Share

Bab 5

Seingat Malati dalam surat perjanjian dikatakan bahwa mereka akan tinggal di rumah kakek Aldino-Eyang Waluyo di mana hanya ditinggali oleh Aldino seorang dan pekerja rumah tangga, karena Eyang Waluyo menetap di Salatiga, Jawa tengah. Sehingga mereka bisa tidur terpisah di kamar masing-masing.

“Maaf, Pak. Bukankah kamar kita terpisah?” hardik Malati yang berusaha mengalihkan matanya dari atas kepala ranjang berukuran king size.

Ada sebuah foto raksasa Aldino yang menampilkan otot-otot tubuh bagian atasnya. Setahu Malati, Aldino memang penggemar olahraga gym dan senang membentuk otot-otot tubuhnya. Tapi, sampai memajang foto...?

“Dengar! Eyang Waluyo akan datang kemari. Dia sedang berada di perjalanan. Kau tahu, bagaimana nanti reaksinya ketika dia mengetahui jika kita menikah tetapi tidak tinggal sekamar? Sandiwara kita akan ketahuan!” jelas Aldino menyadarkan gadis itu dari lamunan.

“Sekalipun kau tidur telanjang di atas ranjangku, aku tak tertarik padamu! Kau bukan seleraku.” Aldino bergumam meskipun masih terdengar di telinga Malati.

Deg!

Bagaimana bisa seorang kepala sekolah yang berpendidikan tinggi dan menjunjung tinggi adab dan moralitas bisa berkata begitu kasar dan menyakitkan?

Sakit hati Malati mendengar bahasanya yang terdengar kasar. Namun, ditahan.

“Oh iya, kau bisa menaruh pakaianmu di walk in closet di sana!” Telunjuk Aldino menuding ke arah sebelah kanannya.

“Letakkan barang-barangmu pada lemari yang berwarna putih!” perintahnya lagi.

Malati mengikuti telunjuk Aldino, mengintip sedikit penampakan walk in closet yang mewah.

“Aku akan tunjukan kamar mandi sekarang. Di sana ada keran air panas dan dingin. Kau bisa menyalakannya? Um, sepertinya kau tak bisa menggunakannya. Aku akan menunjukkannya!”

Aldino melangkah lebar dan menunjukan kamar mandi yang luas dan mewah tersebut.

Ia menuntun Malati belajar bagaimana menyiapkan air hangat untuk mandi.

“Kau lihat ada tanda titik merah dan biru pada kepala keran? Nah, tanda merah berarti air panas sedangkan tanda biru berarti air dingin," jelas Aldino dengan sabar.

Dia pun menunjukkan cara menggunakan keran. "Mengerti?”

Alih-alih menjawab, Malati hanya mengangguk pelan.

Tanpa disadari, Aldino jengkel pada anak didiknya yang pendiam tersebut. Mengapa ia tak menggunakan mulutnya untuk menjawab?

“Apa kau mengerti Malati?” tegas Aldino untuk ke sekian kalinya.

“Saya mengerti, Pak,” sahut Malati akhirnya pelan.

Gadis itu hanya bisa pasrah.  Ia sudah mengenal betul watak dan sifat kepala sekolahnya dulu ini. Aldino seringkali bertindak semaunya dan memaksakan kehendak orang lain.

Itulah alasan Malati tak ingin menerima tawaran pekerjaan untuk membimbing adik-adik kelasnya dalam mengikuti olimpiade Matematika. 

“Malati, kau bisa mulai menaruh barangmu di lemari. Aku akan mandi. Setelah aku mandi barulah giliranmu mandi. Kita akan menyambut Eyang Waluyo.”

Aldino lalu mengambil handuk dari tempatnya kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

Selagi Aldino membersihkan diri, Malati pun menyeret kopernya dan berjalan menuju walk in closet. Ia mulai mengeluarkan barang pribadi miliknya dan menatanya ke dalam lemari.

Tak banyak pakaian yang ia bawa. Karena memang ia jarang membeli pakaian. Ia hanya punya beberapa stel gamis dan one set yang sudah agak lusuh.

Malati sempat terkagum-kagum melihat penampakan  isi walk in closet milik Aldino. Ada banyak jas dan kemeja mahal tergantung dan disusun berdasarkan gradasi warna.

Benar-benar rapi serapi deret geometri dalam materi matematika yang ia senangi. Selain itu ada sepatu, tas dan arloji tertata rapi menghuni lemari kaca tersebut.

Di mata gadis itu, walk in closet seperti display sebuah butik bukan lemari pakaian yang menghuni kamarnya.

Ia sempat berpikir, bukankah gaji kepala sekolah standar setara para guru. Namun mengapa Aldino terlihat lebih seperti pengusaha bukan PNS biasa? Barang-barang yang ia pakai bermerk dan mahal.

Apa jangan-jangan ia korupsi? Menggelapkan uang sekolah? Rasanya tak mungkin. Meski wataknya buruk, agak temperamen dan tak sabaran, ia orang yang jujur.

Tak butuh waktu lama, Malati menaruh pakaiannya. Ia hanya menggantungnya pada gantungan yang tersedia di dalam lemari dan menaruh pakaian dalam di dalam lacinya. Koper berukuran medium diletakan di pojok dekat lemari tersebut, bergabung dengan aneka tas.

Kala Malati keluar dari ruang walk in closet, ia dikejutkan oleh kehadiran Aldino yang terlihat setengah telanjang.

Ia menggunakan handuk sebatas pinggangnya dan menampilkan sejumlah otot-otot perut yang liat dan kekar.

Tinggi tubuhnya yang nyaris mencapai enam kaki dan perutnya yang berbentuk abs membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.

Ia berjalan santai sembari mengusak rambutnya yang basah setelah keramas. Sisa air menetes dan melewati bagian tubuhnya yang mirip roti sobek tersebut.

"Hmmm..." Malati membuang tatapan dan begitu saja meninggalkan Aldino yang melesak masuk ke dalam ruangan tersebut untuk memakai pakaian.

Di sisi lain, Malati masuk ke dalam  kamar mandi dan membersihkan diri. Hanya sepuluh menit Malati menuntaskan  hajatnya di kamar mandi. Ia pun memakai one set lengkap dengan jilbabnya di kamar mandi.

Setelah siap, mereka pun turun ke bawah dan bersiap-siap menyambut Eyang Waluyo.

Sebuah mobil SUV berwarna hitam metalik sudah merayap-memasuki halaman rumah. Turunlah seorang pria tua bersurai kinantan digandeng oleh seorang wanita paruh baya cantik dan diikuti dua orang pengawal di belakangnya.

Semua pelayan yang berada di sana, baik prt, tukang kebun hingga satpam langsung menyapa sosok pria tua tersebut dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.

“Eyang, kenapa datang terlambat?” tanya Aldino berbasa-basi. Ia langsung memeluk kakek dari ayahnya tersebut dan wanita di sebelahnya-bude Ratna dengan hangat. Ia kemudian menggandeng eyangnya masuk ke dalam rumah.

“Kau sudah tahu jawabannya! Kenapa masih bertanya penyebabnya,” jawab Eyang Waluyo bernada dingin seperti biasa.

Melihat kedatangan Eyang Waluyo, Malati memberanikan diri ikut menyambutnya setelah melihat isyarat dari Aldino.

“Eyang, perkenalkan ini istriku, Malati.” Aldino memperkenalkan Malati pada kakeknya.

Gadis itu pun menghampirinya dan mengulurkan tangannya untuk menyalaminya.

 

Namun, alih-alih menyambut uluran tangannya, Eyang Waluyo justru melayangkan tatapan tajam pada wanita muda yang baru sehari dinikahi cucunya tersebut. "Jadi, ini wanita pilihanmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status