“Gue serius, guys, Dosen Ray senyumin gue. Tadi gue sengaja lewat dari depan ruangannya dan ternyata tuh dosen lagi duduk-duduk di bawah pohon besar yang ada di depan ruangannya. Awalnya dia mendongak gitu, gak tahu lagi liatin apa, terus gak sengaja tatapan kami ketemu dan dia senyum. Demi apa, hari ini gue bakalan belajar dengan giat dan serius. Dosen Ray harus tahu kalau senyuman dia itu udah memotivasi gue untuk belajar. Gue harus buat dia bangga sama IPK gue nanti.”
Tidak berhenti di lorong, Dinda terus melanjutkan ceritanya sampai ke dalam kelas dan kali ini tidak lagi bercerita kepada Ana, melainkan kepada Balqis, Roy dan juga Agung. Sayangnya, ketiga orang itu tidak menggubris ke antusiasan Dinda. Mereka hanya mengulum senyum sesekali dan tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tampak jelas kalau mereka sedang malas mendengarkan curhatan, lebih tepatnya karangan Dinda yang menurut mereka tidak benar dan sangat kentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Ayolah, siapa juga yang akan percaya kalau Dosen Ray tersenyum kepada Dinda. Kalaupun ada, itu pasti di alam mimpi gadis itu, pikir mereka. “Kalian gak asik. Bilang aja kalian iri sama gue!” Dinda menggebrak meja yang menyatu dengan kursi yang didudukinya kala tidak mendapat jawaban apapun dari ketiga temannya itu. “Kalau aja Ratna masuk hari ini, dia pasti jadi orang pertama yang antusias dengerin cerita gue,” lanjutnya, sedikit murung dan kesal. “Udahlah, Din. Kalaupun Ratna masuk, dia juga gak akan semudah itu percaya sama cerita lo barusan. Iya kan, An?” timpal Agung seraya menyikut lengan Ana, meminta pembelaan. “Menurut gue sih, iya.” Ana tersenyum, membuat Agung dan Roy tertawa kecil karena mereka berhasil membuat Dinda kesal. “Kalian nyebelin. Kita buktiin aja besok. Ratna pasti semangat dengerin gue.” Kepalang kesal, Dinda sampai ogah menatap teman-temannya dan hanya menatap lurus ke depan dengan bibir manyun sambil bersedekap. “Bibir lo biasa aja dong, Din. Gak usah maju-maju gitu, gak imut, gak cantik juga,” celetuk Roy, yang duduk tepat di samping Dinda. “Diam lo.” “Dih, baperan. Oke-oke, lo tetap cantik dan menawan kok. Bagi gue, lo cewek terimut dan tercantik di kelas ini,” rayu Roy sambil menatap Dinda dengan intens, tapi gadis itu tetap menatap lurus ke depan. “Jangan bicara sama gue. Gue muak dengar omongan lo yang ngelantur itu,” balas Dinda, sarkas. “Tadi lo juga ngelantur kok. Lo ngelantur kalau Dosen Ray senyum sama lo,” sahut Roy, cepat. “Itu seriusan, Roooy. Gue gak ngelantur.” “Iya deh iya, gue percaya.” Roy memutar bola matanya jengah. Agung dan Ana yang duduk di dekat kedua orang itu lagi-lagi menghembuskan napas panjang setelah sebelumnya saling lempar pandang dan tersenyum penuh makna. Keduanya sengaja tidak menimpali perdebatan Dinda dan Roy dengan tujuan yang hanya diketahui oleh mereka saja. Beberapa menit kemudian, kelas yang tadinya riuh seketika hening saat seorang pria bersetelan jas abu-abu memasuki ruangan. Seluruh pasang mata menatap pria itu dengan intens dan terpesona. Tentu saja, tatapan itu diberikan oleh para kaum hawa yang saat ini berdecak kagum. Meletakkan buku yang dibawa, dosen tersebut kemudian membiarkan pandangannya menatap para mahasiswa dengan penuh ketegasan dan intimidasi, sebelum akhirnya suara pria itu terdengar dan memasuki pendengaran semua orang di ruangan tersebut. “Halo semuanya, saya Rayhan Brijaya. Mulai hari ini, saya menjadi penanggung jawab jurusan kimia. Di kelas ini, saya harap kalian tidak datang terlambat dan tidak pulang lebih awal. Kalau harus izin sakit, silakan datang ke rumah sakit tersier minta izin cuti resmi,” Ray memaparkan pembukaan dengan cukup tegas. “Kalau ingin memahami saya dalam pembelajaran, kalian bisa meluangkan waktu untuk memeriksa ensiklopedia online. Waktu di kelas sangat berharga, jadi saya tidak akan menjelaskan satu persatu. Baik, hari ini kita mulai pelajaran.” Tidak hanya rumor, pria bertubuh atletis itu benar-benar memancarkan aura yang cukup mendominasi dan tatapannya terkesan sangat datar dan dingin, membuat para mahasiswa di ruangan itu merasa was-was. Bahkan, tidak sedikit dari mereka berkali-kali menelan saliva kasar melihat kesan pertama dosen Ray di ruang kelas. Setelah membuka laptop, Ray menulis sesuatu di papan tulis dengan ukuran besar, tampak seperti judul mengenai materi yang akan dibahas. Tidak ada senyum. Tidak ada kelembutan. Pria itu tampak sangat tegas dan berwibawa serta terkesan sulit untuk didekati. Ray bahkan membiarkan matanya menatap setiap sudut ruangan itu dengan tajam, membuat Ana yang duduk di barisan ke empat dan tepat berada di tengah-tengah susunan bangku yang berjejer rapi menelan salivanya kasar dan sempat terperangah. Ia seperti melihat dua orang yang berbeda. “Dosen Ray memang luas biasa. Di umur 18 dia masuk universitas ternama di Amerika. Dia juga memenangkan banyak olimpiade kimia. Bahkan rumor-rumornya, anak salah satu menteri Amerika sampai jatuh cinta kepada Dosen Ray.” Mahasiswi bernama Tasya yang duduk tepat di depan Ana berbisik kepada Amel, teman di sebelahnya. “Serius lo, Tas?” "Serius lah. Kenapa? lo gak percaya?” Tasya mendelik kesal. “Kalau laki-laki itu Dosen Ray, udah pasti gue percaya,” sahut Amel, berbisik. “Gue kasih tahu sama lo, dalam tiga tahun terakhir, Dosen Ray berhasil dapatin gelar PhD. Luar biasa, kan? Selain tampan dan maco, dia juga sangat pintar.” Tasya yang kini tampak mengenakan kemeja hitam kembali bercerita dengan penuh antusias. “Dosen Ray memang luar biasa. Mulai sekarang dia adalah panutan gue. Gue harus jadi mahasiswi yang pintar agar Dosen Ray terkesan sama gue,” lanjutnya seraya memperhatikan Ray yang sedang menerangkan beberapa hal di depan sana. “Ngomong-ngomong, kenapa Dosen Ray gak tinggal di luar negeri aja? Kenapa dia lebih milih jadi dosen di kampus ini?” “Udah pasti karena dia alumni di kampus ini. Gimana sih, lo? Kalau Dosen Ray gak ngajar di sini, kita gak bakalan bisa ketemu sama dia hari ini.” “Lo benar. Dosen Ray emang paling keren.” Ana samar-samar mendengar percakapan kedua temannya itu. Berbagai tanda tanya muncul di kepalanya mengenai Ray. Ia yang merupakan istri dari seorang Rayhan Brijaya bisa-bisanya buta informasi tentang pria itu. Entah siapa sebenarnya Ray itu, Ana tidak tahu dan belum mencari tahu. “Ana, fokus.” Agung menyikut lengan Ana, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Ana tersenyum tipis, lalu kembali menatap ke depan dan sebisa mungkin untuk fokus memperhatikan dan mendengarkan penjelasan Ray. Alih-alih mendengarkan penjelasan Ray mengenai materi hari ini, gadis itu malah salah fokus dengan penampilan pria itu. Tangan Ana yang dari tadi sibuk memainkan pena sampai terhenti saking terpana nya ia melihat Ray yang kini memakai kaca mata. Tatapan Ana terkunci kepada sosok di depan sana. Ray seakan menghipnotisnya. Pria tinggi berkulit sawo matang itu tampak begitu tampan dan Ana sedikit menyesal baru menyadarinya sekarang. “Jangan ada yang melamun atau saya keluarkan sekarang juga!” Kesadaran Ana seketika kembali. Matanya mengerjap-ngerjap karena terkejut mendengar pernyataan Ray yang sangat tegas dan penuh ancaman. Tidak hanya itu, jantung Ana pun hampir lepas dari tempatnya karena tatapan Ray yang ternyata sedang tertuju kepadanya. Oh God, dosen titisan kutub itu sedang menatapnya dengan lekat. Ingat! dengan lekat! Siapapun, tolong Ana!Selesai membayar belanjaan, Ana dan Ray bergegas meninggalkan kasir. Ray sibuk dengan trolli yang kini berisi beberapa bungkus plastik putih belanjaan mereka, sedangkan Ana berjalan di sampingnya sambil sesekali mengecek ponsel. Berhenti di depan lift, Ana dan Ray langsung masuk bersama dengan para pengunjung mall lainnya. Terdapat sekitar 6 hingga 9 orang yang berada di dalam lift tersebut sehingga membuat Ana terjepit di pojokan, di antara Ray dan pria jangkung berjaket merah yang tidak kalah tampan dari Ray. Ana tampak santai sambil memainkan ponselnya, juga tidak segan membalas senyuman yang dilemparkan oleh pria asing tersebut. Melihat hal itu, Ray langsung menarik lembut tangan kanan Ana hingga gadis itu menempel padanya lalu memasukkan tangan Ana ke dalam saku jaket denim yang ia kenakan. Ana menoleh, menatap Ray yang ternyata juga sedang menatapnya dengan lekat. Ray kemudian mengedikkan bahunya acuh lalu kembali menatap lurus ke depan, seolah ia tidak melakukan hal aneh
Beberapa hari telah berlalu sejak Ana kembali dari rumah sakit. Kini, kondisi gadis itu benar-benar pulih dan kembali fit. Ana dan Ray juga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Mereka pergi dan pulang bersama ke tempat tujuan yang sama pula, yaitu rumah dan kampus yang menjadi saksi bisu hubungan mereka yang seperti roller coaster, naik turun yang menimbulkan rasa takut juga menyenangkan. Langit sore tampak begitu indah dari biasanya, entah itu hanya perasaan Ana saja atau apa, yang jelas kini senyum gadis itu tampak indah menghiasi wajahnya yang cantik dan mulus berseri. Ray yang sedang menyetir bahkan juga ikut tersenyum melihat hal tersebut. Pikiran Ana lagi-lagi melayang mengingat percakapannya dengan Sasa beberapa waktu lalu saat di rumah sakit. Pertanyaan Sasa mengenai apakah dirinya tidak merasa beruntung menikah dengan Ray kembali Ana tanyakan pada dirinya sendiri. Jujur saja, Ana mulai merasa sedikit bangga dan beruntung, setelah tadi ia lagi
Setelah mengenakan pakaiannya, Ray kembali melirik Ana yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu tampak asik dengan benda pipih itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, Ana sengaja mengabaikan Ray karena masih kesal pada pria itu. Ray berhemem, membasahi tenggorokannya yang kering lalu berdiri di samping kanan ranjang.“Berhenti main ponsel. Kamu harus istrirahat,” ujarnya tegas, lalu mengambil ponsel tersebut dari tangan Ana. “Ray, apa-apaan sih kamu? Balikin!” “Kamu harus istirahat.” Ulang Ray lagi, penuh penekanan. “Gak mau. Balikin dulu ponsel aku.” “Nggak.”“Balikin, Ray.”“Gak. Kamu istirahat dulu.”Ana menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat melihat kelakuan Ray. Pria itu mengabaikannya. “Menyebalkan,” gerutu Ana seraya memalingkan wajahnya.Bertepatan dengan Ana dan Ray yang saling mengabaikan, pintu di ruangan itu tampak terbuka dan menampilkan dua sosok yang begitu Ana kenal. Sontak, senyum di wajah gadis itu mengembang sempurn
Ray kembali memasuki ruangan serba putih itu setelah kembali dari rumah mengambil ponsel dan perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Ana. Kali ini, pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama kedua orangtua Ana yang juga baru tiba. Ray sudah mewanti-wanti dirinya akan menerima amarah dari keluarga Ana, tapi hal itu tidak kunjung terjadi setelah hampir setengah jam mereka berada di ruangan tersebut.“Ray, kamu sudah makan malam, Nak?” Lela, mama Ana, mendekati Ray yang duduk di sofa sudut lalu ikut bergabung bersama pria itu sebelum melontarkan pertanyaan. “Sudah, Ma, tadi sore di kantin kampus.”Ray kembali khawatir, takut mama mertuanya bertanya lebih lanjut.“Kamu gak perlu takut. Kami tidak akan menyalahkan kamu atas apa yang terjadi pada Ana. Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, tapi mungkin ini yang paling parah. Sejak kecil, Ana memang susah diatur dalam urusan makan, hingga membuatnya terkena mag dan jadi separah ini.”Ray menatap wajah mertuany
“Ana, bangun, An. Ana, sadar.” Ray panik, buru-buru mengangkat tubuh Ana yang terkulai lemas ke atas tempat tidur. “Ana, kamu dengar suaraku? Tolong sadarlah, An.” Ray menepuk-nepuk lembut pipi Ana agar gadis itu segera membuka matanya. Ray bingung. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu. Seraya berupaya menyadarkan Ana, Ray mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada kaleng-kaleng dan kotak minuman yang ada di atas meja depan sofa. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.”Tidak buang-buang waktu, Ray langsung menggendong Ana ala bridal style dan membawa gadis itu keluar kamar. Sepertinya, Ray mulai tahu apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu.Takut, cemas dan khawatir menjadi satu memenuhi perasaan dan tubuh Ray. Dengan rasa gelisah, ia mengendari mobil dan membelah kegelapan malam agar segera sampai ke rumah sakit terdekat. Ray yang sedang mengemudi sesekali menoleh ke belakang, melihat Ana yang terkulai lemas di ba
Siapa yang tidak suka bolos? Mungkin sebagian dari mahasiswa sangat menyukai hal tersebut. Bahkan, tidak sedikit juga yang rela pura-pura sakit agar bisa menghindari tugas atau dosen yang akan mengajar di kelas saat itu. Namun berbeda dengan Ana yang semakin merana karena sengaja bolos untuk menghindari berbagai pertanyaan teman-temannya. Bagaimana tidak, Ana sendiri saja sangat syok melihat wajahnya yang terlihat bengkak dan jelek karena kebanyakan menangis, apa lagi teman-temannya. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Sungguh, Ana belum bisa menerima serangan pertanyaan rudal yang mungkin akan ditujukan kepadanya. Terlebih lagi, dosen yang mengajar kali ini adalah miss Rahel, yang membuatnya semakin membulatkan tekat untuk bolos. Setelah seharian mengurung diri di dalam kamar, Ana akhirnya bangkit dari tempat tidur dan turun ke lantai dasar untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Sungguh, ia merasa sangat lapar dan kepalanya terasa pusing, sepe