Share

Bab 3

Karena merasa letih, Malati ketiduran dan terbangun saat mendengar suara azan magrib.

Ia bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kemudian ia menunaikan sholat magrib dan mendaras beberapa ayat alquran.

Setelah merasa tenang, Malati ingin menemui paman dan bibinya. Ia akan meminta maaf atas kekisruhan yang telah ia buat.

“Om,” panggil Malati pada adik ayahnya tersebut.

Hanya saja, Junaedi tak menyahut. Ia melemparkan pandangannya pada bunga anggrek layu-yang tumbuh bertengger di pohon jambu air.

Pria paruh baya itu terlihat semrawut. Sesekali ia menghisap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya ke udara.

“Om Jun, aku mau minta maaf.”

Malati mengatakan kalimat itu dengan perasaan campur-aduk, antara sedih, kecewa dan marah pada keadaan.

Sayangnya, Junaedi justru mendengus. “ “Dulu, Bapakku juragan sapi seperti Hanan Jagal. Lima anaknya hidup berkecukupan dan bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.” 

“Bahkan, Bapak mengangkat Kang Gunawan, yang merupakan anak pekerjanya.”

Deg!

Malati terkejut mendengarnya. Jadi, ayahnya bukanlah saudara kandung Junaedi? 

“Jadi …” Malati ragu menanyakannya. Apakah ini alasan perlakuan kasar keluarga omnya?

Junaedi menatap dingin Malati. “Benar. Kang Gunawan hanyalah anak angkat!” jawabnya.

 

Seketika Malati tertegun. “Sekali lagi, maafin Malati jika merepotkan keluarga Om. Malati janji akan bekerja keras mencari kerja untuk melunasi utang Om dan menebus rumah ini kembali.”

 

Junaedi kembali mengepulkan asap rokok melalui hidungnya. “Terlambat! Hanan Jagal hanya memberi waktu tenggat seminggu. Utang Om mencapai 700 juta-an. Harga rumah ini ditaksir hanya sekitar 500 juta. Utang Om masih 200 juta. Jadi, Om sepertinya akan menghabiskan  sisa hidup di penjara.”

Dari ujung mata, pria itu melirik Malati yang hanya bisa menunduk. 

Jika demikian, dari manakah Malati bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu satu minggu?

Tujuh ratus juta bukan uang sedikit!

Tanpa gadis itu sadari, Junaedi tersenyum. Dia yakin keponakan angkatnya ini akan berpikir keras cara menyelamatkannya, kan?

Benar saja dugaan Junaedi, Malati tak bisa tidur--memikirkan fakta yang diterimanya.

Pagi-pagi sekali, dia bahkan mengendap-endap pergi ke sekolah lamanya untuk menemui kepala sekolah Aldino Tama Waluyo.

Tujuan kedatangannya tak lain berkaitan dengan tawaran bantuan darinya.

Tok tok tok!

Malati gegas mengetuk pintu setiba di depan ruangan tersebut.

“Masuk!” Suara Aldino terdengar lantang di balik ruangannya.

Mendengar itu, jantung Malati berdegup kencang. Dipaksanya diri untuk  masuk ke dalam ruangan tersebut. 

“Jadi, apa tujuan kedatanganmu ke sini? Apakah mengenai olimpiade ataukah mengenai pernikahan?”

Aldino langsung menodong Malati dengan pertanyaan yang sama sukarnya.

“Keduanya, Pak,” jawab Malati pelan, "tapi..."

Semalaman, ia telah merenung dan berpikir dalam mencari solusi soal masalah hidup yang ia jalani saat ini.

Tak ada pilihan selain menerima sebuah pernikahan kontrak yang ditawarkan oleh Aldino padanya.

Toh, Malati hanya berpura-pura menjadi istri di depan keluarganya?

Hanya saja, ada satu hal yang Malati ingin tahu pastikan, apakah selama menjadi istri pria bertubuh kekar itu ia harus menjalani peran istri sesungguhnya, seperti ... melayani Aldino dan memberikan hak-hak suami pada umumnya?

Belum sempat bertanya, Aldino tiba-tiba berkata, “Daripada kau berpikir seribu macam, lebih baik kau mempelajari isi perjanjian pernikahan kontrak ini.”

Pria itu menyerahkan sebuah map berwarna biru pada Malati.

Tanpa basa-basi, gadis itu pun langsung meraih berkas tersebut dan membaca lembar demi lembar surat perjanjian kontrak.

Untungnya, Malati tak butuh waktu lama untuk membaca surat perjanjian itu dan menemukan bahwa pernikahan kontrak tersebut menguntungkannya.

Istri yang dimaksud Aldino sebatas status di hadapan keluarga Waluyo. Malati bahkan masih bisa melanjutkan kuliahnya!

Tanpa disadari, senyum tersungging di wajahnya. “Karena Bapak nantinya membantu saya melunasi utang, Bapak tidak perlu membantu membiayai pendidikan saya. Hanya saja, saya  ingin ajukan satu permintaan.”

“Katakan!” 

“Kita tidak berhak mencampuri urusan masing-masing!”

Tawa seketika pecah dari bibir Aldino. Malati pikir gadis itu siapa? Memang Aldiano punya waktu untuk mencampuri urusan anak ingusan, sepertinya?

 

“Hm, baiklah! Asalkan kau menjalankan peran yang baik di depan keluarga,” ucap Aldino setelah tawanya reda.

Pria itu lalu memberikan sebuah pena ke hadapan wajah gadis itu. “Tandatangani sekarang!”

Malati terdiam.

Seketika, ia merasa gamang. Apakah keputusannya tepat atau tidak?

Hanya saja, ia coba menguatkan diri karena untuk saat ini hanya Aldino satu-satunya penyelamat hidupnya.

Dan yang terpenting, ia tidak dijual pada mucikari.

Ia masih bisa melanjutkan kuliah dan rumah peninggalan ke dua orang tuanya selamat. Rumah masa kecil yang dipenuhi oleh kenangan indah dirinya bersama ke dua orang tuanya.

Malati pun meraih pena itu teriring doa dalam hati, 'Semoga keputusanku ini tak salah.'

Dengan tangan yang gemetar, ia membubuhkan tanda tangan pada lembaran terakhir surat kontrak-yang kelak akan mengubah hidupnya 180 derajat dan mungkin juga ... Aldiano?

Kepala sekolah tampan itu tidak mengetahui kecerdasan lain dari Malati yang ia sembunyikan selama ini!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pie Mar
Assalamualaikum, Hello My lovely Reader, makasih ya sudah singgah di novel Pie yang terbaru. Novel Istri Rahasia Kepala Sekolah. Jangan lupa support novelnya dengan ngasih gem and komen. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Amin. Ini novel spin off Dinodai Sebelum Malam Pertama
goodnovel comment avatar
Wagia Ningsih
makin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status