Share

Adeeva Kalandra

Namaku Adeeva Kalandra. Aku adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan terkenal di kotaku. Menjadi salah satu sekretaris dari direktur perusahaanku.

Bosku masih lajang, banyak orang yang bilang bahwa dia bahkan belum pernah memiliki pacar. Banyak juga desas-desus yang mengatakan bahwa bosku ini gay. Ada juga yang bilang bahwa dia impoten.

Jujur aku tidak percaya dengan rumor kecuali jika aku melihatnya sendiri. Karena seperti yang sudah kita semua tahu, kebanyakan rumor itu tidak benar. Lagipula ....

"Adeeva! Pak direktur memanggil." Sekretaris pertama bosku, Aldi yang memanggilku.

"Oh iya."

Aku segera bergegas masuk ke dalam ruangan pak direktur.

Tok tok tok.

"Masuk."

Aku membuka pintu dan segera masuk.

"Ada apa Pak?" tanyaku tanpa basa-basi.

Bosku itu hanya diam sambil melihat komputernya. Aku berdiri selama lima menit dan belum ada satu kata pun yang keluar dari mulut bosku.

"Maaf Pak. Ada apa ya memanggil saya ke sini?" tanyaku untuk kedua kalinya.

Lagi-lagi bosku itu masih diam.

"Kalau tidak ada tugas atau apa pun untuk dibicarakan, saya izin untuk keluar sekarang," ancamku karena geram melihat bosku yang diam saja.

Saat tanganku memegang gagang pintu, tiba-tiba bosku itu menutup tirai ruangannya. Bahkan mengunci pintu ruangannya dari remot yang dia miliki.

"Kamu, beneran nggak mau jadi pacar saya?" Pertanyaan yang selalu sama ini kudapatkan hampir setiap hari.

Haish!

"Maaf Pak, ini tempat kerja, urusan pribadi tidak dianjurkan bahkan diperbolehkan di kantor," tegasku membuat wajah bos di depanku itu marah.

"Siapa yang kasih aturan itu?" tanyanya dengan nada marah.

"Saya. Saya yang kasih aturan itu Pak. Lagian, di mana-mana juga pasti seperti itu Pak," jawabku percaya diri.

"Tolong keluarkan saya dari sini Pak," pintaku pada bosku.

"Saya nggak akan ngeluarin kamu dari sini kalau kamu nggak jawab pertanyaan saya," jawab bosku yang membuat amarahku memuncak.

"Pak, mohon maaf ya. Saya udah jawab berkali-kali kalau saya nggak mau pacaran. Saya mau kejar karir saya, saya nggak punya waktu buat pacaran, apalagi pacaran sama Bapak," jawabku tegas.

"Tapi kalau kamu mau jadi pacarku, kamu nggak perlu repot-repot lagi kan kejar karir?" tanyanya dengan polos.

"Pacar dan istri itu dua hal yang berbeda Pak. Siapa yang tahu kalau nantinya Bapak akan meninggalkan saya karena harus menikah dengan orang yang dijodohkan dengan Bapak, yang memberikan keuntungan lebih banyak untuk keluarga Bapak," jelasku.

"Saya yakin nggak akan tinggalin kamu," jawabnya percaya diri.

"Keyakinan Bapak nggak akan membuat hati saya luluh. Karena belum tentu keyakinan Bapak dan orang tua Bapak itu sama," jawabku sambil mencengkeram bagian samping rok.

"Kenapa sih kamu nggak pernah percaya sama saya?" tanya bosku itu seperti orang bodoh.

"Apa yang harus dipercayai dari lelaki yang bahkan bukan keluarga saya, belum menjadi imam saya?" tanyaku dengan nada tantangan.

"Saya ...."

"Saya tahu kalau Bapak belum siap menikah, tapi saya juga nggak siap dan nggak akan mau pacaran. Silakan cari perempuan lain. Bukannya banyak wanita yang ingin menjadi pacar Bapak?"

"Banyak wanita, tapi tidak ada satu orang pun yang saya sukai selain kamu," ucapnya membuatku memutar mataku.

"Ngomong emang gampang Pak, tapi kenyataan tak pernah seindah ekspektasi. Apalagi untuk saya yang lahir dalam keluarga yang serba kekurangan. Tolong jangan pernah memberikan harapan untuk saya."

"Saya akan berikan apa pun untuk kamu dan keluarga kamu. Rumah? Mobil? Apartemen? Apa pun yang kamu minta akan aku beri."

"Saya nggak butuh harta Bapak. Saya juga bisa kok cari uang sendiri. Walaupun mungkin untuk membeli semua hal yang Bapak sebutkan tadi masih sangat lama untuk saya."

"Makanya!" serunya membuatku kaget.

"Makanya tolong jangan ganggu saya Pak! Saya mau hidup dengan sewajarnya saja. Saya nggak pernah berharap menjadi Cinderella dalam sekejap."

"Baiklah, tapi jangan harap saya menyerah. Hari ini sampai sini dulu. Nantikan hari-hari lainnya," ucapnya dengan wajah penuh tekad.

"Saya permisi. Tolong buka pintunya," tegasku.

Aku segera keluar setelah pintu terbuka dan kembali menuju mejaku.

"Kenapa Deev?" tanya Ruby, sekretaris ketiga setelah aku dan Aldi.

"Biasa, kamu tahu kan?" jawabku acuh tak acuh.

"Masih ngejar-ngejar kamu Beliau?" tanya Ruby.

"Hmmm," jawabku singkat.

"Kenapa nggak kamu terima aja sih?" tanya Ruby membuatku memalingkan wajah ke arahnya.

"Really? Aku nggak mau dimusuhin sama orang tua kaya," ucapku cepat.

"Maksudnya?" tanya Ruby bingung.

"Kita kan nggak tau gimana orang tua pak direktur. Kamu mikir nggak bakal kaya apa orang tuanya kalau tau aku, anak yang nggak punya apa-apa jadi pacar anaknya?" tanyaku balik.

"Kenapa sih kamu mikir jauh banget. Kamu bahkan nggak tau kan orang tua pak direktur kaya apa? Kenapa kamu takut buat pacaran sama pak direktur?" tanya Ruby kembali.

"Mungkin kamu nggak tau By, tapi dunia tidak pernah adil kalau kamu nggak punya harta dan kuasa. Uang adalah segalanya di dunia sekarang ini," jawabku realistis.

"Tapi Deev-"

"Tolong jangan ngomong apa-apa dulu ya By sekarang. Aku lagi nggak mood," jawabku tegas yang sebenarnya membuatku merasa bersalah.

"Maaf," jawabnya pelan.

Aku diam dan merenung.

"Adeeva!" Ruby memanggil namaku dengan keras.

"Eh kenapa By?" Aku kaget karena dari tadi sedang memikirkan hal lain.

"Udah waktunya makan siang. Ayo makan!" ajak Ruby yang langsung membuatku melihat ke arah jam dinding.

"Kantin aja kan?" tanyaku pada Ruby.

"Ke resto depan mau nggak? Kepengenannya bayii," katanya sambil menunjuk perutnya yang sudah membesar.

"Kantin aja lah," bujukku.

"Aku traktir deh," ucap Ruby membuatku seketika langsung menganggukkan kepala.

"Okee, kalau ditraktir aku mau!" jawabku cepat.

"Yeee! Dasar. Kaum gratisan," ucap Ruby.

"Haha, uangku amat sangat berharga By," jawabku dengan senyuman.

"Iya iya, ayo buruan. Laper nih!" Ruby menarikku untuk segera keluar.

"Sabar, pelan-pelan aja jalannya," ucapku sambil melambatkan jalanku yang membuat Ruby juga melambatkan jalannya.

Ruby memang sudah menikah, dan saat ini tengah hamil. Usianya tiga tahun di atasku, tapi dia menyuruhku untuk memanggilnya dengan nama saja. Saat ini usia kehamilannya sudah memasuki bulan kelima.

"Mbak Ruby," godaku.

"Ish! Jangan panggil aku mbak! Panggil aja namaku! Nggak suka!" jawabnya jengkel.

"Haha, iya iyaa."

Lihat kan? Dia akan selalu protes jika kusematkan mbak, atau kak di depan namanya.

Kami akhirnya sampai di restoran depan kantor.

"Mau pesen apa? Kamu duduk aja di sini mbak, aku aja yang pesen ke depan," ucapku setelah Ruby duduk.

"Ish! Dibilang jangan panggil mbak kok!" protesnya.

"Iya iya, kamu mau pesen apa buruan!" ucapku padanya.

"Aku mau ayam bakar madu Deev," ucapnya cepat.

"Iyaa. Minumnya apa?" tanyaku kembali.

"Aku, jus alpukat aja. Gulanya dikit aja ya. Ini uangnya," ucap Ruby sembari menyodorkan uang seratus ribu.

"Iyaa."

Aku pun maju dan memesan makanan untuk kami.

"Ayam bakar madunya dua, jus alpukatnya dua juga ya mbak," ucapku kepada mbak-mbak yang ada di kasir.

"Ada tambahan Kak?" tanya petugas kasir itu.

"Nggak, itu aja mbak," jawabku.

"Jumlahnya enam puluh ribu ya Kak. Mau dibayar cash atau-" Belum selesai mengatakan apa yang akan dikatakan, aku segera menyodorkan uang seratus ribuan dari Ruby tadi.

"Cash aja mbak," ucapku setelahnya.

"Ini kembaliannya. Silakan ditunggu ya," ucap mbak kasir sembari memberikan nomor meja padaku.

"Terima kasih." Aku pun segera duduk ke meja tempat Ruby berada.

"Habis berapa?" tanya Ruby padaku yang baru saja duduk.

"Enam puluh, ini kembaliannya," jawabku sambil menyodorkan kembalian.

"Oke makasih."

Tak lama kemudian pesanan kami datang.

"Makasih mbak," ucapku sambil tersenyum.

"Sama-sama, silakan," jawab pegawai restoran dan setelahnya meninggalkan kami.

"Ayo dimakan, waktu istirahat tinggal tiga puluh menit lagi," ucapku.

"Masih lama itu sih. Kalau telat ya bilang aja habis makan," jawab Ruby enteng.

"Ish ish ish. Udah ah mbak, buruan!" ucapku tak sabar.

"Iih, mbak lagi." Wajah Ruby cemberut lucu.

"Haha, ya mohon dimaklumi," jawabku sambil senyam-senyum.

"Aku suka banget ayam bakar madu di sini," ucap Ruby tiba-tiba.

"Emang enak sih mbak. Mbak emang sering ke sini kalau nggak kerja?" tanyaku penasaran.

"Yaa, lumayan sering, entah kenapa hamil ini aku makin suka makan ayam bakar madu. Aku udah nyoba di tempat lain, tapi rasanya nggak pas sama lidahku. Padahal biasanya apa aja juga doyan," jawab Ruby sambil tersenyum.

"Untungnya deket ya dari rumah kamu," ucapku sambil memakan ayam.

"Iyaa," jawab Ruby sambil menganggukkan kepala

Kami pun menyelesaikan makan dan segera kembali ke kantor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status