Karena merasa letih, Malati ketiduran dan terbangun saat mendengar suara azan magrib.
Ia bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kemudian ia menunaikan sholat magrib dan mendaras beberapa ayat alquran.
Setelah merasa tenang, Malati ingin menemui paman dan bibinya. Ia akan meminta maaf atas kekisruhan yang telah ia buat.
“Om,” panggil Malati pada adik ayahnya tersebut.
Hanya saja, Junaedi tak menyahut. Ia melemparkan pandangannya pada bunga anggrek layu-yang tumbuh bertengger di pohon jambu air.
Pria paruh baya itu terlihat semrawut. Sesekali ia menghisap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.
“Om Jun, aku mau minta maaf.”
Malati mengatakan kalimat itu dengan perasaan campur-aduk, antara sedih, kecewa dan marah pada keadaan.
Sayangnya, Junaedi justru mendengus. “ “Dulu, Bapakku juragan sapi seperti Hanan Jagal. Lima anaknya hidup berkecukupan dan bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.”
“Bahkan, Bapak mengangkat Kang Gunawan, yang merupakan anak pekerjanya.”
Deg!
Malati terkejut mendengarnya. Jadi, ayahnya bukanlah saudara kandung Junaedi?
“Jadi …” Malati ragu menanyakannya. Apakah ini alasan perlakuan kasar keluarga omnya?
Junaedi menatap dingin Malati. “Benar. Kang Gunawan hanyalah anak angkat!” jawabnya.
Seketika Malati tertegun. “Sekali lagi, maafin Malati jika merepotkan keluarga Om. Malati janji akan bekerja keras mencari kerja untuk melunasi utang Om dan menebus rumah ini kembali.”
Junaedi kembali mengepulkan asap rokok melalui hidungnya. “Terlambat! Hanan Jagal hanya memberi waktu tenggat seminggu. Utang Om mencapai 700 juta-an. Harga rumah ini ditaksir hanya sekitar 500 juta. Utang Om masih 200 juta. Jadi, Om sepertinya akan menghabiskan sisa hidup di penjara.”
Dari ujung mata, pria itu melirik Malati yang hanya bisa menunduk.
Jika demikian, dari manakah Malati bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu satu minggu?
Tujuh ratus juta bukan uang sedikit!
Tanpa gadis itu sadari, Junaedi tersenyum. Dia yakin keponakan angkatnya ini akan berpikir keras cara menyelamatkannya, kan?
Benar saja dugaan Junaedi, Malati tak bisa tidur--memikirkan fakta yang diterimanya.
Pagi-pagi sekali, dia bahkan mengendap-endap pergi ke sekolah lamanya untuk menemui kepala sekolah Aldino Tama Waluyo.
Tujuan kedatangannya tak lain berkaitan dengan tawaran bantuan darinya.
Tok tok tok!Malati gegas mengetuk pintu setiba di depan ruangan tersebut.
“Masuk!” Suara Aldino terdengar lantang di balik ruangannya.
Mendengar itu, jantung Malati berdegup kencang. Dipaksanya diri untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.
“Jadi, apa tujuan kedatanganmu ke sini? Apakah mengenai olimpiade ataukah mengenai pernikahan?”
Aldino langsung menodong Malati dengan pertanyaan yang sama sukarnya.
“Keduanya, Pak,” jawab Malati pelan, "tapi..."
Semalaman, ia telah merenung dan berpikir dalam mencari solusi soal masalah hidup yang ia jalani saat ini.
Tak ada pilihan selain menerima sebuah pernikahan kontrak yang ditawarkan oleh Aldino padanya.
Toh, Malati hanya berpura-pura menjadi istri di depan keluarganya?Hanya saja, ada satu hal yang Malati ingin tahu pastikan, apakah selama menjadi istri pria bertubuh kekar itu ia harus menjalani peran istri sesungguhnya, seperti ... melayani Aldino dan memberikan hak-hak suami pada umumnya?
Belum sempat bertanya, Aldino tiba-tiba berkata, “Daripada kau berpikir seribu macam, lebih baik kau mempelajari isi perjanjian pernikahan kontrak ini.”
Pria itu menyerahkan sebuah map berwarna biru pada Malati.
Tanpa basa-basi, gadis itu pun langsung meraih berkas tersebut dan membaca lembar demi lembar surat perjanjian kontrak.Untungnya, Malati tak butuh waktu lama untuk membaca surat perjanjian itu dan menemukan bahwa pernikahan kontrak tersebut menguntungkannya.Istri yang dimaksud Aldino sebatas status di hadapan keluarga Waluyo. Malati bahkan masih bisa melanjutkan kuliahnya!
Tanpa disadari, senyum tersungging di wajahnya. “Karena Bapak nantinya membantu saya melunasi utang, Bapak tidak perlu membantu membiayai pendidikan saya. Hanya saja, saya ingin ajukan satu permintaan.”
“Katakan!”
“Kita tidak berhak mencampuri urusan masing-masing!”
Tawa seketika pecah dari bibir Aldino. Malati pikir gadis itu siapa? Memang Aldiano punya waktu untuk mencampuri urusan anak ingusan, sepertinya?
“Hm, baiklah! Asalkan kau menjalankan peran yang baik di depan keluarga,” ucap Aldino setelah tawanya reda.
Pria itu lalu memberikan sebuah pena ke hadapan wajah gadis itu. “Tandatangani sekarang!”
Malati terdiam.
Seketika, ia merasa gamang. Apakah keputusannya tepat atau tidak?
Hanya saja, ia coba menguatkan diri karena untuk saat ini hanya Aldino satu-satunya penyelamat hidupnya.
Dan yang terpenting, ia tidak dijual pada mucikari.
Ia masih bisa melanjutkan kuliah dan rumah peninggalan ke dua orang tuanya selamat. Rumah masa kecil yang dipenuhi oleh kenangan indah dirinya bersama ke dua orang tuanya.
Malati pun meraih pena itu teriring doa dalam hati, 'Semoga keputusanku ini tak salah.'Dengan tangan yang gemetar, ia membubuhkan tanda tangan pada lembaran terakhir surat kontrak-yang kelak akan mengubah hidupnya 180 derajat dan mungkin juga ... Aldiano?
Kepala sekolah tampan itu tidak mengetahui kecerdasan lain dari Malati yang ia sembunyikan selama ini!
Sesuai kesepakatan Malati dan Aldino, keluarga Waluyo pun mendatangi keluarga Malati. Setelah melihat siapa yang datang, barulah Junaedi dan Nia sadar jika apa yang tempo hari Aldino katakan benar--pria itu akan meminang keponakan satu-satunya. Dengan pongah, Nia pun meminta uang lebih sebagai bentuk kompensasi karena telah mengambil keponakannya.Hanya saja, ia tak menyangka dengan ucapan Aldino selanjutnya. "Jika demikian, kami akan memberikan satu miliar," ucap pria tampan itu tanpa keraguan."Satu Miliar?" pekik Nia dan Junaedi. Keduanya lalu tersenyum. Mereka jelas dengan senang hati menyerahkan Malati setelah dijanjikan uang yang melebihi nominal utang mereka!Aldino pun mengangguk. "Hanya saja, pernikahan kami tidak boleh bocor ke publik," ucap Aldino tegas, "dan sertifikat rumah juga harus dipegang oleh Malati."Kali ini, mata Nia membelalak. Jelas, dia tak setuju. Namun, seolah tahu apa yang hendak dilakukan keduanya, Aldino tiba-tiba berkata, "Tenang saja, kalian boleh
Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing. “Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size. Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...? “Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan. “Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Ald
Malati bisa merasakan aura tak sedap yang menguar dari air muka Eyang Waluyo saat menatapnya. Sepertinya keberadaan dirinya tak dikehendaki. Barangkali karena perbedaan status sosial menjadi masalahnya. Apalagi Malati hanyalah seorang gadis yatim piatu dan berasal dari keluarga strata sosial menengah ke bawah. Ternyata alasan dicantumkannya ‘Malati harus bersikap baik dan ramah pada Eyang Waluyo’ adalah ini.Sepertinya, pria tua ini memang ketus, keras dan dingin. Tak ada manis-manisnya. Rupanya watak Aldino menurun dari eyangnya ini. Bahkan ... masih mending Aldino, setidaknya ia memiliki jiwa seorang guru alias kebapakan yang sedikit hangat. Hanya sedikit! Khusus untuk anak didik yang penurut saja. “Eyang, saya Malati,” ucap Malati lagi. Ia yang tak pandai berbasa-basi, mengerahkan seluruh keberaniannya hanya sekedar untuk memperkenalkan diri.“Saya sudah tahu, baru saja Aldino mengatakannya.” Eyang Waluyo menjawab dengan nada dingin kembali. “Oalah, siapa Cah Ayu ini? Pilihan
Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana sekitar sepuluh delapan sehingga cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan.Sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati k
Sejenak Malati mengabaikan pesan yang masuk pada ponselnya. Ia memasuki ruang kelas dan mengikuti perkuliahan hari itu. Hingga tak terasa waktu sudah siang. Malati harus bersiap-siap pergi ke sekolah SMA nya dulu untuk mengajar para calon peserta Olimpiade Matematika.Malati memesan ojek online agar tiba di sana. Jarak universitas Prabu Agung Cakrabuana menuju MA Al Fatma cukup jauh, membutuhkan waktu hingga setengah jam dengan kendaraan beroda dua jika jalan lengang.Kebetulan hari itu jalan mulus tanpa hambatan sehingga Malati bisa tiba di sekolah di mana dulu ia mengenyam pendidikan saat SMA tepat waktu.Aldino orang yang disiplin maka jika Malati datang terlambat, ia pasti akan kena marah.“Makasih Teh!” ucap Malati pada driver onjol perempuan seraya memberikan ongkosnya.“Sama-sama, Neng!” sahutnya.Malati menghela nafas. Karena wajahnya baby face sehingga ia masih dikira anak SMA. Padahal ia sudah menjadi anak mahasiswi tingkat tiga. Ia belajar lebih cepat sebab pernah mengikuti
Tak terasa petang beranjak. Setelah membeli buket bunga, Aldino mengajak Malati pergi ke sebuah rumah sakit kota yang elit. Namun sebelumnya mereka memutuskan sholat magrib di masjid agung.Ia akan mengunjungi kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap minggu ia membesuknya demi mengobati rasa rindu yang meradang.Kakinya mengayun lesu setiap kali datang ke sana. Sejujurnya ia tak tega melihatnya namun ia selalu ingin mengetahui kondisinya. Apakah ada perkembangan atau tidak. Ia berharap ada sebuah keajaiban yang hadir! Karena doa-doa Aldino senantiasa melangit untuk kekasihnya!Aldino memarkirkan kendaraannya di area parkir rumah sakit dan meminta Malati untuk menunggu di mobil.“Mala, kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” Begitulah Aldino memperingati Malati seperti pada anak kecil.Seperti biasa Malati hanya akan mengangguk untuk menjawab, namun ketika teringat Aldino yang selalu marah melihat responnya maka kini Malati mulai bersuara.“Iya, Pak! Saya akan m