justru ia langsung duduk di dekat Kirana, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah. “Jadi gosip itu benar ... kalian?” tanya Dina sembari menatap dua orang di hadapannya secara bergantian. “Menurutmu?” ketus Dzaka menaikkan alis kanannya. Kali ini, Dina tak bertanya lagi. Ia sudah tahu jawabannya. Dia masih benar-benar tak menyangka akan hal itu. Dina merasa ini terlalu
Hari resepsi pun akhirnya tiba. Kirana tampak cantik dan anggun dengan balutan baju pengantin adat Sunda sesuai dengan daerah asal keluarga suaminya itu. Acara berlangsung meriah berhasil menggugah jiwa Kirana. Ia sendiri sempat tak habis pikir jika konsep pernikahannya demikian menghabiskan dana hingga ratusan juta. Ia tak tahu menahu, sebab yang mengatur keberlangsungan resepsi adalah Bunda Andari. Dia dan Dzaka hanya diajak diskusi perihal undangan. Itu pun sebatas memberikan nama-nama yang akan mereka undang.Kirana sampai tak menyangka jika pernikahannya nyaris seperti pernikahan konglomerat. Disorot sana sini. Tamu undangan dari jajaran perusahaan-perusahaan besar di Indonesia juga tak sedikit. Ia bahkan sampai lelah duduk lalu berdiri untuk menyambut para tamu.Walau demikian, ia harus tetap menebarkan senyuman manis pada tamunya meski kakinya sudah terasa pegal karena sedari tadi pagi berada di atas heel. “Kenapa?” tanya Dzaka
Pria yang bisa dikenal adalah petugas hotel itu berlalu setelah menyerahkan sebuah buket bunga pada Dzaka. Setelah menutup pintu, Dzaka kembali masuk dan menyerahkan buket berisi bunga tulip tersebut pada Kirana.“Buat kamu,” ucap Dzaka seraya menyodorkan benda itu dari tangannya. Kirana yang duduk di tepi ranjang sembari mengecek ponsel tampak melongo keheranan. Ia mendongak dan memandang suaminya penuh tanya. “Dari kamu?” tanyanya. Lalu, mengambil alih dari tangan Dzaka. Dzaka menggeleng. “Bukan.”“Terus?” Kirana mengernyit bingung. Bahu Dzaka terangkat menandakan bahwa ia juga tak tahu. “Itu ada kartu ucapannya. Mungkin di situ tertera nama pengirim,” katanya, kemudian berlalu ke kamar mandi. Pada sebuah lipatan kertas itulah pandangan Kirana tertuju. Ia pun membuka dan mulai membacanya dengan saksama. Pada hati yang sempat singgah, tapi tak mampu untuk kumiliki. Aku mencintaimu dan
Dzaka terhenyak tatkala membaca pesan masuk dari Fikri. Dia bergeming dengan jantung yang mulai ikut berdetak tak karuan. Sesaat, ia memandang wajah tenang istrinya yang sudah terbuai dalam lelapnya. Lalu, mengelus pelan rambut Kirana. Sungguh, pada situasi ini Dzaka tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Clarissa tentang Kirana. Tentang pernikahannya yang terbilang mendadak. Ia mesti mencari cara agar bagaimana Clarissa bisa mengerti dan paham kondisinya tanpa tersakiti. Sejatinya, Dzaka takut jika Clarissa tahu semua ini, ia akan berbuat nekat. Gadis itu bisa saja melakukan hal-hal di luar nalar. Dzaka tidak bisa membayangkan jika Clarissa sampai menyakiti istrinya. Ah, gadis itu terlalu keras kepala, keras, dan susah menerima saran. Dzaka tahu, Clarissa akan sulit menerima kenyataan. Jangan sampai dia tahu tentang Kirana dulu. Nanti aku akan pelan-pelan memberi pengertian. Dzaka membalas pesan Fikri. Dia berusaha setenang mungkin mes
Saat hendak melangkah pergi, Fikri sudah berdiri di hadapannya. Rambut pemuda itu terlihat basah. Mungkin habis mengambil air wudu. Kirana mendadak kaku dan salah tingkah.“Nona Kirana ... mau ketemu Tuan Dzaka? Kenapa enggak langsung masuk saja?”Kirana menggeleng seraya tersenyum hambar. “Apa Tuan nggak ada di ruangannya?” tanya Fikri lagi. Kirana bergeming. Entah, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada Fikri. Ia pun bingung, apa Fikri tahu perihal seseorang yang berada di ruangan Dzaka atau tidak? Kalau tahu, lantas mengapa menyuruhnya masuk begitu saja?Kirana menarik napas panjang. “Enggak, kok, Mas. Aku titip ini aja buat Mas Dzaka.” Menyerahkan paket makanan dan map titipan Bu Hafizah.” “Map ini titipan dari Bu Hafizah. Kalau ini makanan dari aku. Tolong ingatkan dia untuk makan siang ya, Mas. Nanti dia sakit,” titah Kirana. Fikri bingung sendiri tetapi tetap mengangguki permintaan Kirana. “Ken
Sampai di parkiran, Dzaka membukakan pintu mobil untuk Kirana. Tak peduli, wajah sang istri yang sedari tadi manyun. “Niat banget mau hindarin suami ya? Sampai mau pulang sendiri,” sindir Dzaka tepat di telinga Kirana. Tangannya memegang ujung atas pintu mobil. “Masuk,” titahnya tak digubris oleh Kirana. “Aku bukannya mau menghindar, Mas. Tapi, kirain kamu masih ada kerjaan. Jadi, mau pulang sendiri aja,” elak Kirana membela diri.“Ngeles aja kamu, tuh. Matamu nggak pandai bohong, Na.” Dzaka tersenyum sumir. “Masuk sana.”Sebuah helaan napas panjang Kirana mengakhiri perdebatan mereka di ambang pintu mobil. Kirana mengalah dan menuruti perintah suaminya. Beberapa saat, Dzaka juga sudah berada di dalam mobil. Sesekali, dia senyum-senyum sendiri tatkala melirik Kirana yang jelas sekali dari pancaran wajahnya terlihat kesal.“Tadi siang yang kamu bilang sibuk cuma akal-akalanmu saja kan? Biar nggak ketemu aku?” tanya Dzaka yang m
“Kenapa, Mas?” tanya Kirana tatkala melihat Dzaka mendadak menghentikan langkahnya. Kirana mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandangan Dzaka. Di sana, pria paruh baya dan wanita berambut panjang tengah keluar dari mobilnya. “Laki-laki ba*in*an,” umpat Dzaka lirih, tetapi tetap didengar oleh Kirana. Sontak, Kirana menoleh menatap suaminya yang diketahui mulai tersulut emosi.“Huss! Jangan ngomong gitu.” Kirana memperingati. “Nggak baik.”“Bahkan, dia tidak pantas untuk mendapatkan perlakuan baik,” cetus Dzaka seraya tersenyum miris. Kirana membulatkan mata mendengar ucapan Dzaka. Dia tak mengerti, ada apa dengan hubungan ayah dan anak itu? Kenapa dari kemarin ia melihat hubungan keluarga suaminya sebenarnya tak sedang baik-baik saja. Satu hal yang Kirana ketahui, orang tua Dzaka memang sudah tak tinggal serumah, tetapi belum berpisah. Menurut informasi yang didapat dari Sekar, Bunda Andari akan segera menggunga
“Aduh, Teh. Ya Allah kangen.” Sekar spontan saja memeluk kakak iparnya. Sejauh ini, Sekar memang bisa dibilang cukup dekat dekat Kirana. Sayangnya, karena kesibukan masing-masing membuat mereka berdua minim waktu untuk bertemu. Kehadiran Kirana di tengah-tengah mereka, membuat Sekar seperti punya kakak kandung perempuan. Tak segan, Kirana membantunya ketika ada masalah pada tugas kuliah. Terlebih, jurusan mereka sama. “Kamu kenapa ngga pernah datang ke rumah?” tanya Kirana memegang bahu Sekar. “Akhir-akhir ini sibuk di kampus, Teh. By the way, Teteh nginap kan?” Sekar menaikkan satu alisnya. Seutas senyum simpul diberikan Kirana sebagai jawaban. Kemudian berkata, “Lain kali baru nginap ya, Sayang.”“Ya ... Teteh mah nggak seru.” Sekar memajukan bibirnya kesal. Kirana mengembuskan napas pelan. “Kan Sekar tau kalau di rumah ada ibunya Teteh yang lagi sakit.”Sekar mengangguk paham. “Lupa, Teh.” Dia terkekeh.