Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing.
“Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size.
Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...?
“Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan.
“Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Aldino bergumam meskipun masih terdengar di telinga Malati.
Deg!
Bagaimana bisa seorang kepala sekolah yang berpendidikan tinggi dan menjunjung tinggi adab dan moralitas bisa berkata begitu kasar dan menyakitkan?
Sakit hati Malati mendengar bahasanya yang terdengar kasar. Namun, ditahan.
“Oh iya, kau bisa menaruh pakaianmu di walk in closet di sana!” Telunjuk Aldino menuding ke arah sebelah kanannya.
“Letakkan barang-barangmu pada lemari yang berwarna putih!” perintahnya lagi.
Malati mengikuti telunjuk Aldino, mengintip sedikit penampakan walk in closet yang mewah.
“Aku akan tunjukan kamar mandi sekarang. Di sana ada keran air panas dan dingin. Kau bisa menyalakannya? Um, sepertinya kau tak bisa menggunakannya. Aku akan menunjukkannya!”
Aldino melangkah lebar dan menunjukan kamar mandi yang luas dan mewah tersebut.
Ia menuntun Malati belajar bagaimana menyiapkan air hangat untuk mandi.
“Kau lihat ada tanda titik merah dan biru pada kepala keran? Nah, tanda merah berarti air panas sedangkan tanda biru berarti air dingin," jelas Aldino dengan sabar.
Dia pun menunjukkan cara menggunakan keran. "Mengerti?”
Alih-alih menjawab, Malati hanya mengangguk pelan.
Tanpa disadari, Aldino jengkel pada anak didiknya yang pendiam tersebut. Mengapa ia tak menggunakan mulutnya untuk menjawab?
“Apa kau mengerti Malati?” tegas Aldino untuk ke sekian kalinya.
“Saya mengerti, Pak,” sahut Malati akhirnya pelan.
Gadis itu hanya bisa pasrah. Ia sudah mengenal betul watak dan sifat kepala sekolahnya dulu ini. Aldino seringkali bertindak semaunya dan memaksakan kehendak orang lain.
Itulah alasan Malati tak ingin menerima tawaran pekerjaan untuk membimbing adik-adik kelasnya dalam mengikuti olimpiade Matematika.
“Malati, kau bisa mulai menaruh barangmu di lemari. Aku akan mandi. Setelah aku mandi barulah giliranmu mandi. Kita akan menyambut Eyang Waluyo.”
Aldino lalu mengambil handuk dari tempatnya kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Selagi Aldino membersihkan diri, Malati pun menyeret kopernya dan berjalan menuju walk in closet. Ia mulai mengeluarkan barang pribadi miliknya dan menatanya ke dalam lemari.
Tak banyak pakaian yang ia bawa. Karena memang ia jarang membeli pakaian. Ia hanya punya beberapa stel gamis dan one set yang sudah agak lusuh.
Malati sempat terkagum-kagum melihat penampakan isi walk in closet milik Aldino. Ada banyak jas dan kemeja mahal tergantung dan disusun berdasarkan gradasi warna.
Benar-benar rapi serapi deret geometri dalam materi matematika yang ia senangi. Selain itu ada sepatu, tas dan arloji tertata rapi menghuni lemari kaca tersebut.
Di mata gadis itu, walk in closet seperti display sebuah butik bukan lemari pakaian yang menghuni kamarnya.
Ia sempat berpikir, bukankah gaji kepala sekolah standar setara para guru. Namun mengapa Aldino terlihat lebih seperti pengusaha bukan PNS biasa? Barang-barang yang ia pakai bermerk dan mahal.
Apa jangan-jangan ia korupsi? Menggelapkan uang sekolah? Rasanya tak mungkin. Meski wataknya buruk, agak temperamen dan tak sabaran, ia orang yang jujur.
Tak butuh waktu lama, Malati menaruh pakaiannya. Ia hanya menggantungnya pada gantungan yang tersedia di dalam lemari dan menaruh pakaian dalam di dalam lacinya. Koper berukuran medium diletakan di pojok dekat lemari tersebut, bergabung dengan aneka tas.
Kala Malati keluar dari ruang walk in closet, ia dikejutkan oleh kehadiran Aldino yang terlihat setengah telanjang.
Ia menggunakan handuk sebatas pinggangnya dan menampilkan sejumlah otot-otot perut yang liat dan kekar.
Tinggi tubuhnya yang nyaris mencapai enam kaki dan perutnya yang berbentuk abs membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.
Ia berjalan santai sembari mengusak rambutnya yang basah setelah keramas. Sisa air menetes dan melewati bagian tubuhnya yang mirip roti sobek tersebut.
"Hmmm..." Malati membuang tatapan dan begitu saja meninggalkan Aldino yang melesak masuk ke dalam ruangan tersebut untuk memakai pakaian.
Di sisi lain, Malati masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Hanya sepuluh menit Malati menuntaskan hajatnya di kamar mandi. Ia pun memakai one set lengkap dengan jilbabnya di kamar mandi.
Setelah siap, mereka pun turun ke bawah dan bersiap-siap menyambut Eyang Waluyo.
Sebuah mobil SUV berwarna hitam metalik sudah merayap-memasuki halaman rumah. Turunlah seorang pria tua bersurai kinantan digandeng oleh seorang wanita paruh baya cantik dan diikuti dua orang pengawal di belakangnya.
Semua pelayan yang berada di sana, baik prt, tukang kebun hingga satpam langsung menyapa sosok pria tua tersebut dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Eyang, kenapa datang terlambat?” tanya Aldino berbasa-basi. Ia langsung memeluk kakek dari ayahnya tersebut dan wanita di sebelahnya-bude Ratna dengan hangat. Ia kemudian menggandeng eyangnya masuk ke dalam rumah.
“Kau sudah tahu jawabannya! Kenapa masih bertanya penyebabnya,” jawab Eyang Waluyo bernada dingin seperti biasa.
Melihat kedatangan Eyang Waluyo, Malati memberanikan diri ikut menyambutnya setelah melihat isyarat dari Aldino.
“Eyang, perkenalkan ini istriku, Malati.” Aldino memperkenalkan Malati pada kakeknya.
Gadis itu pun menghampirinya dan mengulurkan tangannya untuk menyalaminya.
Namun, alih-alih menyambut uluran tangannya, Eyang Waluyo justru melayangkan tatapan tajam pada wanita muda yang baru sehari dinikahi cucunya tersebut. "Jadi, ini wanita pilihanmu?"
Malati bisa merasakan aura tak sedap yang menguar dari air muka Eyang Waluyo saat menatapnya. Sepertinya keberadaan dirinya tak dikehendaki. Barangkali karena perbedaan status sosial menjadi masalahnya. Apalagi Malati hanyalah seorang gadis yatim piatu dan berasal dari keluarga strata sosial menengah ke bawah. Ternyata alasan dicantumkannya ‘Malati harus bersikap baik dan ramah pada Eyang Waluyo’ adalah ini.Sepertinya, pria tua ini memang ketus, keras dan dingin. Tak ada manis-manisnya. Rupanya watak Aldino menurun dari eyangnya ini. Bahkan ... masih mending Aldino, setidaknya ia memiliki jiwa seorang guru alias kebapakan yang sedikit hangat. Hanya sedikit! Khusus untuk anak didik yang penurut saja. “Eyang, saya Malati,” ucap Malati lagi. Ia yang tak pandai berbasa-basi, mengerahkan seluruh keberaniannya hanya sekedar untuk memperkenalkan diri.“Saya sudah tahu, baru saja Aldino mengatakannya.” Eyang Waluyo menjawab dengan nada dingin kembali. “Oalah, siapa Cah Ayu ini? Pilihan
Sementara percakapan ketiganya berlangsung, Eyang Waluyo tengah terbaring lemah di atas ranjang.Perjalanan lewat udara cukup membuatnya merasa letih karena usianya yang sudah renta dan penyakit kronis yang dideritanya. Seorang pengawal setianya hendak memeriksa ke dalam kamar di mana ia istirahat. Ia ingin memastikan kondisi majikannya apakah baik-baik saja atau tidak. Sengaja, ia membawakan secangkir teh melati favoritnya. Tok tok tok!Mendengar pintu diketuk, pria dengan rambut dipenuhi uban itu pun mempersilakannya masuk. “Masuklah!” “Tuan, apa Anda butuh sesuatu?” tanya sang pengawal yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Melihat kedatangan pengawalnya, terbesit ide di kepala Eyang Waluyo. Ia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. “Bagas, tolong kau cari tahu semua hal tentang istri Aldino!” titah pria tua berwatak keras tersebut bernada serius. Ia mencium gelagat yang aneh pada pernikahan cucu kesayangannya. Terlalu mendadak dan wanita yang ia nikahi ...
Malam ini Malati tidur dengan begitu pulas hingga dengkuran halus terdengar. Tak pernah merasakan begitu nikmat menjemput mimpi seperti malam-malam sebelumnya yang senantiasa dipenuhi mimpi buruk yang menyiksa.Tidur di atas kasur yang empuk tanpa ada yang mengusiknya merupakan sebuah berkah luar biasa bagi gadis yang disibukan dengan segudang aktifitasnya seharian. Kini indera pendengarannya selamat dari suara sopran bibinya yang senang sekali mengganggu waktu istirahatnya, menyuruh ini dan itu seperti pada pelayan. Suhu pendingin ruangan semakin menenggelamkan tubuh mungil Malati di balik selimut wol yang hangat. Ia tersenyum dalam tidurnya.Sayup-sayup suara azan subuh menggelitik telinga Malati. Ia sudah terbiasa bangun dini hari, namun hari itu, ia baru bisa bangun menjelang subuh. Perlahan ia membelakan matanya yang terasa berat, berusaha beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menerobos masuk melalui retina matanya.Malati tersentak ketika terbangun di kamar asing.“Aku di m
Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana sekitar sepuluh delapan sehingga cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan.Sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati k
Sejenak Malati mengabaikan pesan yang masuk pada ponselnya. Ia memasuki ruang kelas dan mengikuti perkuliahan hari itu. Hingga tak terasa waktu sudah siang. Malati harus bersiap-siap pergi ke sekolah SMA nya dulu untuk mengajar para calon peserta Olimpiade Matematika.Malati memesan ojek online agar tiba di sana. Jarak universitas Prabu Agung Cakrabuana menuju MA Al Fatma cukup jauh, membutuhkan waktu hingga setengah jam dengan kendaraan beroda dua jika jalan lengang.Kebetulan hari itu jalan mulus tanpa hambatan sehingga Malati bisa tiba di sekolah di mana dulu ia mengenyam pendidikan saat SMA tepat waktu.Aldino orang yang disiplin maka jika Malati datang terlambat, ia pasti akan kena marah.“Makasih Teh!” ucap Malati pada driver onjol perempuan seraya memberikan ongkosnya.“Sama-sama, Neng!” sahutnya.Malati menghela nafas. Karena wajahnya baby face sehingga ia masih dikira anak SMA. Padahal ia sudah menjadi anak mahasiswi tingkat tiga. Ia belajar lebih cepat sebab pernah mengikuti
Tak terasa petang beranjak. Setelah membeli buket bunga, Aldino mengajak Malati pergi ke sebuah rumah sakit kota yang elit. Namun sebelumnya mereka memutuskan sholat magrib di masjid agung.Ia akan mengunjungi kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap minggu ia membesuknya demi mengobati rasa rindu yang meradang.Kakinya mengayun lesu setiap kali datang ke sana. Sejujurnya ia tak tega melihatnya namun ia selalu ingin mengetahui kondisinya. Apakah ada perkembangan atau tidak. Ia berharap ada sebuah keajaiban yang hadir! Karena doa-doa Aldino senantiasa melangit untuk kekasihnya!Aldino memarkirkan kendaraannya di area parkir rumah sakit dan meminta Malati untuk menunggu di mobil.“Mala, kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” Begitulah Aldino memperingati Malati seperti pada anak kecil.Seperti biasa Malati hanya akan mengangguk untuk menjawab, namun ketika teringat Aldino yang selalu marah melihat responnya maka kini Malati mulai bersuara.“Iya, Pak! Saya akan m
Malati mulai merasa jenuh dan letih menunggu Aldino yang keluar meninggalkannya selama lebih dari tiga puluh menit. Beberapa kali Malati menengok jam pada arloji yang melingkari di pergelangan tangan kanannya. Namun Aldino tak urung datang.Bukan tanpa alasan, hari ini jadwal kegiatan Malati sangatlah padat. Pagi hari ia mengikuti jadwal kuliah. Sore hari ia harus mengajar adik kelasnya di MA Al Fatma.Perutnya sudah keroncongan karena tak sempat makan siang. Rasanya ia ingin segera pulang bersantap malam dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Untuk mengusir rasa suntuk dan lapar, Malati membaca buku. Sudah tiga buku berjilid tebal yang ia baca. Malati yang diberkati daya ingat yang kuat tak butuh waktu lama dalam membaca sebuah buku. Hanya dengan membaca sekilas, ia bisa memahami isi buku. Tiba-tiba merasa ada panggilan alam. Ia ingin buang air kecil. Namun ia khawatir jika Aldino datang saat ia tak menunggunya. Ia takut Aldino marah karena sifat aslinya temperamen. Oleh karena
Malati tersentak kaget ketika tubuhnya tiba-tiba melayang ke udara. Tanpa seijinnya, ke dua tangan kekar Aldino membopong tubuhnya. Tatapannya yang tajam kini berubah menjadi teduh.Karena khawatir jatuh, reflek, tangan Malati mencengkram baju Aldino, berpegangan.“Pssttt! Jangan berisik! Apa kau tak lihat Bude Ratna sedang memperhatikan kita,” lirih Aldino.Malati pun menutup bibirnya rapat-rapat. Ia masih berupaya keras menormalkan debaran jantungnya yang tiba-tiba jedag-jedug. Ekor mata Malati menangkap sosok wanita tengah berdiri mematung dekat lemari pendingin. Mungkin Bude Ratna kehausan sehingga mengambil air dingin di sana.Namun Malati seringkali dibuat pening tiada ampun dengan tindakan Aldino yang berada di luar nalar. Penuh kejutan dan tak bisa ditebak!Mengapa harus ada adegan menggendong. Lama kelamaan Malati mulai berpikir jika Aldino diam-diam merupakan penggemar drakor. Pikirannya mungkin dipenuhi oleh adegan-adegan roman picisan. Usia boleh tua tetapi jiwa masih mu