"Kamu sudah siapkan materi 'meeting' besok pagi?" Pria dengan netra cokelat terang yang tertutup kacamata itu bersuara.
Abia mengangguk. "Sudah, Pak. Hanya tinggal dicetak saja.""Berarti belum. Segera selesaikan hari ini!" titah pria dengan tulisan 'Chief Executive Officer' di meja tersebut tegas.Abia menghela napas berat. Oh ayolah! Ini sudah sangat sore. Mungkin, hanya tinggal mereka berdua di kantor berlantai sepuluh ini. Dia tahu gajinya cukup besar, tapi dia tidak pernah berpikir akan lembur setiap hari."Ini sudah hampir malam, Pak. File-nya bisa saya kirim ke Bapak dulu jika ingin diperiksa. Meeting-nya juga besok sore, jadi masih banyak waktu," jelas Abia hati-hati."Lalu? Apa karena masih banyak waktu, kamu boleh lalai? Apa perusahaan ini menggajimu hanya untuk itu?" tanya pria yang kini melepas kacamatanya dengan nada sarkas.Abia menggeleng cepat. Beberapa saat kemudian membungkuk hormat. "Maaf, saya akan cetak materinya sekarang."Tanpa berani menoleh pada makhluk menyeramkan itu lagi, Abia segera berbalik dan berlari keluar ruangan. Sambil terus berlari menuju ruangannya, perempuan berambut pirang itu mendumel sebal.Nama pria tadi adalah Arya. Arya Januar Malik. Arya memang cukup menyeramkan di mata seantero pegawai Star Group. Diam-diam, Abia sering memanggil bahkan menamai kontaknya 'Bos Galak'. Dari panggilannya saja, sudah dipastikan seberapa frustasi Abia selama enam tahun bekerja di sini, kan?Wah ... Abia bahkan terkejut menyadari dirinya masih waras bekerja selama itu di tempat ini."Benar-benar gila! Aku bahkan tidak sempat istirahat makan siang, dan dia juga tidak membiarkanku pulang untuk makan malam?!" keluh Abia takjub sambil berkacak pinggang di depan mesin printer."Cih! Pantas saja dia terus menjadi duda, siapa perempuan yang akan tahan menjadi istrinya?" cibir perempuan dengan celana kulot hitam, juga turtle neck warna senada berbalut jas pastel tersebut."Ehem!"Dehaman dari belakangnya membuat Abia terlonjak.Begitu berbalik, ternyata Arya tengah berdiri di sana sambil bersandar pada sisi pintu kaca. Pria jangkung itu bersedekap dada, memandang Abia dari atas sampai bawah dengan pandangan yang tidak bisa ia tafsirkan."Belikan aku kopi dan makan malam!" perintah duda beranak satu itu tiba-tiba sambil menyodorkan beberapa lembar uang berwarna biru.Abia cemberut. "Tapi, Pak Arya. Ini sudah waktunya saya pulang. Kenapa Bapak tidak membelinya di perjalanan pulang sekalian?" tanya perempuan dengan kuncir satu itu sedikit memelas.Dia benar-benar ingin tidur. Dia sangat rindu kamar terutama kasurnya. Sungguh. Apa penderitaannya hari ini belum berakhir juga?"Itu juga bagian dari tugasmu. Untuk itulah gajimu lebih tinggi dari tim humas yang lain," sahut Arya tidak peduli.Pria dengan jas abu itu menarik tangan Abia kemudian meletakkan lembaran uang juga kunci mobil mewahnya di sana."Kutunggu di ruangan. Kembaliannya ambil saja," ucap Arya final sebelum kemudian berlalu.Abia menyorot punggung tegap sang atasan kosong."Kau seharusnya tahu, aku tidak butuh kembalian. Aku butuh istirahat, Bos Sialan!" Abia memaki sepenuh hati.Abia segera pergi ke parkiran, lalu menjalankan mobil bosnya menuju ke restoran terdekat. Namun, entah karena mengantuk atau kelelahan, Abia jadi tidak fokus dalam berkendara.Lalu, tiba-tiba saja, dari arah berlawanan ada sepeda motor yang kencang melaju, dan itu membuat Abia terkejut sehingga mobil oleng dan keluar jalur. Mobil hampir saja bertabrakan dengan sepeda motor, namun karena Abia membanting setir, ia malah berakhir menabrak papan iklan besar di pinggir jalan."Aku akan mati. Aku pasti mati sebentar lagi." Abia keluar dari mobil, lalu berjongkok sambil memandangi mobil berwarna merah menyala di hadapannya.Saat Abia sedang meneliti mobil, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dan Abia semakin melebarkan matanya tatkala mengetahui bosnya itu meneleponnya. Abia meneguk ludah dengan susah payah. Hari memang sudah semakin malam, beberapa kerumunan orang sudah menghampirinya untuk menanyakan kondisinya.Abia jadi panik karena lalu lintas pun mengalami kemacetan. Perlu waktu beberapa menit untuk mendapati panggilan itu akhirnya berhasil ia angkat."Kau ke mana saja, Abia! Membeli kopi atau bersemedi?!" Tanpa memberi salam pembuka, Arya membentak kesal.Namun, suara bising kerumunan orang dari telepon sepertinya membuat pria itu penasaran hingga menanyakan lagi keberadaan dirinya."P-pak, tolong jangan marah! To-tolong jangan pecat saya! Saya pasti ganti rugi, s-saya bener-bener minta maaf." Abia gelagapan, ia takut mendapatkan semprotan dari atasannya."Ada masalah apa?" tanya Arya, kali ini dengan nada melunak."Saya kecelakaan. Mobilnya menabrak papan iklan besar di pinggir jalan dekat jembatan," jawab Abia lirih, nyaris 'tak terdengar.Tak ada jawaban, hingga akhirnya bosnya itu berkata, “Kamu! Cepat kirimkan lokasimu sekarang!”Ponselnya langsung mati, dan Abia dengan cepat mengirim lokasinya lewat pesan.Beberapa bagian dari kendaraan mewah itu tergores parah. Bagian depannya juga sudah nyaris tidak berbentuk.Bagaimana ini? Tidak mungkin Abia bisa mengganti rugi. Mobil ini adalah kesayangan Arya. Abia juga yakin harganya bahkan tidak sebanding dengan gajinya setahun."Nona, ayo kita ke rumah sakit dulu! Luka Anda perlu diobati," bujuk seorang pria paruh baya yang tak jauh dari hadapannya."Iya, Nak. Luka di kepalamu cukup parah. Kau harus mengobatinya segera," timpal seorang wanita tua lainnya.Abia memegang kepalanya, saking terkejutnya tadi, ia tidak menduga bahwa dirinya ikut terleka. Mungkin karena ia sudah ketakutan, jadi ia langsung keluar memerika mobil.Kini Abia menggeleng dengan mata menerawang jauh. Wajahnya terlihat pasrah dan putus asa."Untuk apa berobat? Sebentar lagi aku pasti akan dibunuh dan mati," ratap Abia.Mendengar cara Arya meneriakinya dari telepon saja sudah membuatnya merinding. Bagaimana jika pria itu tiba di sini?"Otakmu kau gadaikan ke mana, Abia?!" Makian dari samping membuat Abia terlonjak dan mendongak.Arya berdiri di sana. Menatap Abia dengan kilat amarah yang menyala di mata."Pak Arya, maaf." Begitu melihat duda galak itu, mendadak Abia mulai menangis.Arya mengerjap panik. Seketika kehilangan kata untuk marah."Hei! Kenapa kau menangis?!" tanya pria jangkung dengan kemeja putih polos itu panik. Jasnya sudah ia buang entah di mana tadi."Maafkan saya. Tolong jangan bunuh saya. Saya benar-benar tidak sengaja merusak mobil kesayangan Anda," jelas Abia sambil menangis sesenggukan.Beberapa pasang mata yang sedari tadi mengerumuni perempuan itu sejak insiden tabrakan, kali ini memandang Arya penuh penghakiman. Mungkin mereka berpikir dia tidak punya hati nurani karena memarahi korban kecelakaan sekarang."Ya ampun, Abia! Cepat berdiri! Ayo kita pergi!" paksa Arya sambil menarik lengan perempuan itu untuk berdiri."Kaki saya sakit. Tadi terjepit mobil," keluh Abia sambil meringis di sela isakannya."Dasar pria tidak punya hati! Seharusnya dia membawa perempuan itu ke rumah sakit. Bukan malah mempermasalahkan mobilnya," cerca seorang pria.Arya mendelik tajam. Makiannya sudah berada di ujung lidah, tapi tertelan begitu melihat darah merembes dari kening Abia."Ayo kita pergi!" ucap Arya sambil mengangkat tubuh Abia ke dalam gendongan.Abia terkejut dengan perlakuan tidak terduga pria itu."P-pak?""Diamlah! Perhatikan lukamu!" bentak Arya membuat Abia mengangguk dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang atasan takut."Bagaimana dengan mobilnya, Pak?" tanya Abia lagi, masih sempat-sempatnya."Menurutmu bagaimana? Tentu saja kau harus mengganti rugi!" jawab Arya tegas."Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu." Kuncir rambut Abia sudah berantakan, hingga helaian rambutnya menjuntai.Arya mendecak kesal. "Tidak dengan uang! Aku juga tahu kau miskin," sanggahnya cepat."Lalu?" tanya Abia sambil mendongak dengan tatapan penuh harap.Dilihatnya Arya menunjukkan smirk jahat. "Yang pasti, kau akan menyesal setelah ini.”"Kenapa kau menelepon?" tanya Naya sambil menempelkan ponsel di telinganya. Malam ini, dia baru saja tiba di rumah. Naya pikir, setelah lepas dari pelatnas (tidak menjadi atlet maupun pelatih lagi), jadwalnya akan sedikit senggang. Namun, sepertinya Naya memang menerima terlalu banyak kerja sama.Sejak memutuskan untuk fokus pada dunia entertaiment dan muncul kembali setelah sebulan lebih menghilang, Naya terkejut menyadari popularitasnya yang kian melesat. Naya tidak tahu kenapa, padahal dia merasa tidak sepantas itu untuk disukai sebanyak itu.Jadi, agar tidak mengecewakan para penggemarnya, Naya mencoba untuk melakukan yang terbaik dan lebih bekerja keras."Kau sudah pulang?" tanya Neo dari seberang sana yang dibalas Naya dengan deheman.Sambil menghempaskan tubuhnya di ranjangnya yang sudah ia rindukan, Naya memijat pangkal hidungnya guna meredakan pening. Semalam, dia benar-benar hanya tidur satu jam. Lalu hari ini dia pulang pukul 11 malam nyaris 12 tepat."Kau sudah makan?" Su
"Kau serius tidak apa-apa jika media datang meliput?" Neo bertanya serius begitu Naya masuk ke mobil. Naya tersenyum menenangkan sambil menggangguk penuh yakin. "Memangnya kenapa? Aku juga sering membuat konten selama di pelatnas, kan? Kenapa sekarang mereka tidak boleh meliput?" jawab perempuan itu cepat.Neo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi kan ... ini berbeda. Ini pertama kalinya kau muncul di publik lagi setelah sebulan lebih menghilang," sahut pria sipit itu yang membuat Naya lagi-lagi tersenyum."Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku sudah baik-baik saja, sangattt baik. Sungguh!" pungkas Naya yang akhirnya mau tidak mau dipercayai saja oleh Neo."Omong-omong ... kau sudah membeli hadiah ulang tahunnya?" tanya Naya antusias yang dibalas Neo dengan kernyitan tidak mengerti."Maksudmu bagaimana? Siapa yang akan menerima hadiahnya?" tanya pria sipit itu balik.Ya, ini hari ulangtahun Bagas. Adhitama Bagaskara, orang yang sebulan lalu masih sempat mengolesi Naya krim per
"Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lembut itu membuat Naya yang baru bangun tengah malam ini mengernyit bingung."Kau di sini? Sejak kapan?" tanya perempuan itu dengan suara serak dan paraunya.Neo mengusap rambut Naya lembut sambil mengangguk. "Sejak tadi sore, aku menunggu sampai kau bangun baru pulang." Naya terdiam sejenak. Siapa yang memberitahu Neo kalau dia ada di sini? Padahal, dia sudah meminta Abia dan Arya merahasiakannya."Kenapa? Kau tidak ingin aku ada di sini? Kalau begitu aku pergi saja. Lagipula kau sudah bangun, aku lega jika sudah melihatmu." Ucapan Neo seketika membuat Naya mendelik panik.Apalagi begitu Neo benar-benar bangkit berdiri dan berbalik hendak pergi, Naya dengan susah payah mencoba bangkit duduk. Namun, karena nyeri hebat di kepala juga tubuhnya yang terasa remuk redam, perempuan itu meringis kesakitan."Akkhh ... sssh .... " rintih perempuan itu yang seketika membuat Neo menoleh terkejut dan buru-buru kembali ke posisi semula."KENAPA KAU BANGUN?!" b
Sejak menemuinya ke rumah sakit di hari kecelakaan, Neo tidak pernah lagi bertemu Naya hingga seminggu lamanya. Perempuan itu tidak bisa dihubungi, apalagi bisa ditemui. Terlebih Neo dipaksa Abia untuk dirawat setidaknya sampai seminggu di rumah sakit meski ia merasa kondisinya sudah sangat baik."Aku tidak mau tahu, aku akan ke rumah Naya setelah ini." Neo memutuskan final sambil menatap Abia sebal.Abia yang tengah melipat pakaian putranya hanya terkekeh geli. Neo sangat mirip dengan Arya. Caranya mencintai Naya, uring-uringan saat tidak melihat perempuan itu sehari saja, bahkan caranya cemburu mengingatkan Abia pada sang suami."Kenapa kau ingin menemuinya? Mungkin dia merasa terganggu, makanya tidak pernah menghubungimu selama ini." Komentar Abia seketika membuat Neo tertegun.Pria sipit itu menatap sang mama tidak terima. "Bagaimana Biya bisa berkata sekejam itu?" tanya Neo merasa sakit hati."Loh, Biya kejam karena mengatakan kebenaran?" tanya Abia balik.Mendengar itu, Neo sema
"Neo di mana?" Arya dan Abia menatap terkejut perempuan dengan wajah pucat sekaligus panik di depan mereka. Dengan cepat, Abia menariknya untuk segera duduk di kursi besi depan ruan IGD."Neo di mana, Bunda? Dia bagaimana?" tanya Naya sekali lagi dengan raut kalut.Abia bahkan dapat merasakan tubuh perempuan itu yang gemetaran saat tangan mereka bersentuhan. Dalam hati, perempuan itu meringis."Kenapa kau datang, Sayang? Kata Neo kan kau masih sakit. Lihatlah, wajahmu sangat pucat." Abia malah mengalihkan topik yang tidak ditanggapi lagi oleh Naya. "Neo masih ditangani di IGD. Kau tenanglah dan berdoa semoga dia baik-baik saja," jawab Arya mengerti apa yang ingin perempuan itu dengar. Arya mencoba menenangkan Naya, meski nyatanya dia juga sedang cemas bukan main. Abia yang duduk di samping Naya pun segera memeluk perempuan itu sambil menangis di sana.Abia tidak berbohong jika dia juga sangat khawatir. Tadi, dia mendapat telepon dari seorang polisi lalu lintas yang mungkin menemuka
"Kau yakin akan pulang hari ini?" Neo bertanya pada Naya yang sedari tadi bersikeras membawa kopernya sendiri di bandara.Naya mengangguk sambil membenarkan letak topi hitam yang bertengger di kepalanya. Hari ini, Naya memang mengenakan kacamata hitam, topi hitam, juga masker hitam dengan pakaian berwarna senada.Bukan tanpa alasan Naya melakukan itu. Ia harus tidak dikenali agar bisa tiba di bandara Indonesia dengan nyaman. Sebab, katanya sudah ada begitu banyak reporter dan fans yang menunggu kepulangannya di sana.Naya sebelumnya heran kenapa mereka melakukan hal tersebut. Tapi, setelahnya ia menyadari dirinya saat ini adalah publik figur, baik di dunia olahraga bahkan entertaiment. Terlebih setelah kasus kematian Bagas yang dirumorkan dekat dengannya mencuat."Nanti saat kita sampai di Indonesia, jangan berjalan bersamaku," peringat Naya tanpa memandang pria sipit di sampingnya."Loh, kenapa?" tanya Neo tidak mengerti."Jelas saja kita bisa dikenali," jawab Naya yang diangguki Neo