Siapa yang tidak syok jika tiba-tiba dinikahkan dengan dosen sendiri? Itulah yang terjadi pada Listyana Wuri! Gadis berparas cantik itu harus menikah dengan Rayhan Brijaya yang dijuluki sebagai dosen titisan kutub, karena kepergok tidur bersama di sebuah kamar club. Apakah yang sebenarnya terjadi malam itu?Bagaimana kehidupan keduanya setelah menikah? Apakah mereka akan saling mencintai atau malah membenci? Bisakah keduanya mempertahankan pernikahan mereka?
View MoreSuara langkah kaki terdengar menuruni satu persatu anak tangga yang memutar hingga berakhir di meja makan setelah melewati beberapa ruangan. Rumah bernuansa putih itu tampak begitu elegan dengan gayanya yang klasik. Dihiasi oleh furniture berkualitas tinggi dan beberapa guci berukuran besar yang pastinya tidak ditemukan di sembarang toko. Arsitekturnya memancarkan kemewahan dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang dilapisi tirai abu-abu. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat serasi dan indah.
Gadis itu berhenti di depan meja makan mewah yang didominasi oleh warna emas dan memiliki 6 kursi. “Ana, makanlah. Ini masakan pertamaku khusus untukmu.” Suara itu mengalihkan pandangan gadis berpakaian kasual tersebut. Ana lantas menarik sebelah ujung bibirnya, merasa canggung dengan kehadiran Ray. Bagaimanapun, ini pagi pertama mereka setelah menjadi sepasang suami istri dan itu membuatnya merasa canggung. “Makasih.” Satu kata terucap di bibir Ana sebelum ia menarik kursi dan duduk di sana. “Makanlah. Ini akan membuatmu lebih baik.” Ray menyerahkan sop ayam yang beberapa menit lalu ia masak. “Makasih.” Ana kembali tersenyum canggung, kemudian menyicipi sop tersebut. “Bagaimana persiapanmu? Sudah aman? Ini hari pertama kamu kuliah, jadi jangan sampai ada yang terlewatkan.” Ray menatap wajah Ana dengan intens. Istrinya itu terlihat sangat cantik dan rapi dengan pakaian serba biru mudanya. “Sudah.” “Gimana kalau kita berangkat bareng? Sepertinya tidak akan ada yang curiga. Teman-temanmu juga pasti belum ada di sana saat kita tiba.” Ray memberi saran. “Hm, terserah kamu aja.” Ana lagi-lagi mengulum senyum canggung. Ray lalu menuangkan air di gelas milik Ana yang tinggal sedikit setelah menghabiskan makanannya lebih dulu, kemudian mengulurkan tangan dan merapikan rambut istrinya dengan gerakan perlahan. “Anak rambutmu ini sepertinya sedikit mengganggu, ya? Kalau kamu mau, aku bisa menemanimu ke salon nanti sore.” Ana mematung. Perlakuan tiba-tiba Ray membuatnya terhipnotis dan sulit untuk berkata-kata. Pria itu, tidak bisakah ia diam dan duduk manis saja di tempatnya? Perlakuannya membuat jantung Ana menggila. Memangnya apa yang salah dengan rambutku? batin Ana seraya mengusap pelipisnya, menutupi rasa grogi yang kini menggerogoti dirinya. “Aku lebih suka melihat rambutmu yang seperti ini ketimbang diikat seperti pertama kali kita bertemu,” tukas Ray seraya mengingat pertemuan pertama mereka yang sangat berkesan. Saking berkesannya, mereka sampai harus menikah dan menghadapi amarah serta kekecewaan dari orangtua mereka. “Makan yang banyak. Jangan sampai kamu kelaparan saat mengikuti kelas.” Ray mengalihkan pembicaraan dan tidak lagi memperpanjang perihal pertemuan mereka kala melihat raut wajah Ana yang berubah sedih. “Gak, makasih. Aku takut mengantuk kalau kekenyangan.” Ana buru-buru menggeser piringnya saat Ray hendak meletakkan sepotong ayam goreng. Ia kemudian bangkit dari kursi dan berujar, “Aku sudah selesai. Kamu bergegaslah. Kutunggu di depan. Jangan lama.” Ana lalu pergi tanpa berani membalas tatapan suaminya itu. Demi apa, ia tidak pernah menyangka Ray yang terkenal cuek dan tak berperasaan bisa mengucapkan kata-kata manis seperti tadi. Pria itu seperti bukan Ray yang ia kenal di kampus. Kalau teman-temannya tahu, mereka pasti histeris atau bahkan menganggapnya membual. Sebuah rumah yang ditempati oleh pengantin baru itu merupakan rumah warisan kedua orangtua Ray. Pria yang berprofesi sebagai dosen di salah satu kampus ternama di kota itu merupakan anak tunggal di keluarganya dan selalu menjadi kebanggaan kedua orangtuanya. Begitupun dengan Ana. Gadis cantik dengan tinggi semampai yang sukses mengambil tahta tertinggi di hidup Ray itu merupakan anak semata wayang pasangan Agus dan Lela. Ana sendiri berasal dari keluarga terpandang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan adat istiadat di daerah mereka. Hal itu juga lah yang membuat Ana dan Ray bisa menikah dan berakhir seperti sekarang. “Bisa kita berangkat sekarang?” Ana terkejut, lamunannya seketika buyar. Ia refleks menoleh ke arah Ray yang entah sudah berapa lama duduk di sebelahnya. “Si-silahkan.” Setelah mendapat jawaban dari sang istri, Ray langsung tancap gas meninggalkan pekarangan rumah yang masih sekitar 21 jam mereka tempati. Di dalam mobil, Ana berulang kali menghela napas berat. Ray lagi-lagi membuatnya terkejut saat pria itu memasangkan sealbeltnya saat mereka hendak berangkat tadi. Rasanya sudah lebih dari 3 kali aku mengucapkan terimakasih pagi ini. Huh, bisa-bisanya aku segerogi ini. Ternyata begini yang dirasakan oleh Dinda dan Ratna saat berada di dekat Ray. Padahal, dulu aku selalu mengejek mereka, gumam Ana dalam hati. Setelah melewati ratusan gedung dan beberapa lampu merah, mobil hitam yang dikendarai oleh sepasang suami istri itu tampak melambat hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. “Kamu yakin mau turun di sini? Gimana kalau turun di parkiran aja? Sepertinya di dalam belum banyak orang,” imbuh Ray setelah mobil yang dikemudinya benar-benar berhenti. “Gak perlu. Belum banyak orang bukan berarti tidak ada orang. Satu orang aja ngeliat aku keluar dari mobil kamu, satu kampus bisa heboh. Aku gak mau nanggung resiko,” ucap Ana, penuh penekanan. Mengenai rahasia antara hubungannya dan Ray, Ana tidak akan main-main. Karena ia tahu, jika hubungan mereka tersebar, dirinya lah yang pasti akan dibenci oleh anak-anak kampus, sedangkan Ray? Dosen tampan itu tetap akan menjadi idola semua orang. Ray yang mendapat jawaban seperti itu hanya bisa pasrah, bergegas mengambil bekal dari jok belakang yang sudah ia siapkan tadi lalu menyerahkannya pada Ana. “Apa ini?” “Jangan makan sembarangan. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu.” Mengabaikan pertanyaan Ana, Ray malah memberi wejangan singkat yang lagi-lagi kembali membuat istrinya itu terkejut. “Aku tahu apa yang terbaik untukku. Makasih untuk bekalnya. Aku pergi.” Seutas senyum simpul terukir di bibir ranum Ana dan itu cukup membuat Ray senang. “Hati-hati. Sampai ketemu di kelas,” balas pria bertubuh atletis itu sembari tersenyum manis. Ana turun dan buru-buru menjauh dari mobil Ray. Ia menatap sekitar dengan was-was, takut ada yang mengenal atau melihatnya keluar dari mobil dosen tampan sekaligus rebutan para mahasiswi di kampus. Yang benar saja, sejak kapan Ana mengakui ketampanan suaminya itu? Tepat seperti dugaan Ana, ada beberapa mahasiswa yang sudah berada di kampus. Untung saja orang-orang itu tidak memperhatikannya dan ia bisa leluasa berjalan menuju kelas yang ada lantai tiga di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam. Setelah menyimpan tas dan bekal pemberian Ray, Ana kembali keluar kelas dan melihat-lihat area lingkungan kampus. Dari sudut balkon, Ana menatap pepohonan rindang yang mengelilingi setiap gedung di kampusnya itu. Berada di ketinggian membuatnya mudah untuk melihat gedung-gedung dan orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Para mahasiswa tampak antusias menuju kelas mereka atau ke tempat nongkrong yang sudah menjadi seperti basecamp pribadi mereka. Tidak disangka, aku akhirnya menempuh pendidikan di kampus ini dengan status sudah menjadi istri orang. Padahal sebelumnya, Mama dan Papa sangat ingin aku menempuh pendidikan hingga mendapat gelar magister baru memikirkan soal laki-laki dan pernikahan. Tapi sekarang, jangankan magister, sarjana saja belum. Wajar kalau mereka kecewa dan marah padaku. Mulai sekarang, aku harus berusaha untuk mengembalikan kepercayaan mereka. Bagaimanapun, aku harus membersihkan nama baikku yang rusak gara-gara Ray, batin Ana, berambisi. “Dan satu-satunya orang yang pantas untuk disalahkan adalah kamu, Ray,” desisnya, dengan kedua tangan terkepal di samping paha. “ANA … DEMI APA BARUSAN GUE KETEMU SAMA DOSEN RAY DAN DIA SENYUM SAMA GUE!” Siapa yang tidak mengenal suara cempreng dan menggelegar yang nyaris memekakkan telinga itu? Melihat cara jalan dan stylenya dari kejauhan saja orang-orang sudah pasti tahu siapa orang itu. “Santai dikit kali, Din. Dosen titisan kutub itu gak mungkin senyum sama lo,” sarkas Ana seraya memutar bola matanya jengah. Mana mungkin Ray mau senyum kepada gadis lain selain dirinya. Tidak mungkin, pikir Ana, kelewat percaya diri.Selesai membayar belanjaan, Ana dan Ray bergegas meninggalkan kasir. Ray sibuk dengan trolli yang kini berisi beberapa bungkus plastik putih belanjaan mereka, sedangkan Ana berjalan di sampingnya sambil sesekali mengecek ponsel. Berhenti di depan lift, Ana dan Ray langsung masuk bersama dengan para pengunjung mall lainnya. Terdapat sekitar 6 hingga 9 orang yang berada di dalam lift tersebut sehingga membuat Ana terjepit di pojokan, di antara Ray dan pria jangkung berjaket merah yang tidak kalah tampan dari Ray. Ana tampak santai sambil memainkan ponselnya, juga tidak segan membalas senyuman yang dilemparkan oleh pria asing tersebut. Melihat hal itu, Ray langsung menarik lembut tangan kanan Ana hingga gadis itu menempel padanya lalu memasukkan tangan Ana ke dalam saku jaket denim yang ia kenakan. Ana menoleh, menatap Ray yang ternyata juga sedang menatapnya dengan lekat. Ray kemudian mengedikkan bahunya acuh lalu kembali menatap lurus ke depan, seolah ia tidak melakukan hal aneh
Beberapa hari telah berlalu sejak Ana kembali dari rumah sakit. Kini, kondisi gadis itu benar-benar pulih dan kembali fit. Ana dan Ray juga kembali melanjutkan aktivitas mereka sebagai dosen dan mahasiswi. Mereka pergi dan pulang bersama ke tempat tujuan yang sama pula, yaitu rumah dan kampus yang menjadi saksi bisu hubungan mereka yang seperti roller coaster, naik turun yang menimbulkan rasa takut juga menyenangkan. Langit sore tampak begitu indah dari biasanya, entah itu hanya perasaan Ana saja atau apa, yang jelas kini senyum gadis itu tampak indah menghiasi wajahnya yang cantik dan mulus berseri. Ray yang sedang menyetir bahkan juga ikut tersenyum melihat hal tersebut. Pikiran Ana lagi-lagi melayang mengingat percakapannya dengan Sasa beberapa waktu lalu saat di rumah sakit. Pertanyaan Sasa mengenai apakah dirinya tidak merasa beruntung menikah dengan Ray kembali Ana tanyakan pada dirinya sendiri. Jujur saja, Ana mulai merasa sedikit bangga dan beruntung, setelah tadi ia lagi
Setelah mengenakan pakaiannya, Ray kembali melirik Ana yang sedang memainkan ponsel. Gadis itu tampak asik dengan benda pipih itu sehingga tidak menyadari kehadirannya. Lebih tepatnya, Ana sengaja mengabaikan Ray karena masih kesal pada pria itu. Ray berhemem, membasahi tenggorokannya yang kering lalu berdiri di samping kanan ranjang.“Berhenti main ponsel. Kamu harus istrirahat,” ujarnya tegas, lalu mengambil ponsel tersebut dari tangan Ana. “Ray, apa-apaan sih kamu? Balikin!” “Kamu harus istirahat.” Ulang Ray lagi, penuh penekanan. “Gak mau. Balikin dulu ponsel aku.” “Nggak.”“Balikin, Ray.”“Gak. Kamu istirahat dulu.”Ana menghembuskan napas kasar. Kedua tangannya terkepal kuat melihat kelakuan Ray. Pria itu mengabaikannya. “Menyebalkan,” gerutu Ana seraya memalingkan wajahnya.Bertepatan dengan Ana dan Ray yang saling mengabaikan, pintu di ruangan itu tampak terbuka dan menampilkan dua sosok yang begitu Ana kenal. Sontak, senyum di wajah gadis itu mengembang sempurn
Ray kembali memasuki ruangan serba putih itu setelah kembali dari rumah mengambil ponsel dan perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Ana. Kali ini, pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama kedua orangtua Ana yang juga baru tiba. Ray sudah mewanti-wanti dirinya akan menerima amarah dari keluarga Ana, tapi hal itu tidak kunjung terjadi setelah hampir setengah jam mereka berada di ruangan tersebut.“Ray, kamu sudah makan malam, Nak?” Lela, mama Ana, mendekati Ray yang duduk di sofa sudut lalu ikut bergabung bersama pria itu sebelum melontarkan pertanyaan. “Sudah, Ma, tadi sore di kantin kampus.”Ray kembali khawatir, takut mama mertuanya bertanya lebih lanjut.“Kamu gak perlu takut. Kami tidak akan menyalahkan kamu atas apa yang terjadi pada Ana. Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, tapi mungkin ini yang paling parah. Sejak kecil, Ana memang susah diatur dalam urusan makan, hingga membuatnya terkena mag dan jadi separah ini.”Ray menatap wajah mertuany
“Ana, bangun, An. Ana, sadar.” Ray panik, buru-buru mengangkat tubuh Ana yang terkulai lemas ke atas tempat tidur. “Ana, kamu dengar suaraku? Tolong sadarlah, An.” Ray menepuk-nepuk lembut pipi Ana agar gadis itu segera membuka matanya. Ray bingung. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu. Seraya berupaya menyadarkan Ana, Ray mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada kaleng-kaleng dan kotak minuman yang ada di atas meja depan sofa. “Kita harus ke rumah sakit sekarang.”Tidak buang-buang waktu, Ray langsung menggendong Ana ala bridal style dan membawa gadis itu keluar kamar. Sepertinya, Ray mulai tahu apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu.Takut, cemas dan khawatir menjadi satu memenuhi perasaan dan tubuh Ray. Dengan rasa gelisah, ia mengendari mobil dan membelah kegelapan malam agar segera sampai ke rumah sakit terdekat. Ray yang sedang mengemudi sesekali menoleh ke belakang, melihat Ana yang terkulai lemas di ba
Siapa yang tidak suka bolos? Mungkin sebagian dari mahasiswa sangat menyukai hal tersebut. Bahkan, tidak sedikit juga yang rela pura-pura sakit agar bisa menghindari tugas atau dosen yang akan mengajar di kelas saat itu. Namun berbeda dengan Ana yang semakin merana karena sengaja bolos untuk menghindari berbagai pertanyaan teman-temannya. Bagaimana tidak, Ana sendiri saja sangat syok melihat wajahnya yang terlihat bengkak dan jelek karena kebanyakan menangis, apa lagi teman-temannya. Mereka pasti heran dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Sungguh, Ana belum bisa menerima serangan pertanyaan rudal yang mungkin akan ditujukan kepadanya. Terlebih lagi, dosen yang mengajar kali ini adalah miss Rahel, yang membuatnya semakin membulatkan tekat untuk bolos. Setelah seharian mengurung diri di dalam kamar, Ana akhirnya bangkit dari tempat tidur dan turun ke lantai dasar untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Sungguh, ia merasa sangat lapar dan kepalanya terasa pusing, sepe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments