Share

Bab 4

Sesuai kesepakatan Malati dan Aldino, keluarga Waluyo pun mendatangi keluarga Malati.

Setelah melihat siapa yang datang, barulah Junaedi dan Nia sadar jika apa yang tempo hari Aldino katakan benar--pria itu akan meminang keponakan satu-satunya.

Dengan pongah, Nia pun meminta uang lebih sebagai bentuk kompensasi karena telah mengambil keponakannya.

Hanya saja, ia tak menyangka dengan ucapan Aldino selanjutnya.

"Jika demikian, kami akan memberikan satu miliar," ucap pria tampan itu tanpa keraguan.

"Satu Miliar?" pekik Nia dan Junaedi. Keduanya lalu tersenyum. Mereka jelas dengan senang hati menyerahkan Malati setelah dijanjikan uang  yang melebihi nominal utang mereka!

Aldino pun mengangguk. "Hanya saja, pernikahan kami tidak boleh bocor ke publik," ucap Aldino tegas, "dan sertifikat rumah juga harus dipegang oleh Malati."

Kali ini, mata Nia membelalak. Jelas, dia tak setuju.

Namun, seolah tahu apa yang hendak dilakukan keduanya, Aldino tiba-tiba berkata, "Tenang saja, kalian boleh tinggal di sini sebelum menemukan tempat tinggal baru."

"Kalau tidak, KDRT yang kalian lakukan pada Malati selama ini akan kami bongkar dan diproses ke pihak berwajib," ancamnya. 

Mendengar itu,  Nia dan Junaedi sontak bungkam. Mereka pun menyetujui permintaan Aldino. 

Toh, mereka sudah mendapatkan uang banyak walaupun harus kehilangan sapi perah seperti Melati.

"Baiklah. Kami setuju," ucap Junaedi menahan senyum culasnya.

**** 

Dua hari kemudian, pernikahan sederhana pun digelar di kediaman Malati. 

Hanya ada keluarga inti dan perwakilan dari ketua RT sebagai pejabat setempat.

Ijab kabul bahkan dilaksanakan di ruang tamu.

Sementara itu, sang mempelai wanita yang sudah terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih gading lengkap dengan hijab sutra berwarna senada menunggu di ruangan lain di sebelahnya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Putri Melati binti Gunawan dengan seperangkat alat sholat dan dua puluh gram emas putih dibayar tunai!” ucap Aldino dengan lantang dan lancar.

“Sah!” 

Mendengar teriakan para saksi, Malati pun dipapah oleh ke dua sepupunya, Ariana dan Nadira untuk menghampiri pengantin pria.

 

“Silahkan acara sungkeman Mas Aldino!” ucap sang penghulu menggoda Aldino yang sibuk dengan pikirannya.

Setelah mendengar seruan sang penghulu, Aldino baru sadar jika istri kecilnya kini sudah berada di hadapannya duduk dengan menunduk.

Aldino menatap Malati yang terlihat gugup dengan tanpa berkedip.

Dalam diam, Aldino menilai penampilan gadis itu yang menurutnya lebih cocok disebut menggemaskan daripada cantik.

Malati pun merengkuh tangan besar Aldino dan mengecupnya tidak dengan menggunakan bibirnya namun hanya menempelkannya pada keningnya.

Bagi Aldino, tak masalah sebab gadis itu mungkin menganggapnya sebagai gurunya.

Pria itu pun memasangkan cincin pernikahan pada jari manis Malati.

Sayangnya, cincin tersebut terlalu besar di jari manis Malati sehingga tak indah ketika dipasang. Kedodoran!

"Sial," batin Aldino dalam hati.

Ia pun mencoba seluruh jari Malati. Hasilnya nihil dan tetap sama.

Aldino pun menyerah. Disematkannya cincin itu di jari manis Malati yang mungil, lalu berbisik, “Untuk sementara kau bisa pakai plester agar cincinnya pas di jarimu.” 

Malati sempat terkejut. Namun, gadis itu hanya mengangguk pelan.

Selepas itu, giliran Malati menyematkan cincin pada jari manis suaminya.

Tak butuh waktu lama, usai melangsungkan pernikahan secara khidmat, sepasang pengantin dan keluarga besar mengabadikan momen penting mereka dengan berfoto.

Kemudian mereka menikmati hidangan sebelum diboyong ke kediaman Aldino Tama Waluyo.

Sebelum benar-benar meninggalkan kediamannya, Malati izin seberntar.

Dia melihat kamar ke dua orang tuanya dengan pedih.

Kamar kosong itu selalu Malati rawat sehingga tetap bersih dan rapi. Tapi, terpaksa ia harus meninggalkan rumah masa kecilnya tersebut karena dipersunting orang asing.

Malati menatap dipan terbuat dari kayu mahoni yang masih utuh sejak sembilan tahun yang lalu.

Ia tidak akan pernah melupakan, saat terakhir kali melihat ibunya, di atas dipan tersebut tergolek lemah.

Hanya secarik kertas yang ia temukan. Sebuah pesan terakhir yang menyatakan bahwa Dewi, sang ibu sudah tidak kuat menanggung hidup yang begitu berat. Ia mengakhiri hidupnya dengan meminum racun arsenik.

Para warga pun bergunjing.

Hanya saja, ada sebuah fakta mengejutkan yang Malati temukan dan tak diketahui yang lain.

Sang ibu sebetulnya tidak mengakhiri hidupnya! Ada seseorang berusaha menghabisi nyawanya.

Malati pun menutup pintu kamar ke dua orang tuanya dan menguncinya. "Malati janji akan terus mencari tahu pembunuh ibu, sehingga nama baik ibu bisa kembali," lirihnya pelan.

******

“Ayo Malati!” seru Aldino begitu Malati keluar.

Pria itu memintanya untuk segera menaiki kendaraan mewah Aldino.

Terlihat seorang supir pribadi sudah memasukan koper berisi pakaian milik Malati ke dalam bagasi mobil.

Sementara itu, rombongan keluarga Aldino sepertinya sudah lebih dulu pulang.

Malati terdiam. Tak ada seorang pun yang mengantarkan kepergiannya.

DiSekelebat bayangan kedua orang tuanya terlihat. Gunawan dan Dewi melambaikan tangannya padanya dan mengucapkan kata-kata perpisahan yang menyejukan.

“Kami akan merindukanmu, Sayang!” seru kedua orang tuanya bersamaan ketika Malati ikut kegiatan camping PRAMUKA di Cibubur.

Malati memang memiliki ingatan begitu kuat sejak kecil. Jadi, ia pun masih mengingat momen-momen berharga bersama ke dua orang tuanya.

“Halo! Malati! Sampean kesambet setan?”

Aldino tiba-tiba melambaikan tangannya di hadapan wajah Malati-membuyarkan lamunannya.

Gadis itu pun mengerjapkan matanya dan segera sadar dari kenangan indahnya.

"Maaf," ucap Malati. Dia pun gegas memasuki mobil Aldino dan duduk di bangku belakang.

Hanya saja, ia merasa nyaman dalam kendaraan mewah itu.

Saking nyamannya, Malati bahkan tertidur pulas!

“Malati, bangun! Kita sudah sampai di rumah.”

Aldino menyentil kening gadis itu hingga terkejut.

Malati benar-benar terperenyak. 'Bisakah membangunkan dengan cara yang lebih lembut?' batinnya dalam hati.

“Kita di mana?” ucap Malati  setelah mengumpulkan nyawa.

Aldino mendecak kesal pada gadis itu, padahal ia sudah menjelaskan bahwasanya mereka sudah tiba di kediamannya.

“Dengarkan baik-baik! Saya tidak suka mengulangi kata-kata! Cukup sekali! Kita sudah tiba di rumah Eyang Waluyo. Kau mengerti ‘kan maksudku? Kau sudah pelajari apa saja yang harus diucapkan saat berhadapan dengannya?”

Malati mengangguk. 

Dalam diam, ia pun mengekori langkah kaki lebar Aldino yang cepat saat masuk rumah.

Tampak, seorang pelayan memakai seragam khusus menyambut kedatangan Aldino.

“Eyang sudah tiba?” tanya Aldino pada pelayan tersebut.

“Belum, Mas. Eyang masih di perjalanan.”

Pelayan tersebut menjawab kemudian membawakan koper milik Malati.

Aldino mengangguk, lalu menoleh pada Malati. “Kita ke lantai dua!” ucapnya. 

Tanpa basa-basi, pria itu berjalan terlebih dahulu diikuti pelayan tadi.

Dalam diam, Malati mengikuti langkah kaki Aldino hingga mereka melewati anak tangga yang banyak menuju sebuah kamar besar dengan pintu berukiran khas Jepara.

Ceklek!

Aldino membuka pintu kamarnya. 

“Ini kamar kita!” serunya membuat Malati tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya.  

Malati sontak terkagum-kagum melihat isinya yang mirip kamar hotel bintang lima.

Warna kamar tersebut didominasi abu-abu dan hitam. Sebuah kamar yang menunjukan sisi maskulin penghuninya. Furniture di dalamnya pun mewah, terdiri dari lemari jati dengan ornamen ukiran khas Jepara.

 

Hanya saja, Malati tiba-tiba sadar.

Bukankah mereka sepakat menjalani pernikahan kontrak namun mengapa harus tinggal sekamar?

"Hah?" pekik perempuan itu kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status