"Bagaimana keadaannya?" Arya bertanya begitu Dokter sekaligus sepupunya keluar dari ruang rawat.
"Bagaimana menjelaskannya, ya? Luka bekas kecelakaannya tidak terlalu parah. Tapi, tensinya 80. Sepertinya dia juga kelelahan dan sangat kurang tidur. Jika stress sedikit lagi, mungkin dia akan pingsan." Penjelasan perempuan berkaca mata dengan rambut sebahu itu hanya dibalas Arya dengan anggukan."Hei, dia pegawaimu, kan? Aku yakin dia sampai seperti ini karena bekerja padamu," tebak Dokter dengan name tag 'Cintya A.' itu dengan senyum jahil.Arya mendelik tajam. "Pergilah! Tugasmu sudah selesai, kan?" usir Arya pedas sebelum kemudian berjalan masuk ke ruang rawat Abia.Begitu sampai di dalam, pria jangkung itu menemukan Abia tengah menatap langit-langit ruangan gusar. Sepertinya perempuan itu masih memikirkan bagaimana cara mengganti rugi pada Arya."Sudah merasa lebih baik?" tanya Arya sambil duduk di kursi samping ranjang.Abia mengangguk kikuk. Perempuan itu ingin bangkit duduk karena merasa tidak nyaman berbaring di depan sang atasan, tetapi Arya malah menahan bahunya."Berbaring saja! Kata Cintya kau perlu banyak istirahat," tegurnya tegas yang tentu saja tidak bisa dibantah Abia.Terlebih, dia harus bersikap baik sekarang. Supaya Arya berbelas kasihan melepaskannya setelah merusak mobil mewah pria itu."B-bagaimana dengan mobilnya, Pak?" tanya Abia hati-hati.Wajah Arya yang sebelumnya santai, kini kembali terlihat marah. "Aish! Aku sudah melupakan ini sebelumnya, bahkan berniat tidak memaksamu mengganti rugi." Abia mengerjap senang mendengar pernyataan itu."Tapi karena kau terus mengungkitnya, kau harus mengganti rugi." Sayangnya, Abia memang merasa senang terlalu cepat."Tapi, Pak---""Dengan dua pilihan," potong pria dengan kemeja putih polos itu cepat."Apa?" tanya Abia tidak sabar."Pertama, dengan uang. Dulu aku membelinya seharga 10 milyar, tapi kuberi diskon. Kau cukup memberiku hanya 5 milyar," jawab Arya kelewat enteng.Abia meneguk ludah kasar. Apa sopan menyebut uang 5 milyar itu dengan kata 'hanya'?"Pilihan kedua?" tanya Abia lagi tanpa berpikir panjang."Kau hanya perlu menikah denganku." Kalimat bernada santai itu sejenak membuat Abia ragu.Apa telinganya tidak salah dengar?"Hah? Bapak meminta saya melakukan apa?" tanya Abia mencoba memperjelas pendengarannya."Menikah denganku. Tidak banyak yang harus kau lakukan. Hanya tinggal denganku sekaligus mengurus putraku. Aku juga tidak akan melarangmu bekerja seperti biasa," jelas Arya panjang lebar.Abia melongo. Bingung harus menanggapi kalimat mengejutkan itu dengan cara apa."Kenapa Pak Arya mau menikah dengan saya?" tanya Abia lagi semakin bingung."Haruskah aku menjawabnya?" tanya Arya sambil menaikkan sebelah alisnya angkuh.Abia ingin berteriak 'tentu saja!' tapi mendadak kehilangan kata."Waktumu 3 hari. Jika kau tidak bisa melakukan salah satu dari keduanya, aku bisa melaporkanmu ke polisi. Sekaligus memecatmu tentu saja," sambung pria itu final.Siapa saja, tolong bangunkan Abia dari mimpi buruk ini.***"Mimpi apa kau pulang ke rumah secepat ini?" Pertanyaan dari ambang pintu utama membuat Abia menghela napas berat."Apa aku tidak boleh pulang?" tanya Abia balik."Bukan begitu. Hanya saja, biasanya kau pulang hanya saat akhir bulan, saat gajian. Apa sekarang gajianmu dipercepat?" tanya pria tua yang kini berjalan sempoyongan tersebut.Abia tersenyum getir. "Apa aku hanya pulang untuk itu bagimu?""Tentu saja!" jawab pria dengan mata memerah juga bau alkohol tersebut.Kali ini, Bisma duduk di sofa panjang samping Abia. Pakaiannya terlihat berantakan. Persis seperti hidupnya."Apa Ayah tidak bisa hidup dengan lebih baik? Apa menyenangkan menghancurkan hidupmu seperti ini?" tanya Abia tidak habis pikir.Dia sebenarnya ke sini untuk mencari ketenangan. Sekaligus mencari solusi yang sebenarnya memang tidak mungkin Abia dapat di sini."Mengapa kau bertanya begitu? Kau memintaku hidup lebih baik? Apa kau lupa bahwa kau yang menghancurkan hidupku?!" bentak Bisma."Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!" sanggah Abia dengan mata berkaca-kaca."Kau lahir saja sudah salah, sialan!" cerca Bisma yang seketika membuat Abia menangis."Dan sekarang aku semakin muak melihatmu. Berhenti menangis seolah kau merasa bersalah! Padahal kau hidup dengan baik hingga sebesar ini," cibir Bisma sambil bangkit berdiri dan menarik paksa putrinya."Kau mau apa?" tanya Abia tidak mengerti."Memberimu pelajaran karena sudah membunuh istri dan putraku," jawab Bisma sambil terus menyeret Abia dan mendorong perempuan itu masuk ke kamar.Belum sempat berdiri, Abia sudah mendapati pintunya terkunci. Abia bersandar di pintu kamar sembari meluruhkan tubuh.Seharusnya dia memang tidak ke sini tadi. Tapi entah kenapa, dia sangat ingin bertemu Ayahnya. Meski Abia tahu Bisma tidak akan memperlakukannya dengan baik, bodohnya ia tetap datang dan berakhir di sini sekarang."Mungkin benar, seharusnya aku tidak pernah dilahirkan," gumam Abia sambil terkekeh miris.Dulu, Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Ayahnya masih bisa menerima. Tapi, begitu Kakaknya juga meninggal karena kecelakaan di perjalanan menuju sekolah Abia, Bisma mulai menyebutnya pembawa sial.Selama duduk di bangku SMA, dia terus mendapat banyak pukulan dan makian. Jadi, karena tidak tahan, Abia kuliah dengan beasiswa dan menyewa kost di dekat kampus dengan uang hasil kerjanya.Tapi rupanya, mendapat gelar sarjana dan bekerja di perusahaan besar tidak membuatnya merasa lebih baik. Menyadari hidup Ayahnya yang berantakan, Abia semakin dipenuhi perasaan bersalah.Maka, tinggal di rumah kontrakan dan memberi sebagian besar gajinya kepada Bisma adalah satu-satunya hal yang bisa Abia lakukan. Tapi rupanya, Bisma masih tetap tidak bisa menerimanya, ya?Apa Abia memang semenjijikkan itu?***Sudah tiga hari Abia tidak masuk kerja. Bertanya pada rekan kerjanya pun, mereka tidak tahu. Jarang sekali perempuan itu hilang tanpa kabar begini.Dan orang yang paling marah tentu saja Arya. Hari dimana perempuan itu di rawat di rumah sakit, malamnya dia sudah kabur dari sana saat Arya menjenguknya.Arya bahkan sempat mengunjungi kontrakan Abia. Tapi, perempuan itu tidak ada. Tetangganya juga bilang Abia tidak pernah pulang sekitar 3 hari lamanya.Kali ini, kemarahan Arya lebih tepat disebut khawatir. Nomor Abia juga tidak bisa dihubungi.BRAK!Pintu yang terbuka kasar membuat Arya terlonjak kaget. Di sana, berdiri Keanu---salah satu aktor yang sedang 'naik daun' dari agensi Star Group."Jika tidak punya otak, setidaknya kau punya sopan santun untuk mengetuk pintu terlebih dahulu!" bentak Arya kesal."Mengapa kau marah sekali? Biasanya aku juga melakukan itu setiap datang ke sini," heran pria dengan sepasang lesung pipi itu."Kau mau apa ke sini?" tanya Arya balik."Aku disuruh mengambil beberapa naskah drama. Ada banyak tawaran, tapi aku harus memilih satu." Arya mengangguk saja."Yasudah, kau boleh pergi." Arya mengusir santai."Seharusnya kau senang seseorang setampan aku mau menemuimu. Tapi kau malah mengusirku begini," keluh Keanu yang dibalas Arya dengan putaran bola mata malas."Pergilah---"Tuut ... tuut ... tuuut ....Getaran ponselnya membuat kalimat Arya terpotong. Begitu mendapati nama 'Abia (Kepala Tim Humas)' ada di sana, pria itu segera mengangkatnya."Kau kemana saja?! Jangan harap kau bisa melarikan diri, Abia!" tanya sekaligus ancam Arya sebelum Abia sempat bersuara.Anehnya, hanya terdengar suara deru napas tak teratur dari seberang sana."Abia?" panggil Arya sekali lagi, kali ini dengan nada sedikit panik."T-tolongin saya, Pak. Saya takut ....""Kenapa kau menelepon?" tanya Naya sambil menempelkan ponsel di telinganya. Malam ini, dia baru saja tiba di rumah. Naya pikir, setelah lepas dari pelatnas (tidak menjadi atlet maupun pelatih lagi), jadwalnya akan sedikit senggang. Namun, sepertinya Naya memang menerima terlalu banyak kerja sama.Sejak memutuskan untuk fokus pada dunia entertaiment dan muncul kembali setelah sebulan lebih menghilang, Naya terkejut menyadari popularitasnya yang kian melesat. Naya tidak tahu kenapa, padahal dia merasa tidak sepantas itu untuk disukai sebanyak itu.Jadi, agar tidak mengecewakan para penggemarnya, Naya mencoba untuk melakukan yang terbaik dan lebih bekerja keras."Kau sudah pulang?" tanya Neo dari seberang sana yang dibalas Naya dengan deheman.Sambil menghempaskan tubuhnya di ranjangnya yang sudah ia rindukan, Naya memijat pangkal hidungnya guna meredakan pening. Semalam, dia benar-benar hanya tidur satu jam. Lalu hari ini dia pulang pukul 11 malam nyaris 12 tepat."Kau sudah makan?" Su
"Kau serius tidak apa-apa jika media datang meliput?" Neo bertanya serius begitu Naya masuk ke mobil. Naya tersenyum menenangkan sambil menggangguk penuh yakin. "Memangnya kenapa? Aku juga sering membuat konten selama di pelatnas, kan? Kenapa sekarang mereka tidak boleh meliput?" jawab perempuan itu cepat.Neo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi kan ... ini berbeda. Ini pertama kalinya kau muncul di publik lagi setelah sebulan lebih menghilang," sahut pria sipit itu yang membuat Naya lagi-lagi tersenyum."Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku sudah baik-baik saja, sangattt baik. Sungguh!" pungkas Naya yang akhirnya mau tidak mau dipercayai saja oleh Neo."Omong-omong ... kau sudah membeli hadiah ulang tahunnya?" tanya Naya antusias yang dibalas Neo dengan kernyitan tidak mengerti."Maksudmu bagaimana? Siapa yang akan menerima hadiahnya?" tanya pria sipit itu balik.Ya, ini hari ulangtahun Bagas. Adhitama Bagaskara, orang yang sebulan lalu masih sempat mengolesi Naya krim per
"Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lembut itu membuat Naya yang baru bangun tengah malam ini mengernyit bingung."Kau di sini? Sejak kapan?" tanya perempuan itu dengan suara serak dan paraunya.Neo mengusap rambut Naya lembut sambil mengangguk. "Sejak tadi sore, aku menunggu sampai kau bangun baru pulang." Naya terdiam sejenak. Siapa yang memberitahu Neo kalau dia ada di sini? Padahal, dia sudah meminta Abia dan Arya merahasiakannya."Kenapa? Kau tidak ingin aku ada di sini? Kalau begitu aku pergi saja. Lagipula kau sudah bangun, aku lega jika sudah melihatmu." Ucapan Neo seketika membuat Naya mendelik panik.Apalagi begitu Neo benar-benar bangkit berdiri dan berbalik hendak pergi, Naya dengan susah payah mencoba bangkit duduk. Namun, karena nyeri hebat di kepala juga tubuhnya yang terasa remuk redam, perempuan itu meringis kesakitan."Akkhh ... sssh .... " rintih perempuan itu yang seketika membuat Neo menoleh terkejut dan buru-buru kembali ke posisi semula."KENAPA KAU BANGUN?!" b
Sejak menemuinya ke rumah sakit di hari kecelakaan, Neo tidak pernah lagi bertemu Naya hingga seminggu lamanya. Perempuan itu tidak bisa dihubungi, apalagi bisa ditemui. Terlebih Neo dipaksa Abia untuk dirawat setidaknya sampai seminggu di rumah sakit meski ia merasa kondisinya sudah sangat baik."Aku tidak mau tahu, aku akan ke rumah Naya setelah ini." Neo memutuskan final sambil menatap Abia sebal.Abia yang tengah melipat pakaian putranya hanya terkekeh geli. Neo sangat mirip dengan Arya. Caranya mencintai Naya, uring-uringan saat tidak melihat perempuan itu sehari saja, bahkan caranya cemburu mengingatkan Abia pada sang suami."Kenapa kau ingin menemuinya? Mungkin dia merasa terganggu, makanya tidak pernah menghubungimu selama ini." Komentar Abia seketika membuat Neo tertegun.Pria sipit itu menatap sang mama tidak terima. "Bagaimana Biya bisa berkata sekejam itu?" tanya Neo merasa sakit hati."Loh, Biya kejam karena mengatakan kebenaran?" tanya Abia balik.Mendengar itu, Neo sema
"Neo di mana?" Arya dan Abia menatap terkejut perempuan dengan wajah pucat sekaligus panik di depan mereka. Dengan cepat, Abia menariknya untuk segera duduk di kursi besi depan ruan IGD."Neo di mana, Bunda? Dia bagaimana?" tanya Naya sekali lagi dengan raut kalut.Abia bahkan dapat merasakan tubuh perempuan itu yang gemetaran saat tangan mereka bersentuhan. Dalam hati, perempuan itu meringis."Kenapa kau datang, Sayang? Kata Neo kan kau masih sakit. Lihatlah, wajahmu sangat pucat." Abia malah mengalihkan topik yang tidak ditanggapi lagi oleh Naya. "Neo masih ditangani di IGD. Kau tenanglah dan berdoa semoga dia baik-baik saja," jawab Arya mengerti apa yang ingin perempuan itu dengar. Arya mencoba menenangkan Naya, meski nyatanya dia juga sedang cemas bukan main. Abia yang duduk di samping Naya pun segera memeluk perempuan itu sambil menangis di sana.Abia tidak berbohong jika dia juga sangat khawatir. Tadi, dia mendapat telepon dari seorang polisi lalu lintas yang mungkin menemuka
"Kau yakin akan pulang hari ini?" Neo bertanya pada Naya yang sedari tadi bersikeras membawa kopernya sendiri di bandara.Naya mengangguk sambil membenarkan letak topi hitam yang bertengger di kepalanya. Hari ini, Naya memang mengenakan kacamata hitam, topi hitam, juga masker hitam dengan pakaian berwarna senada.Bukan tanpa alasan Naya melakukan itu. Ia harus tidak dikenali agar bisa tiba di bandara Indonesia dengan nyaman. Sebab, katanya sudah ada begitu banyak reporter dan fans yang menunggu kepulangannya di sana.Naya sebelumnya heran kenapa mereka melakukan hal tersebut. Tapi, setelahnya ia menyadari dirinya saat ini adalah publik figur, baik di dunia olahraga bahkan entertaiment. Terlebih setelah kasus kematian Bagas yang dirumorkan dekat dengannya mencuat."Nanti saat kita sampai di Indonesia, jangan berjalan bersamaku," peringat Naya tanpa memandang pria sipit di sampingnya."Loh, kenapa?" tanya Neo tidak mengerti."Jelas saja kita bisa dikenali," jawab Naya yang diangguki Neo